Pameran
PAMERAN FKY "Gelaran Olah Rupa"
Pameran FKY 2025 menampilkan karya-karya visual yang berakar pada praktik “bertamu” sebagai pendekatan sosial-artistik yang dijalankan para seniman dalam berinteraksi dengan komunitas lokal di wilayah Gunungkidul. Paradigma “bertamu” dimaknai sebagai strategi epistemik dan kultural yang menegosiasikan posisi “yang dari luar” (outsider) dan “yang dari dalam” (insider) melalui perjumpaan, percakapan, dan pertukaran pengalaman.
Kerangka program ini berdiri di atas dua pilar utama. Pertama, "Residensi Pekan Sowan", yaitu program residensi yang mengundang seniman dari luar Gunungkidul untuk tinggal dan berinteraksi secara langsung dengan warga di sejumlah lokasi di wilayah Gunungkidul. Proses pertemuan ini dimaknai sebagai relasi antar sahabat yang saling berbagi kisah dan cara pandang. Dari proses ini, seniman mengartikulasikan hubungan mereka melalui kerja artistik yang berbasis proses dan dialog.
Kedua, hasil dari proses residensi tersebut diwujudkan dalam pameran “Gelaran Olah Rupa” yang diselenggarakan di Lapangan Logandeng. Pameran ini merupakan bentuk pengkristalan dari praktik “bertamu” yang telah dijalankan, dengan menekankan aspek keterbukaan proses kreatif. Melalui format open studio, seniman menampilkan karya yang masih berada dalam “situasi berlangsung”, yakni situasi di mana penciptaan, refleksi, dan interaksi terus terjadi di hadapan publik.
KOLABORATOR PROGRAM:
Lokus: Giring & Sodo
Topik: Tanah, Batu, Hutan Adat (Ekologi)
Gelu
Ikatan Perupa Gunungkidul x Nabila Rahma & Tiang Senja (Yogyakarta)
Ikatan Perupa Gunung Kidul: Herlan Susanto SAE, Agus Abadi, Waluyo, Kusnan Hidayat Saleh, Heppy Triwibowo, Artmoko, Iba Ibok
Kolaborasi musik : Swara Prana
Material: Tanah liat, karton, bambu, kain mori, kain blacu, keramik, kayum batu
Ukuran: 260 x 70 x 60 cm
Tahun: 2025
Gelu merupakan bulatan padat yang terbuat dari tanah liat atau tanah kuburan yang berjumlah 3 buah. Dari aspek fungsi, gelu digunakan sebagai penyanggah atau bantalan yang memposisikan tubuh jenazah di dalam kubur agar menghadap ke arah Kiblat. Gelu adalah benda material yang menandai transisi penting. Ia adalah "perangkat terakhir" yang menyentuh jasad, memastikan kesiapan spiritual jenazah untuk menghadapi kehidupan di alam barzakh (kubur). Terminologi Gelu menghubungkan materialitas bumi (tanah) dengan tuntutan spiritual agama (Kiblat).
Tiga gelu yang digunakan melambangkan 3 amal yang tidak akan terputus pahalanya meskipun seseorang telah meninggal dunia. Gelu, yang terbuat dari tanah, mengajarkan pengetahuan mendasar bahwa manusia berasal dari tanah dan akan kembali padanya. Gelu menjadi simbol bahwa hidup adalah sementara dan setiap tindakan harus diarahkan untuk bekal di akhirat.
Siklus Hidup dalam macapat Jawa terdapat 11 fase di mana suatu kehidupan diawali dari maskumambang hingga pucung: Pengetahuan akan siklus penciptaan dan kepulangan, di mana "akhir" di dunia adalah "awal" dari keabadian. Dengan penanda ditiupnya Sangsakala
Catatan proses "Residensi Pekan Sowan"
Melihat Gunungkidul sebagai arah konseptual dan pusat wacana tentang relasi manusia dengan tanah, air, dan ruang ekologis–menjadi interpretasi terhadap tembang macapat, mulai dari Maskumambang hingga Pocung. Dalam konteks ini, macapat bukan sekadar warisan sastra, melainkan peta kosmologis yang menuntun manusia memahami posisinya di alam. Melalui karya visual, instalasi, dan bunyi, proyek ini menghadirkan dialog antara tubuh dan unsur, antara tradisi dan ekologi, menegaskan bahwa Giring, Sodo bukan hanya tempat geografis, melainkan ruang spiritual tempat manusia belajar menyatu dengan empat elemen dasarnya.
