Makam-Makam
di antara Mukim

Pemakaman lazimnya menempati area dengan luasan dan batas-batas tertentu yang memang khusus dimaksudkan bagi mereka yang berpulang. Namun, bagaimana jadinya jika seiring waktu?

Dengan berbagai alasan yang semakin sulit ditelusuri, ruang bagi mereka yang telah berpulang ini akhirnya harus turut ditempati oleh mereka yang hidup.

Pemandangan cukup ganjil ini bisa ditemukan di beberapa lokasi di Yogyakarta, misalnya di sebuah kampung di Tamansari, tepatnya di belakang Masjid Soko Tunggal yang tak jauh dari gerbang masuk kompleks objek wisata pemandian lama putri-putri raja. Di sini kita bisa melihat sejumlah makam yang tersebar di antara rumah-rumah warga, dalam berbagai kondisi dan posisi yang terkadang mencengangkan. Ada yang terletak tepat di depan pintu masuk rumah, di bawah tempat jemuran pakaian, hingga di antara kandang-kandang merpati.

"Sejak saya kecil, ya sudah, seperti ini keadaannya, walaupun dulu rumah-rumahnya belum sepadat sekarang," tutur Ngatinem, juru kunci pemakaman yang mewarisi tugas ini secara turun-temurun di keluarganya. Ia menceritakan bagaimana neneknya dulu sempat ikut mengubur seorang pejuang yang gugur pada saat Clash II (Agresi Militer Belanda II, 1948) di lahan ini. Konon masih ada setidaknya satu orang pejuang dari masa itu yang masih terkubur di sini karena belum juga dipindahkan oleh keluarganya.

Ada satu makam di area ini yang mencuri perhatian karena penggunaan material batu putih dan keberadaan struktur atap yang menaunginya. Pada nisannya tertera nama Raden Ayu Arten Surokusumo. Tak ada keterangan lain di sana. “Beliau masih trah Keraton Solo. Sudah ada di sini jauh sebelum makam-makam lainnya,” jawab Ngatinem singkat ketika ditanya mengenai identitas sang penghuni makam. Klaim lain yang juga tak mudah dibuktikan menyatakan ia keturunan Jawa-Belanda yang meninggal karena dianiaya pada saat pendudukan Jepang.

Informasi yang simpang siur dan tidak lengkap memang sudah seperti bagian tak terpisahkan dari makam-makam tersebut. Di Kampung Gendingan, Kecamatan Ngampilan, kondisinya pun tidak jauh berbeda. Makam yang tersisa di kawasan ini mungkin sudah tidak sebanyak di Tamansari. Namun, serupa di sana, warga Gendingan pun sudah tidak lagi mengetahui secara pasti sejak kapan area pemakaman di wilayah ini mulai dibangun rumah tinggal. Menurut Anton, Ketua RT setempat, pembangunan permukiman berlangsung secara perlahan-lahan selama bertahun-tahun. Ketika seseorang melihat bahwa tidak ada konsekuensi berarti dari penggunaan lahan pemakaman untuk membangun rumah, ini mendorong orang lainnya untuk melakukan hal yang sama.

Sepasang makam tua di Kampung Juminahan, Kecamatan Danurejan, seakan hampir tersembunyi di antara tumpukan panci, dandang, dan perlengkapan dapur lainnya. “Katanya, sih, itu kyai. Daerah ini dulunya pemakaman milik Pakualaman,” ujar seorang warga di dekatnya. Makam-makam tua yang tersisa di sini hanya tinggal segelintir, tidak sampai sepuluh buah. Seorang peminat sejarah di akun Instagram @laurentiuslei sempat menemukan bahwa kawasan ini masih ditandai sebagai areal pemakaman di sebuah peta Belanda periode 1930-an. Menariknya, di peta tersebut area ini justru ditandai sebagai bong/pemakaman Cina.

Selain di Tamansari, Gendingan, dan Juminahan, bisa jadi masih ada lokasi pemakaman lain di Yogyakarta yang mengalami nasib yang sama, terhimpit oleh laju pertumbuhan penduduk dan tuntutan atas kebutuhan lahan untuk hidup. Dalam proses alih fungsi lahan ini, sebagian jenazah telah dipindahkan dari makamnya, sebagian masih berada di lokasi yang terkadang masih dikunjungi kerabat untuk berziarah, dan sebagian lagi yang kurang beruntung mungkin sudah terlupakan. Fisiknya masih ada tapi tak ada yang mengetahui asal muasalnya, menjadi narasi-narasi kecil tak tercatat yang dianggap tidak cukup penting untuk menjadi bagian sejarah besar.



Foto dan Teks: Kurniadi Widodo
Asisten Fotografer: Rangga Yudhistira
Cerita Lainnya