Menelusuri Kebudayaan Pesisir dan Agraris: Sanden hingga Pleret
Jumat, 11 Oktober 2024
Penulis:
Risen Dhawuh Abdullah
Editor:
Ahmad Sulton
Program “Telusur Tutur” menjadi salah satu dari serangkaian agenda Festival Kebudayaan Yogyakarta 2024 yang sudah berjalan terhitung sejak 21-24 September 2024. Secara sederhana, gambaran dari program ini adalah mencatat kosakata kebudayaan lokal di daerah setempat yang sudah mulai jarang didengar dan digunakan yang kemudian disusun menjadi kamus kecil. Jika pada edisi FKY sebelumnya, pencatatan kosakata dilakukan di Kabupaten Kulon Progo, pada edisi kali ini di wilayah Kabupaten Bantul, tepatnya di dua Kapanewon, yaitu Sanden dan Pleret. Hasil dari program ini berupa glosarium berisi kumpulan kosakata selama penelusuran yang telah ditampilkan di laman fky.id.
Di wilayah Kapanewon Sanden yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia ditemukan jejak peradaban manusia berupa situs Gunung Wingko. Situs tersebut diperkirakan menandai peradaban manusia pada masa akhir pra-aksara hingga akhir abad ke-16 Masehi. Ketika kemudian dihuni masyarakat baru, ditemukan benda-benda serpihan tembikar yang kemudian oleh masyarakat setempat saat ini diyakini sebagai sisa peradaban masyarakat lampau di daerah tersebut. Selain serpih-serpih tembikar perkakas domestik rumah tangga, benda berbahan sejenis yang berfungsi sebagai bekal kubur dan alat produksi garam juga ditemukan. Hal tersebut menunjukan bahwa masyarakat pra-aksara di pesisir Sanden, Bantul telah berkebudayaan.
Setidaknya dikenal empat lapisan budaya dalam lintasan sejarah Gunung Wingko. Lapisan budaya pertama adalah mata pencaharian utama berupa membuat garam. Selain itu, mereka juga memelihara ternak, berburu, dan menangkap ikan. Kemudian lapisan budaya kedua dan lapisan budaya ketiga mempunyai ciri yang hampir sama dengan lapisan budaya pertama. Hanya saja, pada lapisan budaya ketiga terjadi perpindahan lokasi aktivitas pembuatan garam. Terakhir, lapisan budaya keempat yang juga meneruskan lapisan budaya sebelumnya. Namun, yang membedakan adalah ditemukannya tulang kuda yang kemudian dipersepsikan sebagai alat transportasi distribusi garam. Warisan Gunung Wingko sebagai desa kuno penghasil garam terus berlangsung hingga akhir masa pendudukan Jepang.
Aspek lain yang penting untuk disinggung ketika mengulas Sanden, khususnya Gunung Wingko adalah aspek ritual. Pada lapisan budaya pertama terdapat tiga struktur kubur dengan sistem penguburan primer. Salah satunya adalah bekal kubur berbahan tembikar. Kemudian lapisan budaya kedua ditemukan struktur kubur dengan sistem penguburan sekunder yang dilengkapi dengan beberapa bekal, berupa tembikar dan manik-manik. Pada lapisan budaya ketiga ditemukan bekal kubur berupa kendi dan periuk dengan ukuran kecil. Sedang pada lapisan budaya keempat justru tidak diketahui sistem penguburannya.
Berbeda dengan Kapanewon Sanden, Kapanewon Pleret lekat dengan sisa-sisa pusat Mataram Islam era Sultan Agung dan Amangkurat I. Sementara itu, di Kapanewon Pleret dan sekitarnya terdapat artefak peninggalan era Mataram Kuno. Namun, narasi yang tersusun selama ini justru dominan pada kisah-kisah keagungan Mataram Islam. Tampaknya narasi militeristik yang mewarnai historiografi Indonesia mempengaruhi produksi pengetahuan sejarah di Pleret. Buktinya, heroisme Soeharto pada masa Clash II sangat dominan dibandingkan kisah-kisah peranan dapur umum yang diinisiasi oleh warga lokal. Hilangnya narasi “wong cilik” di Pleret selama ini yang berusaha difasilitasi dalam program ini.
Secara geografis, di sebagian besar wilayah Kapanewon Sanden dan Pleret masih terdapat sawah dan ladang dengan hasil bumi yang beragam. Sehingga dengan kata lain, masyarakat di Kapanewon Sanden dan Pleret cukup banyak yang bekerja sebagai petani.