Lokus: Ponjong
Topik: tambang dan/ tourism, kisah-kisah lokal yang terus tumbuh dan diamini
Adoh Ratu, Jogo Watu
Sibagz (Gunungkidul) x Vendy Methodos (Yogyakarta)
Material: Beton, akrilik pada kanvas, cetak saring pada kertas
Ukuran: Dimensi variabel
Tahun: 2025
Satu baris, dua baris dan seterusnya pilar-pilar beton berdiri di kawasan karst tempat yang dulunya berlereng pula rumah bagi keanekaragaman geologi, biologi dan budaya. Kehadirannya merubah dan merusak lanskap Gunung Moah yang sebelumnya berlereng dan rindang. Bentuk atau ukuran pilar-pilar beton ini asimetris antara pilar satu dengan yang lainnya meski nampak berdiri ritmis.
Pilar-pilar beton ini dibangun di tahun 2018 untuk pilar bangunan peternakan ayam yang sampai hari ini belum berdiri dan beroperasi. Pilar-pilar beton ini adalah saksi kekalahan kelaliman dan juga menjadi simbol kemenangan perlawanan di Gunung Moah.
Perlawanan, tegangan, konflik akan selalu ada. Kelaliman dan kebaikan adalah nafas dunia yang saling tarik ulur hingga akhir dunia.
Catatan proses "Residensi Pekan Sowan"
Topik tentang isu tambang, tourism, dan kisah lokal di Ponjong sebagai lokus yang ditawarkan untuk melihat dan menyelami kembali aktivitas yang paradoks, dan terus-menerus ada di tengah masyarakat. Kolaborasi ini memiliki peluang untuk menghidupkan kembali mitologi, ekologi, dan pengalaman warga di sekitarnya. Seni dapat turut menjadi ruang reflektif antara realitas ekologi, dan narasi lokal yang masih terus hidup. Kemudian, Vendy dan Sibagz mengemas tema perlawanan terhadap proyek pembangunan yang sedikit banyak mungkin memberi dampak bagi nilai lokal.
Lokus: Petilasan Kembang Lampir, Girisekar
Topik: arsip sejarah kawasan
Sepenggal Cerita Tentang Wahyu Gagak Emprit
Trah Sekar Jagad (Gunungkidul) x Reza Kutjh (Yogyakrta)
Trah Sekar Jagad: Asto Puaso, Florentinus Sarjono, Wawantoro, Feri Musthola, Dandang Prastya
Beragam media
Dimensi variabel
2025
Perjalanan spiritual Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring untuk mendapatkan Wahyu Gagak Emprit. Sejarah narasi tempatan sering kali hilang di balik cerita lisan, catatan lama, atau benda-benda sederhana yang tersimpan di rumah warga. Sayangnya, cerita-cerita ini jarang masuk ke rak-rak buku ataupun sampai ke tangan kita. Salah satu kisahnya yakni tentang Kisah Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring tentang Wahyu Gagak Emprit adalah salah satu cerita spiritual dan politik yang sangat penting dalam tradisi Jawa, khususnya dalam konteks berdirinya Kerajaan Mataram Islam. Cerita ini sarat dengan simbolisme tentang wahyu kekuasaan, takdir ilahi, dan pergeseran zaman.
Catatan proses "Residensi Pekan Sowan"
Sejarah narasi tempatan sering kali hilang di balik cerita lisan, catatan lama, atau benda-benda sederhana yang tersimpan di rumah warga. Sayangnya, cerita-cerita ini jarang masuk ke rak-rak buku ataupun sampai ke tangan kita. Trah Sekar Jagad dan Reza Kutjh melakukan perjalanan reflektif dan tapaktilas untuk menyaksikan jejak peninggal serta mendengarkan kisah yang diwariskan oleh masyarakat tempatan. Salah satu kisahnya yakni tentang Kisah Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring tentang wahyu gagakemprit.
