Berkisah dengan Isyarat

Ba(WA)yang adalah sebuah komunitas seni inklusi yang digerakkan terutama oleh teman-teman Tuli dan dibantu beberapa teman dengar. Aktivitas berkesenian mereka bentuknya bermacam-macam, seperti pertunjukan pantomim, teater, puisi bahasa Isyarat, hip-hop, hingga seni visual. Ba(WA)yang yang terbentuk atas kolaborasi antara teman-teman Tuli dan Papermoon Puppet Theater ini mulai didirikan sejak tahun 2019. Dalam aktivitasnya, mereka didampingi oleh Muh. Arif Wijayanto atau lebih dikenal dengan sapaan Mas Broto.

Dalam suatu obrolan kami, Mas Broto melontarkan sebuah pertanyaan reflektif, “Bayangin deh hari ini kamu jalan-jalan keliling kota. Kamu menemukan banyak hal selama perjalanan, menemukan pengalaman baru, terus kamu pulang. Sampai di rumah, kamu mau menceritakan semua hal, tapi nggak ada yang mengerti bahasamu. Piye perasaanmu?” kami terdiam sejenak, sebelum akhirnya ia menyambungnya, “itulah yang dirasakan teman-teman Tuli.”

Mengenal sosok-sosok di balik Ba(WA)yang melalui Mas Broto rasanya kurang lengkap jika tidak berkomunikasi langsung dengan anggota komunitasnya. Ahmad, Vani, Wahyu, Arief, Udana, Rizky, dan Zakka dengan senang hati berbagi kisah-kisah kehidupannya. Mereka bercerita tentang kehidupan sebagai tuli di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Kisah-kisah mereka tersampaikan dengan baik berkat bantuan Lia, seorang teman dengar yang setia membantu menerjemahkan apa yang mereka ungkapkan.

Tak mudah bagi teman-teman Tuli untuk membuka diri. Rasa tidak percaya diri karena merasa berbeda dari lingkungan sekitar menjadi salah satu penyebab utama mereka tertutup. Selain itu, tak mudah bagi teman-teman Tuli menerima kondisi diri sebagai tuli. Ketika mereka sudah memahami dan menerima kekurangan mereka, kepercayaan diri mereka sedikit demi sedikit tumbuh. Hal ini dengan catatan, lingkungan sekitarnya pun mendukung. “Waktu aku masih kecil, aku sering dijauhi teman-teman di lingkungan rumah. Aku bertanya-tanya kenapa, ya? Apa aku jelek? Aku aneh? Sampai akhirnya aku sadar kalau teman-teman menjauhiku karena aku tuli,” ungkap Zakka.

Pertanyaan-pertanyaan atau komunikasi di rumah hanya sebatas “sudah makan?”, “sudah mandi?”, dan hal-hal domestik lainnya. Sangat jarang komunikasi yang menanyakan bagaimana kabar mereka hari ini, bagaimana perasaan mereka, atau adakah kendala dalam melakukan aktivitas. Kalaupun pertanyaan itu muncul, teman Tuli hanya menjawab sesingkat apa yang mungkin bisa dimengerti orang rumah, seperti halnya yang diceritakan Rizky tentang masa sekolahnya yang begitu sulit. Ia dijauhi teman-temannya dan sulit mengerti pelajaran karena sang guru hanya menerangkan dalam bahasa verbal dan tulisan. Sesampainya di rumah, ibunya bertanya, “Gimana sekolah?” Rizky hanya menjawab, “Ya, baik-baik saja,” padahal terjadi hal sebaliknya. Rizky sebenarnya ingin berkeluh kesah tentang kondisi yang ia alami, tetapi apa daya sang ibu tidak paham apa yang ia sampaikan dengan berisyarat. Maka dari itu, Rizky lebih sering pergi dari rumah untuk bertemu teman-teman Tuli lainnya agar bisa bercerita kepada mereka.

Teman Tuli terkadang berlindung di balik kebohongan-kebohongan agar terlihat baik-baik saja, Namun, apa yang mereka rasakan adalah hal sebaliknya. Ketika mereka bisa bertemu sesama Tuli, cerita apa pun bisa diungkapkan sedetail-detailnya tanpa khawatir lawan bicara mereka tak mengerti. Perbincangan bisa berlangsung berjam-jam dalam satu waktu karena mereka memanfaatkan waktu bertemu dengan semaksimal mungkin. Sebab, ketika kembali ke rumah, tidak akan ada lagi yang bisa memahami mereka sepenuhnya.

