Pameran
Ikatan Perupa Gunungkidul (Gunungkidul) x Nabila Rahma & Tiang Senja (Yogyakarta)
Lokus: Giring & Sodo
Topik: Tanah, Batu, Hutan Adat (Ekologi)
Gelu
Ikatan Perupa Gunung Kidul: Herlan Susanto SAE, Agus Abadi, Waluyo, Kusnan Hidayat Saleh, Heppy Triwibowo, Artmoko, Iba Ibok
Kolaborasi musik : Swara Prana
Material: Tanah liat, karton, bambu, kain mori, kain blacu, keramik, kayum batu
Ukuran: 260 x 70 x 60 cm
Tahun: 2025
Gelu merupakan bulatan padat yang terbuat dari tanah liat atau tanah kuburan yang berjumlah 3 buah. Dari aspek fungsi, gelu digunakan sebagai penyanggah atau bantalan yang memposisikan tubuh jenazah di dalam kubur agar menghadap ke arah Kiblat. Gelu adalah benda material yang menandai transisi penting. Ia adalah "perangkat terakhir" yang menyentuh jasad, memastikan kesiapan spiritual jenazah untuk menghadapi kehidupan di alam barzakh (kubur). Terminologi Gelu menghubungkan materialitas bumi (tanah) dengan tuntutan spiritual agama (Kiblat).
Tiga gelu yang digunakan melambangkan 3 amal yang tidak akan terputus pahalanya meskipun seseorang telah meninggal dunia. Gelu, yang terbuat dari tanah, mengajarkan pengetahuan mendasar bahwa manusia berasal dari tanah dan akan kembali padanya. Gelu menjadi simbol bahwa hidup adalah sementara dan setiap tindakan harus diarahkan untuk bekal di akhirat.
Siklus Hidup dalam macapat Jawa terdapat 11 fase di mana suatu kehidupan diawali dari maskumambang hingga pucung: Pengetahuan akan siklus penciptaan dan kepulangan, di mana "akhir" di dunia adalah "awal" dari keabadian. Dengan penanda ditiupnya Sangsakala
Catatan proses "Residensi Pekan Sowan"
Melihat Gunungkidul sebagai arah konseptual dan pusat wacana tentang relasi manusia dengan tanah, air, dan ruang ekologis–menjadi interpretasi terhadap tembang macapat, mulai dari Maskumambang hingga Pocung. Dalam konteks ini, macapat bukan sekadar warisan sastra, melainkan peta kosmologis yang menuntun manusia memahami posisinya di alam. Melalui karya visual, instalasi, dan bunyi, proyek ini menghadirkan dialog antara tubuh dan unsur, antara tradisi dan ekologi, menegaskan bahwa Giring, Sodo bukan hanya tempat geografis, melainkan ruang spiritual tempat manusia belajar menyatu dengan empat elemen dasarnya.