Lokus: Playen, Pathuk, Jogja-Wonosari
Topik: Gerakan rural-urban (Lajon)
Catatan 60 km perjam
Raden Kukuh Hermadi (Gunungkidul) Titik Kumpul (Yogyakarta)
Material: Drawing marker pada kain bagor
Ukuran: 540 cm x 200 cm
Tahun: 2025
Lajon atau laju, meminjam makna dari fenomena yang sering dilakukan oleh mayoritas masyarakat Gunungkidul. Lajon kerap diartikan sebagai fenomena pulang-pergi dari satu tempat ke tempat lain yang ditempuh dalam satu hari, biasanya dilakukan karena adanya tuntutan yang harus dituju. Fenomena ini berawal dari satu kebiasaan yang menjadi budaya masyarakat Gunungkidul, karena mayoritas masyarakat Gunungkidul sudah melakukan lajon seperti peristiwa turun menurun dari keluarga ataupun lingkungan pendahulunya. Adanya faktor-faktor tertentu juga menjadi alasan kenapa masyarakat lebih memilih untuk melakukan lajon daripada menetap di lokasi tertentu, beberapa alasan ini seperti adanya faktor ekonomis, keluarga, dan juga lingkungan, yang menyebabkan masyarakat lebih memilih untuk melakukan lajon.
Hasil dari beberapa riset yang sudah kami lakukan dengan beberapa narasumber, dapat kami simpulkan bahwa Lajon dilakukan karena adanya faktor-faktor yang kurang lebih sama antara satu dengan yang lain. Maka dari itu, kita mencoba merespon fenomena ini dengan sudut pandang lain, seperti hal-hal apa yang mereka temui, dan pada akhirnya hal hal tersebut saling berhubungan dengan alasan-alasan yang menyebabkan masyarakat memutuskan untuk lajon.
Catatan proses "Residensi Pekan Sowan"
Lajon merupakan istilah yang digunakan oleh masyarakat Gunungkidul tentang mobilitas (perpindahan) harian dari satu tempat ke tempat lain dan kembali lagi. Topik ini menjadi bahan riset Kukuh dan Tikum Forum. Mereka selama satu pekan menemui pelaku lajon untuk mencari tahu alasan dan latar belakang mereka melakukannya. Selama melakukan riset, Tikum Forum yang berdomisili di kota Yogyakarta turut melakukan lajon untuk mengalami secara langsung.
Lokus: kawasan pesisir Gunungkidul (Pantai Siung)
Topik: narasi tentang pesisir (kerja perawatan warga)
Babad Sigare Bukit
Survive! Garage x Mbah Bambang & Mbah Saido (tokoh adat di Tepus)
Material: Round Tag, Soundscapes & zine
Ukuran: 150 cm x 170 cm
Tahun: 2025
Purwodadi, Gunungkidul, adalah sebuah lanskap kehidupan yang berdiri di antara pegunungan dan laut. Lanskap ini membentuk masyarakat yang lentur terhadap musim, namun tetap berpijak pada pawukon dan ilmu titen sebagai penuntun langkah. Tumpang sari dan tadah hujan menjaga ladang, ternak yang dilepas di sawah memberi pupuk alami, sementara tembang yang dinyanyikan para petani sepuh menjadi doa yang merawat.
Harmoni ini menjelma keseharian yang sederhana, di mana warga, doa, dan alam saling menaut. Pengetahuan kosmis leluhur terjaga melalui hitungan pranata mangsa, memberi arah pada kapan benih ditanam dan panen dimulai. Semua berlangsung dalam ritme yang pasti, mengajarkan kesabaran dalam menerima pemberian tanah dan langit.
Namun, perubahan tak terelakkan. Pembangun jalan itu datang jua. Bukit dibelah, angin bertiup lebih kencang, satwa liar memasuki pemukiman, pencurian ternak meningkat, dan kecelakaan menimpa petani yang hendak ke ladang. Cara hidup berubah. Irama yang telah lama terjaga kini berhadapan dengan arus cepat modernitas.
Jika angin sudah tak lagi berhembus seperti sebelumnya, akankah ilmu titen sebuah pengetahuan yang lahir dari kesetiaan membaca tanda alam kehilangan pijakan? Ataukah ia akan menemukan cara baru untuk bertahan, di tengah perubahan yang tak mungkin lagi dibendung?
