Andaikata Yogyakarta Punya Museum Sastra
Judul “Andaikata Yogyakarta Punya Museum Sastra” ibarat sebuah judul karya sastra yang lebih dominan unsur fiksinya. Dan kita, para penikmat sastra itu, seolah menjadi tokoh yang menghadapi banyak konflik dengan sedikit sokongan motivasi untuk mencapai tujuan bersama. Menghadirkan “Museum Sastra” barangkali terasa seperti genre realisme magis, yang penuh keajaiban dan melampaui akal sehat.
Namun, begitulah, sesungguhnya pengalaman bersastra tak lain adalah pengalaman memasuki ulang-alik antara yang fiksi dan realitas, antara yang fakta dan fiktif. Sebagai sebuah forum, wicara ini adalah bagian pemantik dalam Pameran Arsip Sastra Yogya yang bertujuan untuk membicarakan kerja-kerja pengarsipan seputar sastra sebagai arsip dan arsip sastra.
Di forum ini, para tokoh itu akan membahas bagaimana proses pengarsipan sastra dari ragam praktik dan pendekatan mereka yang serba mandiri, dan tanpa subsidi. “Andaikata Yogyakarta Punya Museum Sastra” ibarat kalimat pembuka sebuah cerita yang menyimpan segudang peristiwa di dalamnya. Yogyakarta dipilih sebagai lokus, bukan hanya karena daerah ini menjadi titik pertemuan dari beragam tempat di Indonesia, juga karena Yogyakarta memiliki perbedaan tersendiri untuk merumuskan apa itu “Sastra Indonesia”.
Begitulah, keberadaan sebuah museum sastra di Yogyakarta, barangkali bukan suatu hal yang mendesak, bukan pula bermaksud memusatkan apa yang terberai. Namun, usaha awal ini, adalah suatu proses jalan panjang dengan spirit yang membara, boeng ajo boeng… semua dicatat, semua dapat tempat.
Andaikata Yogyakarta Punya Museum Sastra
Muhidin M. Dahlan (dokumentator partikelir di Warung Arsip-Radio Buku)
Raudal Tanjung Banua (sastrawan dan pengelola komunitas sastra Rumah Lebah yang konsen terhadap pengarsipan sastra)
Seno Gumira Ajidarma (budayawan)
Moderator:
Ni Made Purnamasari (sastrawan dan pengelola Bentara Budaya Yogyakarta)