Jelajah Budaya
Jelajah Budaya dalam FKY 2025 merupakan payung program yang dirancang untuk memperluas percakapan lintas pengetahuan dan memperkaya pemahaman terhadap adat istiadat melalui paradigma pengetahuan tempatan(local epistemology). Program ini menempatkan kebudayaan sebagai jaringan pengetahuan yang terus dinegosiasikan dalam konteks sosial masyarakat kontemporer.
Jelajah Budaya bertujuan untuk memaparkan serta merawat pengetahuan adat istiadat dengan bertumpu pada pemahaman mendalam tentang bagaimana pengetahuan lokal berperan dalam membentuk dan menavigasi struktur sosial, nilai-nilai etik, serta praktik kehidupan sehari-hari masyarakat.
Selain itu, Jelajah Budaya mengajak publik untuk membaca kembali bagaimana benda, tubuh, ruang, dan ingatan menjadi penanda yang merekam sejarah dan identitas masyarakat di tingkat akar rumput. Program ini tidak hanya berfungsi sebagai upaya pencatatan, tetapi juga sebagai strategi pembacaan ulang terhadap nalar kebudayaan lokal.
Jelajah Budaya diwujudkan melalui tiga subprogram, yakni Lokakarya, Telusur Tutur & Sandiswara
LOKAKARYA "Gunungkidulan"
Lokakarya “Gunungkidulan” dirancang sebagai ruang belajar bersama yang bersifat interaktif dan partisipatif, dengan semangat mempertemukan masyarakat dan praktisi budaya dalam proses saling berbagi pengetahuan. Setiap sesi lokakarya menghadirkan narasumber atau fasilitator yang berbeda untuk membuka kemungkinan beragam perspektif dan pengalaman untuk memperkaya cara pandang terhadap kebudayaan.
Lokakarya ini menempatkan peserta sebagai bagian dari proses belajar dan penciptaan pengetahuan itu sendiri. Peserta akan diajak untuk berkunjung langsung ke rumah, studio, atau situs budaya tempat tradisi dijalankan dan diwariskan.
Dalam wilayah seluas dan sekaya Gunungkidul, dengan 144 kalurahan yang masing-masing memiliki kekhasan tradisi dan sejarahnya, lokakarya ini berfokus pada enam potensi budaya dan praktik adat. Pemilihan ini bukan dimaksudkan untuk mewakili keseluruhan wajah Gunungkidul, melainkan untuk menghadirkan enam titik pandang yang membuka percakapan lebih luas tentang nilai-nilai hidup masyarakat setempat. Melalui enam titik ini, “Gunungkidulan” dibayangkan sebagai lanskap pengetahuan yang dapat terus dirawat dan ditafsir ulang bersama.
Lokakarya ini dilaksanakan pada Senin, 13 Oktober 2025 di Pantai Ngobaran, Kalurahan Kanigoro, Kapanewon Saptosari. Tradisi sesaji di pantai ini sarat makna spiritual dan simbolis, menjadi bagian dari upacara adat atau keagamaan seperti labuhan atau sedekah laut. Ngobaran dikenal bukan hanya karena panorama alamnya yang eksotis, tetapi juga auranya yang religius, sebagai titik pertemuan beragam keyakinan dan praktik budaya.
Pantai Ngobaran memperlihatkan harmoni lintas budaya: di sekitarnya berdiri pura Hindu, masjid, hingga tempat peribadatan kejawen. Sesaji di sini hadir bukan sekadar ritual persembahan, melainkan simbol syukur kepada Tuhan dan alam, sekaligus penjaga nilai budaya di tengah arus modernisasi.
Dalam lokakarya ini, peserta diajak mengenal sesaji yang digunakan dalam berbagai upacara adat di Pantai Ngobaran. Narasumber adalah tokoh adat setempat yang berpengalaman meramu sesaji untuk acara adat maupun keagamaan.
Lokakarya Rinding Gumbeng dilaksanakan pada Rabu, 15 Oktober 2025 di Padukuhan Duren, Kalurahan Beji, Kapanewon Ngawen, Gunungkidul. Rinding Gumbeng merupakan warisan musik tradisional dari Beji, terbuat dari bambu: rinding (semacam kecapi mulut) dan gumbeng (alat perkusi). Keduanya dimainkan bersamaan menghasilkan irama sederhana namun memikat.