Catatan proses "Residensi Pekan Sowan"
Mbah Bambang dan Mbah Saido merupakan tokoh yang menyimpan kisah dan sejarah tentang kawasan yang telah lama mereka huni. Begitu pun tentang pengetahuan dan kesenian tradisional Jawa yang mereka miliki. Survive! Garage sebagai kolektif seni lintas disiplin yang beranggotakan muda-mudi bermukim selama sepekan untuk belajar dari Mbah Bambang dan Mbah Saido. Selain itu, Mereka juga menyusuri seluk-beluk dari laku hidup masyarakat kawasan pesisir. Harapannya, melalui kolaborasi ini pesan-pesan ilmu dari nenek moyang akan tertransfer ke generasi saat ini.
Lokus: Logandeng
Topik: kehidupan sosial, pengetahuan lokal, sejarah kampung (sebagai wilayah batas kota)
HANDAYANI
Endy Pragusta (Gunungkidul) x Arief Mujahidin (Brebes)
Material: cat akrilik pada potongan mutliplek 12 mm
Ukuran: Dimensi variabel (12 buah)
Tahun: 2025
Desa Logandeng adalah contoh nyata masyarakat majemuk yang tetap bersatu dalam keragaman, berlandaskan semangat gotong royong dan toleransi, serta memegang teguh nilai- nilai dalam slogan HANDAYANI sebagai panduan hidup bermasyarakat dan membangun daerah yang sejahtera, aman, dan lestari.
Catatan proses "Residensi Pekan Sowan"
Setiap desa memiliki sejarahnya sendiri. Begitu juga Logandeng, sebagai kelurahan yang lokasinya dekat dengan batas kota, pergerakan rural ke urban pada kehidupan masyarakat barangkali menjadi lebih beragam dari wilayah lainnya, dan juga sejarah dari kawasannya. Endry sebagai pendatang yang menetap di Logandeng dan Arief yang berdomisili di Beres melakukan penelusuran untuk menemukan kisah ataupun sesuatu yang mungkin menjadi identitas Logandeng. Hasil temuan tersebut menjadi pegangan mereka untuk diolah sebagai gagasan karya mereka.
Lokus: Ngurak-urak, Petir
Topik: isu dalam kawasan Petir, Lingkungan/Gunung Sewu
(Air/gerakan pemuda/kearifan lokal/lingkungan/karst)
TRUH
Lumbung Kawruh (Ngurak-urak Petir Rongkop Gunungkidul) x A.O.D.H (Kudus)
Material: Kayu, wadah air, pipa, selang, peralatan dapur, rangkaian elektronik
Ukuran: 250 x 200 x 200 cm
Tahun: 2025
Truh (air hujan) jatuh di wuwungan rumah yang serupa gunung bentuknya, menduduki lereng gunung batu karang susah air. Baik itu krêmun (rintik), baik itu riris (sedang menerus), ataupun adrês (deras), truh (air hujan) ditadahi jajaran gêndhèng krèwèng yang disangga cagak, blandar, usuk, dan rèng, menghasilkan suara pating krotok, laksana tertancapnya anak-anak panah, lantas berkumpul di talang air. Talang air tak lain adalah jalan aliran truh menuju paturasan (pancuran air) rumah, yang jika dimetaforakan seperti pancuran pada tubuh manusia. Kolah, kowèn, jêdhing, (semua jenis bak air dari batu), telah duduk di bawah paturasan (pancuran air), siaga menampung datangnya truh. Bahkan dandang, kêndhil,kwali, blèk, ember, cèrèt, dan wadah perabotan rumah tangga lainnya yang bisa didayakan untuk menampung truh segera ditempatkan di bawah "paturasan-paturasan" (pancuran-pancuran air) oleh Simbok. "Gumrojog" dan orkestratif suaranya, bersahutan ramai, mampu mengabarkan kebahagiaan hati Si Simbok.
Melalui truh (air hujan) yang jatuh di rumah yang bentuknya laksana gunung batu, Simbok menyongsong jawah, yaitu berkah dari awang-awang (langit), dalam lakunya mengelola rumah tangga dan bertani, serta berhemat dalam menjaga kehidupannya di tengah air tanah yang susah.
