Pasaraya
Pasaraya Ruwang Berdaya
Pasaraya adalah wajah ekonomi budaya dan ekonomi kreatif FKY yang tahun ini hadir di Gunungkidul, wilayah yang kaya akan alam dan tradisi. Mengusung tema Adat Istiadat, Pasaraya dirancang bukan hanya sebagai ruang jual-beli produk lokal, tapi juga sebagai ruang ekspresi budaya yang segar, artistik, dan kontekstual.
Melalui konsep “Ruwang Berdaya”, Pasaraya menjadi etalase budaya hidup—tempat karya, komoditas lokal, dan gagasan artistik bertemu. Di sini, pengunjung tidak hanya berbelanja, tapi juga mengalami perjumpaan budaya— pertukaran nilai, cerita, dan rasa antar-sesama warga. Setiap ruang dan produk dikurasi layaknya instalasi seni, mempertemukan fungsi dan estetika. Disinilah seni dan ekonomi lokal saling menguatkan, menghadirkan ruang yang tidak hanya menampilkan tetapi juga memberdayakan.
Pasaraya diikuti oleh 18 Kapanewon di Gunungkidul, masing-masing diwakili oleh komunitas-komunitas lokal yang merancang galeri mereka layaknya rumah untuk menyambut pengunjung, dengan kurasi mencakup:
- Rasa tradisi: makanan, minuman, dan herbal dengan kemasan alami tanpa plastik, menyuguhkan cita rasa sekaligus pesan kelestarian
- Karya tangan warga: kerajinan khas tiap kapanewon yang unik, kreatif, dan bernilai tinggi.
- Layanan interaktif: mulai dari seputaran aktivitas ritual sampai permainan tradisional
- Warisan budaya: benda maupun praktik hidup yang menyimpan jejak sejarah dan memori kolektif
Playen menyimpan banyak hal dalam diam. Di sana, bunga telang dijadikan teh kaya antioksidan, peyek dan gethuk srikandi jadi camilan lokal penuh makna. Motif daun Lo pada batiknya menyimpan sejarah asal-usul desa Logandeng. Lukisan kayu dari Dapur Kriya dan permainan dakon diwariskan seperti harta. Bahkan tosan aji seperti keris pun masih dirawat dengan khidmat oleh warga yang tahu nilainya lebih dari sekadar besi.
Tepus punya cara lain merawat tradisi. Nahera, minuman rempah cair dan instan, dikembangkan dari kearifan lokal. Di Warung Ndeso, camilan masa kecil seperti manggleng dan lempeng tak pernah hilang. Caping, tampah, dan pengki dari bambu dibuat telaten oleh Bu Yani, menghidupkan kembali kerajinan yang nyaris dilupakan. Bahkan pijat syaraf ala Ashan dan batu artefak kuno di Giripanggung menjadi cerita yang membentang dari masa lalu ke masa kini.
Wonosari mengundang kita ke Angkringan Jeng Nyunyun—di mana wedang jahe, nasi kucing, dan gorengan menjadi lebih dari sekadar makanan, tapi pengalaman. Herbal Yuniari dari Wareng adalah cerita lain: jahe, serai, dan rempah lokal diolah menjadi minuman sehat yang bisa dikemas modern, siap menyapa pasar yang lebih luas.
Paliyan, batik cap dan ecoprint dipakai bukan hanya untuk hiasan, tapi juga sebagai identitas—dipakai oleh pamong, kader, dan warga dalam kegiatan sehari-hari. Di sela batik, ada bolu kelapa Arumika dan keripik peyek yang melengkapi cerita rasa.
Girisubo mempersembahkan kekayaan lautnya lewat olahan tuna yang disajikan hangat—ada sate tuna, tongseng, hingga bakso tuna yang menggoda. Di warung kecilnya, minuman herbal bisa dinikmati dalam versi bubuk atau cair, panas maupun dingin. Tak ketinggalan, batik Tunas Mekar yang dibuat dari goresan tangan di atas kain primisima, membawa semangat yang kuat.
Nglipar menunjukkan bahwa tradisi bisa ramah lingkungan. Pepes tawon, gudeg, dan pepes lumbu adalah santapan sehat. Gula jahe dan kencur dibuat dari gula kelapa lokal dan siap seduh. Bahkan rokok herbal dari daun gaharu dan cengkeh bisa dinikmati tanpa rasa bersalah. Tengok, kerajinan bambu khas dari Pak Ngadiyono, dipasarkan di pasar tradisional, tetap bertahan lewat pasar Legi. Inovasi seperti PGPR, pupuk hayati yang menyuburkan tanah, membuktikan bahwa warga Nglipar peduli pada masa depan bumi. Dan tentu saja, keris dan tombak warisan tetap dijaga, bukan hanya sebagai benda pusaka, tapi sebagai pengingat bahwa kita berasal dari akar yang dalam.