Awalnya, Rinding Gumbeng erat dengan kehidupan agraris: dimainkan untuk hiburan di ladang, mengusir hama burung, atau mengiringi ritual adat sederhana. Irama bambu yang ritmis berpadu dengan getaran rinding menghadirkan suasana akrab, hangat, dan penuh nuansa pedesaan. Tradisi ini mencerminkan falsafah hidup masyarakat Gunungkidul yang dekat dengan alam sekaligus bersyukur atas anugerahya. Kini, Rinding Gumbeng berkembang menjadi bagian dari pertunjukan seni rakyat dan identitas khas Kalurahan Beji.
Peserta lokakarya terlibat langsung dalam proses pembuatan rinding, dipandu pengrajin sekaligus pemain tradisi ini. Mereka belajar cara membuat, memainkan, hingga memahami nilai di baliknya. Selain itu, peserta juga diajak mengunjungi Hutan Adat Wonosadi yang berada dekat lokasi, menambah pengalaman jelajah budaya yang sarat makna.
Lokakarya Tiwul Gunungkidul dilaksanakan pada Jumat, 17 Oktober 2025 di Kalurahan Kemiri, Kapanewon Tanjungsari. Tiwul bukan sekadar makanan, melainkan cermin sejarah dan ketahanan budaya masyarakat Gunungkidul. Pada masa lalu, ketika beras sulit diperoleh, tiwul—berbahan dasar singkong—menjadi pengganti utama nasi. Dari situlah tiwul lahir sebagai simbol kebijaksanaan lokal, kemandirian pangan, dan daya tahan hidup. Mempelajari tiwul berarti mempelajari kisah perjuangan, kreativitas, dan kesederhanaan yang diwariskan lintas generasi.
Di dapur-dapur tradisional Kemiri, proses memasak tiwul masih dilakukan sebagaimana dahulu: di pawon dengan lantai tanah, tungku kayu bakar, dan kepulan asap tipis yang menyelimuti aroma singkong kukus. Suasana hangat tercipta ketika perempuan desa saling membantu, anak-anak berlarian menunggu tiwul matang, dan percakapan sederhana mengiringi proses memasak. Dapur bukan hanya ruang mengolah makanan, tetapi juga ruang sosial yang mempererat hubungan keluarga dan tetangga.
Peserta lokakarya merasakan pengalaman memasuki dapur tradisional warga, menyaksikan proses membuat tiwul mulai dari ketela mentah hingga siap santap. Narasumber menunjukkan cara nginthil tiwul yang baik dan benar untuk menghasilkan cita rasa khas. Melalui pengalaman ini, peserta diajak menyelami identitas kuliner Gunungkidul, memahami nilai kearifan lokal, sekaligus menghidupkan kembali ingatan kolektif akan tradisi dapur pedesaan yang sarat makna.
Lokakarya ini digelar pada Selasa, 14 Oktober 2025. Wayang Sodo merupakan karya budaya khas Kalurahan Bejiharjo, Kapanewon Karangmojo, Gunungkidul, lahir dari kreativitas warga dengan memanfaatkan bahan-bahan alam sederhana. Sesuai namanya, sodo berarti lidi atau batang bambu tipis—yang dirangkai bersama sabut atau pelepah kelapa hingga membentuk tokoh wayang sederhana namun ekspresif.
Dibandingkan wayang kulit atau kayu, bentuk Wayang Sodo jauh lebih sederhana. Justru di situlah letak kekuatannya: menekankan cerita, simbol, dan nilai ketimbang rupa. Tokoh-tokohnya pun punya nama unik, sebagian terinspirasi dari pohon kelapa—seperti sabut, janur, atau blarak—sebagai tanda kedekatan masyarakat dengan alam sekaligus penghormatan pada pohon yang penting bagi kehidupan sehari-hari.
Wayang Sodo bermula dari eksperimen kreatif seorang seniman lokal, Marsono (lahir 1948), yang kemudian menjadi pelopor sekaligus dalang utama pementasan. Dari tangannya, lidi sederhana menjelma media pertunjukan yang menghibur sekaligus menyampaikan pesan moral.
Kini, Wayang Sodo menjadi identitas budaya Bejiharjo. Ia kerap hadir dalam festival, kegiatan desa wisata, maupun sebagai media edukasi bagi generasi muda. Melalui lokakarya ini, peserta akan belajar membuat wayang dari lidi sekaligus menyaksikan peragaan Wayang Sodo oleh narasumber
Lokakarya ini dilaksanakan pada Minggu, 12 Oktober 2025. Studio Tani Kalisuci di Semanu, Gunungkidul, lahir dari semangat warga mengolah lahan karst yang kering menjadi sumber pangan produktif. Dengan inovasi sederhana seperti kebun cerdas air, media tanam dari galon bekas, dan pupuk organik, kebun ini berhasil menumbuhkan berbagai sayur dan buah, mulai dari sawi, selada, tomat, hingga bawang merah.