Catatan proses "Residensi Pekan Sowan"
Perbukitan Karst menjadi gambaran landscape Petir yang tak lain merupakan bentukan dari bentang alam bagian selatan Gunungkidul. Bentang alam ini selalu saja identik dengan isu air, mengingat susahnya mendapat air permukaan untuk bertahan hidup bagi masyarakatnya. Kolaborasi seniman di wilayah ini menatap kembali bentuk-bentuk kerja perawatan sebagai perjuangan yang dilakukan warga setempat dengan warna-warna budayanya yang tak pernah berhenti.
Lokus: Playen
Topik: praktik konservasi dan tanah-batu
Mambu Ampo, Gégér Labuh, dan Genduren
Resan Gunungkidul X M Shodik (Probolinggo)
Material: Papan kayu, tanah, janur, pohon resan, dan alat pertanian
Ukuran:
Tahun: 2025
Selama menjalani program residensi di Gunungkidul, khususnya di wilayah Playen, M Shodik berkesempatan untuk mendalami berbagai praktik konservasi yang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat setempat. Melalui keterlibatan bersama rekan-rekan komunitas Resan Gunungkidul— yang selama bertahun-tahun berperan aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan dan sumber air di kawasan ini — saya memahami bahwa relasi masyarakat dengan alam tidak dibangun atas dasar penguasaan, melainkan atas kesadaran akan keseimbangan dan keterhubungan antara seluruh unsur kehidupan. Perjumpaan M. Shodik berkolaborasi dengan komunitas Resan Gunungkidul, yang selama ini menjaga kelestarian sumber air dan ruang hidup di wilayah Playen. Pertemuan ini membuka ruang pertukaran pengetahuan ekologis dan spiritual masyarakat setempat, yang melihat alam bukan sebagai objek eksploitasi, melainkan sebagai bagian dari kehidupan yang harus dirawat.
Bagi masyarakat Playen, alam dipahami sebagai ruang hidup bersama yang memiliki sistem dan kehendak tersendiri. Mereka memperlakukan alam bukan sebagai sumber daya yang dapat dieksploitasi, tetapi sebagai bagian dari kehidupan yang harus dijaga dan dirawat. Kesadaran ini berakar pada pandangan kosmologis Jawa yang memandang keterhubungan antara makrokosmos(jagad gede) dan mikrokosmos(jagad alit) sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dalam pandangan ini, manusia bukan pusat dari alam, melainkan bagian dari jaringan biologis dan spiritual yang saling terhubung. Masyarakat membangun pengetahuan ekologis yang bersumber dari pengalaman langsung terhadap alam. Mereka membaca tanda-tanda cuaca, mengenali aroma tanah, memahami arah angin, dan menafsirkan perubahan lingkungan dengan kepekaan biologis yang telah terasah secara turun-temurun. Pengetahuan ini merupakan hasil dari kedekatan inderawi dan spiritual hubungan manusia dan lingkungannya.
Melalui bahan Mambu Ampo—aroma tanah basah saat hujan pertama—Shodik menelusuri ingatan ekologis masyarakat tentang awal siklus pertanian dan kehidupan. Sementara Resan Gunungkidul, lewat praktik Gégér Labuhdan Genduren, menegaskan relasi ritual dan keseharian warga dengan bumi sebagai laku syukur dan kesadaran kosmologis antara jagat alit dan jagat gede.
Karya kolaboratif ini mempertemukan dua sumber energi: tanah yang hidup dan panel surya yang modern—sebagai refleksi atas paradoks keberlanjutan dan jarak manusia modern dari kepekaan ekologisnya. Melalui pertemuan Resan Gunungkidul dan Shodik, terbentuk dialog antara pengetahuan lokal dan sistem global; antara aroma tanah sebagai bahasa ibu bumi dan teknologi sebagai bahasa modern manusia.
Catatan proses "Residensi Pekan Sowan"
Dalam kehidupan masyarakat Gunungkidul, adat dan tradisi menjadi bagian yang menyatu dengan aktivitas sehari-hari, termasuk dalam budaya pertanian yang sarat makna spiritual dan simbolik. Kerja bertani adalah kerja perawatan dan keseimbangan alam. Dari gagasan itu M. Sodik dan Resan Gunungkidul dipertemukan. Selama pekan hunian mereka melakukan aktivitas perawatan alam dan pertukaran pengetahuan yang kemudian diejawantahkan melalui karya kolaborasi.