Panggang membawa kita ke masa kecil lewat cucur, tape ketan, semorondono, serta egrang yang masih dimainkan anak-anak. Kerajinan limbah kayu dan batik cap Sumringah memperkaya ekonomi warganya. Budaya seperti bukaan Cupu Panjala dan petilasan Kembang Lampir tetap dijaga dan berlangsung dalam keseharian.
Rongkop hadir dengan rasa pegunungan yang sederhana namun berkarakter. Gatot, thoplek, tempe benguk, dan bendrat menjadi sajian khas yang bersanding dengan kerajinan blangkon dan aksesori Jawa. Di sana, pijat bayi menjadi praktik yang diwariskan dengan kasih, dan Situs Song Braholo tetap dijaga sebagai saksi sejarah
Patuk pun tak kalah kreatif. Dari desa Nglanggeran, selain wisata alamnya, lahir produk cokelat dan susu kambing yang memanfaatkan kekayaan alam setempat. Wedang uwuh dan minyak sereh buatan warga menjadi bukti bahwa tradisi dan kesehatan bisa berjalan beriringan. Di Bobung, topeng kayu tidak hanya dipahat, tapi juga dilukis batik, menciptakan perpaduan unik antara kriya dan seni rupa.
Purwosari, ada kunir asem, beras kencur, dan batik jumputan warna cerah yang menunjukkan bahwa kesehatan dan estetika bisa bersatu dalam satu karya. Tradisi seperti babat dalan dan gebang koro menjadi ritual penuh makna, membuka jalan dan memohon restu alam.
Ponjong punya batik ciprat dan ecoprint, tahu susu berkualitas, serta jamu halal. Di sana, pijat tradisional dan SPA ala Mbak Tika jadi tempat warga kembali merasa segar. Joglo Giri Kusumo berdiri sebagai tempat bertemunya seni, tradisi, dan ketenangan.
Gedangsari menghadirkan rasa manis dalam berbagai bentuk: cokelat diolah menjadi kripik pisang, dodol, hingga brownies tiwul yang tak biasa. Batik dan kerajinan bambu berkembang berdampingan dengan seni tatah wayang yang hidup dari generasi ke generasi.
Saptosari, snack ringan dan emping mlinjo dari Desa Prima berpadu dengan minuman instan yang cocok dijadikan oleh-oleh. Tas kulit premium pun dilahirkan di sini—elegan, awet, dan estetik, seperti desa yang melahirkannya.
Semanu mengajak kita pulang lewat sego abang, sayur lombok, brongkos, tape ketela, dan wedang segar hanacaraka. Kerajinan Bambu, Batu, dan eceng gondok, ecoprint menebalkan nuansa lokalitas dengan olahan modern. Ditutup dengan ramalan weton dan pijat tradisional wo sis menambah rasa magis yang membaur dengan keramahan desa.
Ngawen, jamu uyup dan batik walang hadir berdampingan dengan jasa pijat tradisional yang dipercaya menyembuhkan sekaligus menenangkan. Bersanding dengan Tugu Tapal Batas Yogyakarta - Surakarta sebagai penanda sarat makna bukan pemisah.
Tanjungsari menyapa dengan seafood segar hasil tangkapan nelayan Pantai Baron. Bukan hanya untuk disantap, tapi juga jadi oleh-oleh favorit wisatawan yang ingin membawa pulang rasa laut Gunungkidul. Sedekah Laut di sana bukan hanya upacara, tapi bentuk syukur yang membumi.
Karangmojo tidak tinggal diam. Di sana, Krips-krips Wulan dan bejaji jadi camilan favorit, sementara kerajinan bambu dan wayang sodo lestari dan terus berkembang. Layanan pijat tradisional ala pak Istamar, ritual adat serta sejarah warisan budaya menjadi napas dalam kehidupan harian.
Semin mengajarkan bahwa bahan sederhana bisa jadi luar biasa. Di sana, wayang dibuat dari karton dan mika, sapu lantai dari bahan daur ulang, dan kesenian tetap hidup dengan pemasaran hingga ke luar kota.