Diaspora di Pangkuan Jogja


“Jogja terdiri dari rindu, pulang, dan angkringan," demikian penggalan sajak dari Joko Pinurbo yang kiranya bisa jadi pemeo termasyhur untuk memandang Jogja dari berbagai celah. Meski pandangan itu rawan tergelincir ke romantisasi nostalgia yang berlebihan, nyatanya banyak yang tetap menganggap bahwa Jogja itu ngangenin

Jogja istimewa bukan sekadar jargon. Di sini dialektika hidup bersama persoalan kusut dan jalanan hiruk-pikuk menuju metropolitan. Seperti anggapan angkringan adalah khas Jogja, sedangkan asalnya dari Klaten, Jogja juga terbuat dari peleburan lanskap kultural dan gerak diaspora.

Selayang pandang, identitas budaya diaspora di Jogja bisa terlihat lewat desain fasad dan gerobak usaha mikro. Usaha-usaha ini berasal dari berbagai daerah di Indonesia, mewarnai lanskap kota dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan warga Jogja.

Mahasiswa dan pekerja berduit cekak pasti punya warmindo favorit. Warung kelontong Madura yang kini membanjiri kota hanya tutup jika kiamat menjemput. Tenda bubur kacang ijo asal Madura jadi pilihan pengganjal perut malam jika lauk pecel lele Lamongan terlalu berat. Hanya dengan lima ribu rupiah, perut kenyang makan bakwan kawi khas Jawa Timur. Asal daerah penjual mie ayam dapat ditelusuri lewat warna gerobaknya.

Tipologi atau kekhasan bentuk desain tersebut menjelma menjadi ciri niaga diaspora. Meski sekarang si pemilik usaha tidak selalu berasal dari daerah asli jualannya, atribut yang melekat kebanyakan masih dipertahankan. Jogja, meminjam ungkapan Muhidin Dahlan, digerakkan secara bersama oleh asal yang kompleks, oleh tenunan usul kebhinekaan rupa-rupa wajahnya. 

Teks: Amal Purnama
Foto: Azka Amalina, Gevi Noviyanti, Rangga Yudhistira

Cerita Lainnya