Dapur Umum Bong Suwung
dan Restu Ratnaningtyas



"Suket ing Watu"

Dapur Bong Suwung dan Restu Ratnaningtyas adalah carik dapur yang diundang untuk terlibat dalam pencatatan kebudayaan FKY tahun ini. Dapur Bong Suwung yang diwakili oleh Nia Viviawati dan Restu Ratnaningtyas telah melakukan proses dialog bersama secara daring karena mengingat situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan untuk nyantrik di lokasi. Melalui dialog ini, kedua carik dapur berupaya menggali cerita tentang sejarah, lingkungan, dan kondisi warga Bong Suwung selama pandemi saat ini.

Bong Suwung adalah pemukiman yang dihuni oleh para pekerja ekonomi informal, seperti pedagang dan tukang becak. Pada malam hari, sebagian wilayah Bong Suwung berfungsi sebagai lokalisasi. Bong Suwung berlokasi di pinggiran rel dekat Stasiun Tugu. Wilayah ini merupakan permukiman informal yang tidak memiliki struktur administrasi formal semacam RT atau RW. 

Pada masa awal pandemi, sebuah dapur umum dibentuk berlokasi di balai serbaguna Bong Suwung. Ketika masih aktif, dapur ini telah memasak sebanyak dua kali sehari untuk mencukupi kebutuhan pangan 100 orang. Dengan penurunan angka donasi, Dapur Bong Suwung saat ini berfokus pada pembagian paket sembako bagi penghuni dan penduduk sekitar. Nia Viviawati adalah salah satu pengurus dan relawan Dapur Bong Suwung.

Restu Ratnaningtyas ialah seorang perupa asal Tangerang yang kini tinggal dan berkarya di Yogyakarta sejak 2008. Banyak keterkaitan antara karya-karya Restu sebelumnya dengan Bong Suwung, yakni tentang konsep rumah, keluarga, dan tanah. Pengalaman personal Restu tentang penggusuran lahan yang pernah dialaminya, ternyata juga menjadi ancaman yang sedang membayangi Bong Suwung. Nia menuturkan bahwa di masa pandemi, terutama dengan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM atau PSBB), aktivitas ekonomi di Bong Suwung menurun drastis. Satpol PP maupun polisi berulang kali melakukan penyisiran hingga pengusiran terhadap orang-orang yang tampak berkumpul di Bong Suwung. Padahal, roda ekonomi di Bong Suwung bergantung pada banyaknya pengunjung yang datang. Meski pembubaran ini dilakukan dengan dalih keamanan dan penerapan protokol kesehatan, sayangnya keberlanjutan hidup orang-orang di dalamnya tidak turut dipedulikan. Kondisi ini pun menimbulkan dugaan bahwa penghuni Bong Suwung memang mengalami pengusiran dengan dibuat agar sulit melanjutkan penghidupan. Bagi Nia, cara bertahan hidup adalah dengan menyejahterakan diri bersama-sama.

Restu teringat pada istilah arsitektur metabolisme ketika mendengar penuturan Nia dan melihat kondisi Bong Suwung sebagai pemukiman organik yang tumbuh dari kebutuhan penghuninya. Metabolisme adalah proses yang memungkinkan berlangsungnya kehidupan. Dalam proses itu, terjadi adaptasi akibat simbiosis antara lingkungan (rel kereta api) dengan manusia yang hidup di sana. Sifat arsitektur metabolisme ini berbentuk modular atau bisa dibongkar pasang sesuai dengan kebutuhan dan keadaan. Hal ini dapat dikaitkan dengan sejarah awal para penghuni Bong Suwung. Pada awalnya para penghuni Bong Suwung bermukim di area pemakaman warga etnis Tionghoa yang menjadi cikal bakal nama Bong atau Ngebong (diambil dari istilah bongpay atau nisan). Mereka kemudian berpindah ke bagian barat rel stasiun tugu dan menetap hingga kini. 

Berdasarkan diskusinya bersama Nia, Restu terdorong untuk membuat beberapa gambar cat air sebagai catatan atas kisah sejarah Bong Suwung, lanskap permukiman, dan perjuangan bertahan hidup yang sedang dialaminya. Restu kemudian mengembangkan catatan visual ini menjadi gambar interaktif. Dengan memindai barcode dan mengunduh aplikasi yang tertera menggunakan ponsel pintar, kita dapat menelusuri hasil pencatatan berupa gambar Bong Suwung. Berdampingan dengan karya Restu, terdapat video yang merekam lanskap Bong Suwung dengan diiringi Tari Gambyong yang dibawakan oleh Nia Viviawati. Bagi Nia, tari ini bermakna menyambut para tamu dan menyuarakan bahwa Bong Suwung akan terus berjuang hidup meski dibatasi oleh berbagai aturan yang tidak memihak mereka.



Pemrogram Pameran: Ipeh Nur & Syafiatudina

Foto Karya dan Dokumentasi: Rangga Yudhistira

Cerita Lainnya