Tak jarang orang tua memaksa anaknya yang tuli untuk bisa mengerti bahasa verbal dengan gerak bibir, bahkan ada pula yang memaksa anaknya untuk bisa berbicara. Pemaksaan kehendak kepada teman Tuli untuk bisa mengerti teman dengar sepertinya tidak adil. Kenapa teman dengar tidak berusaha juga untuk belajar isyarat? 

Di Sekolah Luar Biasa, bahasa Isyarat tidak masuk ke dalam kurikulum. Sang guru menjelaskan mata pelajaran dengan bahasa verbal tanpa mau menjelaskannya dengan bahasa Isyarat. Padahal, komunikasi utama teman-teman Tuli ialah dengan berisyarat.

Iies Arum Wardhani, ibu dari Udana pun bertanya-tanya, “Kenapa, ya, bahasa Isyarat tidak diajarkan di sekolah, padahal itu dasar bagi teman Tuli untuk berkomunikasi?” Ibu Iies menjadi salah satu orang tua yang belajar bahasa Isyarat demi bisa berkomunikasi dengan baik dengan anaknya. “Anak saya tiga, yang pertama tuli, dua lainnya dengar. Ya, sebisa mungkin saya bisa berkomunikasi dua arah bersama mereka dengan baik. Kalau sama Udana, pakai bahasa Isyarat, kalau yang dua lagi dengan verbal. Sebenarnya, tidak ada yang berbeda dengan anak saya, cuma cara komunikasinya saja yang berbeda.” 

Kesadaran seperti orang tua Udana sangat jarang ditemui pada orang tua Tuli lainnya. Karena dari mendengar cerita-cerita mereka, beberapa bahkan berkonflik dengan orang tuanya karena terlalu memaksa anaknya untuk mengerti apa yang mereka sampaikan secara verbal.

Kesadaraan Ibu Iies untuk belajar bahasa Isyarat muncul ketika Udana bertanya tentang apa itu metamorfosis. Tak mudah untuk menjelaskannya. Dari hal itulah dia bertekad untuk belajar bahasa Isyarat pada lembaga SST (Sekolah Semangat Tuli). Setelah beberapa kali pertemuan, rasanya tak cukup jika hanya belajar secara formal di lembaga tersebut. “Saya agak sulit menyerap pelajaran bahasa Isyarat dari kurikulum yang diberikan. Malah saya bisa lebih cepat menangkap apa yang dimaksud ketika anak saya yang mengajarkan dan itu lebih efektif bagi saya untuk cepat mengerti isyarat yang diungkapkan,” tutur Ibu Iies.

Akses informasi yang didapatkan temen-teman Tuli pun sangat terbatas. Banyak kata-kata yang sulit dimengerti mereka karena pemahaman literasi mereka pun tidak banyak. Kurikulum di SLB selalu dibuat lebih rendah dibanding sekolah umum dan itu juga berpengaruh terhadap ilmu yang mereka serap sehingga terjadi ketidaksetaraan dengan yang didapat teman-teman dengar.

Ba(WA)yang menjadi salah satu sarana ruang aman bagi teman-teman Tuli untuk berbagi cerita, berkeluh kesah, dan mengekspresikan apa yang mereka ingin ungkapkan. Melalui isyarat dan karya seni, mereka berkomunikasi. Di Ba(WA)yang mereka mendapat dukungan penuh dari sesama Tuli ataupun teman dengar yang tergabung di dalamnya. Mereka merasa lebih dihargai dan lebih mendapat perhatian dari masyarakat yang selama ini menganggap mereka seperti bayangan yang tak punya peran. Mereka setara, mereka sama, hanya cara berkomunikasinya saja yang berbeda.

Foto & Teks: Gevi Noviyanti
Kolaborator Visual: Ahmad Roby Nugroho, Zakka Nurul Giffani Hadi, Arief Wicaksono, Wahyu Haryono, Rizky Darmawi, Udana Maajid Pratista, Clara Vania Puspita

Penerjemah: Kurnelia Sukmawati Ramadhani 

Cerita Lainnya