Pameran
RESAN Gunungkidul (Yogyakarta) x M Shodik (Probolinggo, Jawa Timur)
Lokus: Playen
Topik: praktik konservasi dan tanah-batu
Mambu Ampo, Gégér Labuh, dan Genduren
Material: Papan kayu, tanah, janur, pohon resan, dan alat pertanian
Ukuran:
Tahun: 2025
Selama menjalani program residensi di Gunungkidul, khususnya di wilayah Playen, M Shodik berkesempatan untuk mendalami berbagai praktik konservasi yang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat setempat. Melalui keterlibatan bersama rekan-rekan komunitas Resan Gunungkidul— yang selama bertahun-tahun berperan aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan dan sumber air di kawasan ini — saya memahami bahwa relasi masyarakat dengan alam tidak dibangun atas dasar penguasaan, melainkan atas kesadaran akan keseimbangan dan keterhubungan antara seluruh unsur kehidupan. Perjumpaan M. Shodik berkolaborasi dengan komunitas Resan Gunungkidul, yang selama ini menjaga kelestarian sumber air dan ruang hidup di wilayah Playen. Pertemuan ini membuka ruang pertukaran pengetahuan ekologis dan spiritual masyarakat setempat, yang melihat alam bukan sebagai objek eksploitasi, melainkan sebagai bagian dari kehidupan yang harus dirawat.
Bagi masyarakat Playen, alam dipahami sebagai ruang hidup bersama yang memiliki sistem dan kehendak tersendiri. Mereka memperlakukan alam bukan sebagai sumber daya yang dapat dieksploitasi, tetapi sebagai bagian dari kehidupan yang harus dijaga dan dirawat. Kesadaran ini berakar pada pandangan kosmologis Jawa yang memandang keterhubungan antara makrokosmos(jagad gede) dan mikrokosmos(jagad alit) sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dalam pandangan ini, manusia bukan pusat dari alam, melainkan bagian dari jaringan biologis dan spiritual yang saling terhubung. Masyarakat membangun pengetahuan ekologis yang bersumber dari pengalaman langsung terhadap alam. Mereka membaca tanda-tanda cuaca, mengenali aroma tanah, memahami arah angin, dan menafsirkan perubahan lingkungan dengan kepekaan biologis yang telah terasah secara turun-temurun. Pengetahuan ini merupakan hasil dari kedekatan inderawi dan spiritual hubungan manusia dan lingkungannya.
Melalui bahan Mambu Ampo—aroma tanah basah saat hujan pertama—Shodik menelusuri ingatan ekologis masyarakat tentang awal siklus pertanian dan kehidupan. Sementara Resan Gunungkidul, lewat praktik Gégér Labuhdan Genduren, menegaskan relasi ritual dan keseharian warga dengan bumi sebagai laku syukur dan kesadaran kosmologis antara jagat alit dan jagat gede.
Karya kolaboratif ini mempertemukan dua sumber energi: tanah yang hidup dan panel surya yang modern—sebagai refleksi atas paradoks keberlanjutan dan jarak manusia modern dari kepekaan ekologisnya. Melalui pertemuan Resan Gunungkidul dan Shodik, terbentuk dialog antara pengetahuan lokal dan sistem global; antara aroma tanah sebagai bahasa ibu bumi dan teknologi sebagai bahasa modern manusia.
Catatan proses "Residensi Pekan Sowan"
Dalam kehidupan masyarakat Gunungkidul, adat dan tradisi menjadi bagian yang menyatu dengan aktivitas sehari-hari, termasuk dalam budaya pertanian yang sarat makna spiritual dan simbolik. Kerja bertani adalah kerja perawatan dan keseimbangan alam. Dari gagasan itu M. Sodik dan Resan Gunungkidul dipertemukan. Selama pekan hunian mereka melakukan aktivitas perawatan alam dan pertukaran pengetahuan yang kemudian diejawantahkan melalui karya kolaborasi.