Lokus: Ngalang, Gedangsari
Topik: Dapur, Pangan (makanan yang ditanam dan dimakan), olahan pangan, praktik kerja perawatan pada tanah, pada tanaman, dan benda-benda pendukung sehari-hari.
Gugur Gunung : Pangan lan Rasa
Kolektif Matrahita X Ibu-Ibu Kelompok Wanita Tani (KWT) Ngalang
Kolektif Matrahita: Hafizh Hanani, Kemala Hayati , Shidqi Al Harris, Nella Katarthika
Ibu-Ibu KWT Ngalang: Bu Suprapti, Bu Parmi, Bu Neni, Bu Rini, Bu Jati, Bu Anik
Material karya: Waste Fabric / Sampah Tekstil
Ukuran: Variable Dimensions
Tahun: 2025
Gugur gunung merupakan salah satu tradisi gotong royong yang hampir hilang dibanyaknya kalangan masyarakat, tapi tidak untuk warga terutama Ibu-ibu di Desa Ngalang, Gunung Kidul. Kegiatan ini merupakan kegiatan turun temurun di kalangan masyarakat Gunung Kidul. Kegiatan gugur gunung atau kerja bakti ini biasanya dilaksanakan pada hari Jumat. Tujuannya adalah tidak lain untuk membenahi fasilitas-fasilitas umum yang digunakan bersama-sama dan membersihkan lingkungan sekitarnya. Kata "Gugur" diartikan dengan menggugurkan ramai-ramai, sedangkan kata "gunung" diartikan sebagai sebuah permasalahan besar yang ada di masyarakat. Dengan demikian, kata "Gugur Gunung" diartikan sebagai permasalahan besar yang terdapat di masyarakat dan dapat dipecahkan jika dilakukan bersama sama. Hal ini juga dilakukan atas dasar keswadayaan masyarakat itu sendiri, bukan karena perintah atau upah.
Gugur Gunung yang dilakukan oleh Ibu-ibu Ngalang bukan hanya sekedar kegiatan fisik seperti membersihkan jalan namun Matrahita merasa juga bisa diartikan seperti kegiatan memasak bersama di dapur dalam setiap acara rewangan. Setiap acara yang melibatkan dapur bersama merupakan simbol dari sikap gotong royong para ibu-ibu. Selain menjadi seorang ibu, rata-rata mereka seorang petani, yang menanam tanaman obat dan sayur mayur seperti kangkung, bayam, terong, cabai, dan umbi-umbian. Juga sebagai peternak hang memelihara hewan ternak seperti sapi dan kambing. Isu ketahanan pangan saat erat kaitannya dengan pekerjaan bertani para Ibu-ibu Ngalang, dimana setiap dari mereka memiliki cukup persediaan dan kemampuan untuk menjamin bahan pangan mereka terpenuhi.
Selain berladang ke Alas, mereka juga mengumpulkan rumput untuk para hewan ternaknya yang merupakan cadangan tabungan hidup mereka, dalam kebudayaan Gunung Kidul ada tradisi bernama Mong-mongi yang merupakan perayaan kelahiran hewan ternak seperti sapi yang merupakan cara para masyarakat Gunung Kidul untuk bersyukur kepada tuhan maupun alam atas nikmat kelahiran dari hewan ternak mereka yang telah anugerahi keselamatan.
Catatan proses "Residensi Pekan Sowan"
Di Gunungkidul, ketahanan pangan tumbuh dari tanah kapur, dari keterbatasan air, dan dari ingatan panjang tentang cara hidup dengan apa yang ada. perempuan—khususnya ibu-ibu Kelompok Wanita Tani—menjadi penopang siklus pangan sehari-hari. Prinsip sederhana mereka, “menanam apa yang dimakan, memakan apa yang ditanam”. Aktivitas Keseharian para ibu dari KWT Ngalangitu menjadi laku yang turut dilakukan oleh Matrahita selama masa Pekan Sowan. Matrahita menjalaninya bukan semata mencari ide untuk berkarya, tetapi juga merasakan langsung hubungan ekologis sekaligus politis: merawat tanah sebagaimana merawat anak, hidup melalui pangan, untuk ketahanan bersama.