Pameran
Ibu-ibu KWT Ngalang (Gunungkidul) x Kolektif Matrahita (Yogyakarta)
Lokus: Ngalang, Gedangsari
Topik: Dapur, Pangan (makanan yang ditanam dan dimakan), olahan pangan, praktik kerja perawatan pada tanah, pada tanaman, dan benda-benda pendukung sehari-hari.
Gugur Gunung : Pangan lan Rasa
Kolektif Matrahita: Hafizh Hanani, Kemala Hayati , Shidqi Al Harris, Nella Katarthika
Ibu-Ibu KWT Ngalang: Bu Suprapti, Bu Parmi, Bu Neni, Bu Rini, Bu Jati, Bu Anik
Material karya: Waste Fabric / Sampah Tekstil
Ukuran: Variable Dimensions
Tahun: 2025
Gugur gunung merupakan salah satu tradisi gotong royong yang hampir hilang dibanyaknya kalangan masyarakat, tapi tidak untuk warga terutama Ibu-ibu di Desa Ngalang, Gunung Kidul. Kegiatan ini merupakan kegiatan turun temurun di kalangan masyarakat Gunung Kidul. Kegiatan gugur gunung atau kerja bakti ini biasanya dilaksanakan pada hari Jumat. Tujuannya adalah tidak lain untuk membenahi fasilitas-fasilitas umum yang digunakan bersama-sama dan membersihkan lingkungan sekitarnya. Kata "Gugur" diartikan dengan menggugurkan ramai-ramai, sedangkan kata "gunung" diartikan sebagai sebuah permasalahan besar yang ada di masyarakat. Dengan demikian, kata "Gugur Gunung" diartikan sebagai permasalahan besar yang terdapat di masyarakat dan dapat dipecahkan jika dilakukan bersama sama. Hal ini juga dilakukan atas dasar keswadayaan masyarakat itu sendiri, bukan karena perintah atau upah.
Gugur Gunung yang dilakukan oleh Ibu-ibu Ngalang bukan hanya sekedar kegiatan fisik seperti membersihkan jalan namun Matrahita merasa juga bisa diartikan seperti kegiatan memasak bersama di dapur dalam setiap acara rewangan. Setiap acara yang melibatkan dapur bersama merupakan simbol dari sikap gotong royong para ibu-ibu. Selain menjadi seorang ibu, rata-rata mereka seorang petani, yang menanam tanaman obat dan sayur mayur seperti kangkung, bayam, terong, cabai, dan umbi-umbian. Juga sebagai peternak hang memelihara hewan ternak seperti sapi dan kambing. Isu ketahanan pangan saat erat kaitannya dengan pekerjaan bertani para Ibu-ibu Ngalang, dimana setiap dari mereka memiliki cukup persediaan dan kemampuan untuk menjamin bahan pangan mereka terpenuhi.
Selain berladang ke Alas, mereka juga mengumpulkan rumput untuk para hewan ternaknya yang merupakan cadangan tabungan hidup mereka, dalam kebudayaan Gunung Kidul ada tradisi bernama Mong-mongi yang merupakan perayaan kelahiran hewan ternak seperti sapi yang merupakan cara para masyarakat Gunung Kidul untuk bersyukur kepada tuhan maupun alam atas nikmat kelahiran dari hewan ternak mereka yang telah anugerahi keselamatan.
Catatan proses "Residensi Pekan Sowan"
Di Gunungkidul, ketahanan pangan tumbuh dari tanah kapur, dari keterbatasan air, dan dari ingatan panjang tentang cara hidup dengan apa yang ada. perempuan—khususnya ibu-ibu Kelompok Wanita Tani—menjadi penopang siklus pangan sehari-hari. Prinsip sederhana mereka, “menanam apa yang dimakan, memakan apa yang ditanam”. Aktivitas Keseharian para ibu dari KWT Ngalangitu menjadi laku yang turut dilakukan oleh Matrahita selama masa Pekan Sowan. Matrahita menjalaninya bukan semata mencari ide untuk berkarya, tetapi juga merasakan langsung hubungan ekologis sekaligus politis: merawat tanah sebagaimana merawat anak, hidup melalui pangan, untuk ketahanan bersama.