Maka, dengan gambaran yang sudah dipaparkan tersebut, menjadi semacam kewajaran jika kemudian ditemukan banyak kosakata lokal sesuai dengan karakteristik masing-masing wilayah ketika program Telusur Tutur, Festival Kebudayaan Yogyakarta 2024 berlangsung. Program yang menggandeng karang taruna dari Kapanewon Pleret dan Sanden sebagai partisipan menemukan ratusan kosakata kebudayaan lokal yang tidak lazim diucapkan, bahkan didengarkan masyarakat hari ini.
Pada wilayah Kapanewon Sanden misalnya, kosakata yang berhubungan dengan kelautan akan banyak ditemukan karena memang wilayahnya yang berdekatan dengan pantai. Sementara di Pleret akan ditemukan banyak kosakata berkaitan dengan pertanian dan hal-hal di sekitarnya. Itu hanya sampai pada ketika berpikir dengan logis dalam tatapan geografis!
Fakta di lapangan, yang terjadi justru sebaliknya. Kapanewon Sanden yang pada awalnya dibayangkan akan lebih kental dengan hal-hal yang berbau kelautan, justru tidak menunjukkan akan hal itu. Sektor pertanian mendominasi di wilayah tersebut. Terbukti dengan temuan-temuan kosakata yang ada, jumlah kosakata yang berhubungan dengan pertanian lebih banyak jumlahnya, dibandingkan dengan kosakata yang lain.
Sementara itu, ada mata pencaharian lain seperti bertani, tukang kayu, hingga pemetik kelapa. Pekerjaan-pekerjaan tersebut masih eksis hingga kini, dibarengi dengan kebudayaan-kebudayaan yang melingkupinya. Seperti misal, masyarakat Kapanewon Sanden masih mengadakan majemukan atau tradisi ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah diberikan panen yang melimpah, meskipun sudah tidak seintensif zaman dahulu. Selain itu juga ada tradisi Labuhan yang melarung hasil pertanian ke laut.
Wilayah Kapanewon Pleret, yang awalnya dibayangkan akan banyak ditemukan kosakata berhubungan dengan pertanian, justru sedikit. Cerita soal “segara” dan “yasa” atau jika diartikan sebagai laut buatan, malah justru menonjol. Masyarakat Pleret sangat menghargai dan mengagungkan perjuangan Sultan Agung dalam usahanya melawan VOC. Pada masa itu, Sultan Agung (sekaligus peralihan ke pemerintahan Amangkurat I) membangun lautan buatan untuk kepentingan latihan perang. Maka kosakata yang banyak ditemukan justru kosakata yang berada di luar pertanian.
Dari cerita di lapangan, kami menemukan hal menarik lainnya, yaitu adanya keterikatan antara Kapanewon Sanden dan Kapanewon Pleret. Pada zaman kerajaan Mataram Islam, Sultan Agung yang linuwih kesusahan untuk menaklukan Giri Kedaton. Lantas karena hal tersebut, Sultan Agung meminta bantuan Pangeran Pekik dan berkatnya Giri Kedaton dapat ditaklukan. Pangeran Pekik inilah yang membuat Kapanewon Sanden dan Kapanewon Pleret mempunyai relasi di masa lalu.
Pangeran Pekik pernah pergi ke wilayah yang sekarang disebut sebagai Sorobayan. Pangeran Pekik kemudian menikah dengan perempuan setempat yang ahli dalam membuat lemper. Hingga kemudian makanan yang berbahan dasar ketan tersebut juga menjadi terkenal di Wonokromo. Relasi lain pada saat ini adalah adanya fenomena pemalsuan makam. Di Kapanewon Sanden ada beberapa oknum tertentu yang memalsukan makam Patih Rojoniti. Sementara fenomena yang sama juga terjadi di Kapanewon Pleret. Yakni penyelewengan narasi Sumodiningrat, seorang patih terkemuka di era Sultan Hamengku Buwono II. Makam Sumodiningrat yang berada di Jejeran, Pleret, berusaha diubah narasinya sebagai makam Ahmad bin Yahya.
Singkatnya, demikianlah perbedaan antara hipotesis dengan fakta di lapangan. Penemuan istilah ataupun kosakata lokal yang sudah mulai jarang digunakan oleh masyarakat sebagai catatan (glosarium) jejak arsip intelektualitas, khususnya yang berasal dari Kapanewon Sanden maupun Pleret.