Selain mendukung ketahanan pangan keluarga, Studio Tani menjadi ruang belajar masyarakat dan generasi muda tentang kemandirian pangan serta pertanian ramah lingkungan. Lebih dari sekadar kebun, Studio Tani Kalisuci adalah contoh bagaimana kreativitas, gotong royong, dan kecintaan pada tanah kelahiran mampu mengubah keterbatasan menjadi kekuatan dan harapan baru bagi petani Gunungkidul.
Lokakarya ini dilaksanakan pada Kamis, 16 Oktober 2025. Gumbregan adalah tradisi adat Jawa yang masih dijaga di sejumlah wilayah Gunungkidul, terutama di desa-desa agraris. Tradisi ini berlangsung setiap kali masuk Wuku Gumbreg dalam kalender Jawa, biasanya dua kali setahun. Gumbregan merupakan ungkapan syukur sekaligus doa keselamatan, khususnya bagi hewan ternak yang menjadi penopang utama kehidupan petani seperti sapi, kerbau, kambing, hingga unggas.
Bagi masyarakat, hewan ternak adalah kanca wingking atau teman setia di sawah dan ladang, sehingga perlu dihormati dan diruwat agar sehat, terhindar dari penyakit, dan membawa rezeki berkah bagi pemiliknya. Selain sebagai ritual agraris, Gumbregan juga menjadi ajang mempererat kebersamaan warga. Anak-anak ikut dalam suasana riang, sementara orang tua menyiapkan perlengkapan adat dan doa.
Selama perhelatan FKY 11–18 Oktober, adat Gumbregan hadir pada Kamis Legi, 16 Oktober 2025, sore hari di area kandang sapi milik warga Padukuhan Kenteng, Kalurahan Wiladeg, Karangmojo. Peserta lokakarya berkesempatan mengikuti upacara secara langsung: sebuah pengalaman unik yang biasanya hanya terlihat di internet atau digelar kolektif di balai padukuhan.
KOLABORATOR PROGRAM:
- Pegiat Pertanian Organik dari Studio Tani Semanu Gunungkidul
- Juru Kunci Pantai Ngobaran Gunungkidul
- Sanggar Rinding Gumbeng Ngluri Seni Gunungkidul
- Pelestari Wayang Sodo di Bejiharjo Gunungkidul
- Tokoh Adat Gumbregan di Wiladeg Gunungkidul
- Produsen Tiwul di Kemiri Tanjungsari Gunungkidul
TELUSUR TUTUR
Di Kabupaten Gunungkidul tercatat sedikitnya 233 warga penghayat kepercayaan yang tersebar di berbagai kapanewon. Kehadiran warga penghayat menandai spektrum identitas spiritual di antara arus besar agama dan sistem keyakinan dominan di Indonesia.
Telusur Tutur berupaya menelusuri, merekam, dan mengarsipkan istilah-istilah pengetahuan kebudayaan dalam komunitas penghayat kepercayaan di Gunungkidul. Upaya ini diwujudkan dalam bentuk bauwarna, sebuah glosarium yang menghimpun kosakata dan istilah lokal yang merefleksikan cara pandang, sistem nilai, serta praktik keseharian masing-masing komunitas.
Telusur Tutur diselenggarakan melalui kerja kolaboratif antara karang taruna, fasilitator (penulis), dan komunitas penghayat kepercayaan, yang bersama-sama mengembangkan proses pencatatan berbasis dialog dan keterlibatan langsung. Program ini dilaksanakan selama sepuluh hari, pada 25 September – 4 Oktober 2025, berlangsung di lima komunitas penghayat kepercayaan di Gunungkidul.
Komunitas Penghayat Kepercayaan di Gunungkidul:
- MLKI Palang Putih Nusantara
- MLKI Sumarah
- MLKI Pran-Soeh
- Jawa Kasampurnan
- Kampung Pitu
KOLABORATOR PROGRAM:
Programmer: Latief S Nugraha
Fasilitator Lokal: Ammarsila Mahardika Hutama
Fasilitator Metode : Fathur Ramadhan
Penulis Observer : Aisya Puja Ray
Periset: Alif Budiman (Karang Taruna Kapanewon Playen)
Dewi Kencana (Karang Taruna Kapanewon Semanu)
Dian Anjar Nugroho (Karang Taruna Kapanewon Paliyan)
Faizal (Karang Taruna Kapanewon Patuk)
Rohmad Gilang Rosady (Karang Taruna Kapanewon Nglipar)
SANDISWARA
Sandiswara merupakan program pertunjukan yang berfokus pada ritual sebagai pengalaman spiritual sekaligus korporeal. Program ini hendak membaca ritual sebagai cara pandang yang menautkan manusia dengan alam, leluhur, dan sesamanya. Dalam kerangka tersebut, "Sandiswara" dihadirkan melalui dua subprogram, yakni "Sandiswara: Rites of The Outer Rim" dan "Sandiswara: Sastra Lisan Babad Watu".
SANDISWARA: Rites of The Outer Rim
Sandiswara: Rites of The Outer Rim adalah program residensi dan presentasi yang mempertemukan seniman dari Taiwan, Hong Kong, Yogyakarta, dan Gunungkidul dalam satu ruang kolaborasi lintas budaya. Melalui proses residensi ini para seniman diajak untuk mengalami dan menafsirkan kearifan masyarakat serta alam Gunungkidul yang berakar pada ritual, adat istiadat, dan praktik keseharian masyarakat.
Program ini berupaya membangun dialog budaya yang kreatif melalui medium seni pertunjukandengan menempatkan perjumpaan sebagai cara memahami, menghormati, dan merayakan kebudayaan. Hasil dari proses residensi diwujudkan dalam bentuk presentasi publik berupa karya pertunjukan, serta wicara seniman sebagai ruang berbagi refleksi dan pengalaman kreatif antar peserta.
KOLABORATOR PROGRAM:
- Random Trigger (Taiwan)
- Per.Platform (Hongkong)
- Sanggar Ori (Gunungkidul)
- Esty Wika Silva Bakudapan (Yogyakarta)
- Enji Sekar (Yogyakarta)
SANDISWARA: SASTRA LISAN BABAD WATU
Sandiswara: Sastra Lisan Babad Watu adalah program yang menelusuri dan menafsir ulang khazanah sastra lisan di Gunungkidul ke dalam bentuk pertunjukan. Program ini berangkat dari pemahaman bahwa sastra lisan adalah sistem pengetahuan yang menjembatani spiritualitas, ingatan kolektif masyarakat, serta praktik pewarisan makna.
Sastra lisan di sini tidak hanya berupa cerita rakyat, tetapi juga folklor yang melekat pada simbol-simbol ruang dan benda seperti pohon, belik, sendang, telaga, sungai, hutan, bukit batu, dan lain-lain. Tiap elemen ruang itu menyimpan narasi yang membentuk cara masyarakat memaknai dunia, tubuh, dan relasi ekologisnya.
Sandiswara: Sastra Lisan Babad Watu berupaya menenun kembali narasi-narasi lisan tersebut ke dalam praktik pertunjukan yang membaca kelisanan bukan sebagai oposisi terhadap tulisan. Dalam konteks ini, tutur, nyanyian, dan gerak berfungsi layaknya teks yang menjadi medium bagi artikulasi makna yang sahih. Program ini hendak menegaskan pentingnya menulis kembali dengan cara menuturkan. Pertunjukan menjadi wahana di mana narasi-narasi lisan menjelma sebagai pengalaman estetik dan epistemik, untuk membuka kemungkinan bagi cara kita membaca kembali pengetahuan berbasis tutur.
Judul Pertunjukan: Babad Watu
Penulis: Hasta Indriyana
Pukul: 13.00 - 17.00 WIB
Lokasi: Pantai Baron, Kalurahan Kemadang, Kapanewon Tanjungsari,
Gunungkidul.
KOLABORATOR PROGRAM:
- Sekar Sela
- Gegerboyo
- Hasta Indriyana
- Ki Sugito Sosrosasmito
- Nandur Banyu
SANDISWARA
LOKAKARYA GUNUNGKIDULAN
LOKAKARYA GUNUNGKIDULAN
LOKAKARYA GUNUNGKIDULAN
LOKAKARYA GUNUNGKIDULAN
LOKAKARYA GUNUNGKIDULAN
LOKAKARYA GUNUNGKIDULAN