Yang Tersisa dari Segara

Berkeliling di kawasan Pleret hari ini, rasanya sulit membayangkan bahwa hampir empat abad yang lalu, di lokasi ini pernah berdiri kompleks istana megah yang dilengkapi berbagai infrastruktur air yang maju. Selain kolam-kolam dan kanal-kanal airnya yang mengelilingi tembok keraton, yang paling menakjubkan dan menjadi kekhasan tersendiri adalah keberadaan sebuah danau buatan luas yang dinamakan Segoroyoso.

Catatan mengenai Segoroyoso sebagai sebuah komponen bangunan air dari Keraton Plered sebetulnya tertera, meski fragmentaris, pada babad-babad dan laporan-laporan dari delegasi Belanda yang pernah berkunjung. Di dalam Babad Momana, misalnya, disebutkan bahwa pada 1556 tahun Jawa (sekitar tahun 1637 Masehi) Sultan Agung telah memerintahkan untuk membangun bendungan di Sungai Opak. Pembangunan tersebut kemudian diperkirakan dilanjutkan dan diperluas di masa penerusnya, Amangkurat I. 

Pada Daghregister bertarikh 7 Juli 1659, tercatat bahwa Amangkurat I bersama permaisuri kerap mengunjungi “kolam yang sedang digali”, yang kemudian dinamakannya Segoroyoso. Dalam catatan Daghregister lain, pada 1663 disebutkan pula bahwa Susuhunan gemar berperahu di sana. Rentang waktu yang cukup panjang pada catatan-catatan yang merujuk ke pembuatan bendungan dan danau ini memberi sugesti bahwa Segoroyoso dibangun secara bertahap.

Meski sumber-sumber historis tersebut bisa memberi gambaran periodisasi pembangunannya, luasan danau buatan Segoroyoso sendiri hanya bisa diprediksi melalui data-data arkeologis yang pernah diidentifikasi. Untungnya, sejumlah survei dan penelitian untuk memetakan bukti-bukti pendukung keberadaan Segoroyoso telah beberapa kali dilakukan, antara lain pada 1976, 1978, 1985, hingga yang masih baru dilakukan pada 2019 lalu. 

Salah satu bentuk visualisasi berdasarkan data-data historis dan arkeologis tersebut bisa dilihat pada sebuah maket kawasan Keraton Plered yang hingga kini masih tersimpan di Museorium Sejarah Universitas PGRI Yogyakarta. Jika kita mengamati maket buatan tahun 1991 ini, tidak sulit untuk memahami kenapa Keraton Plered disebut-sebut sebagai istana terindah yang pernah dimiliki oleh Mataram. Bayangkan saja, dahulu dari arah keraton, orang-orang akan bisa melihat lanskap perairan luas yang dilatari Pegunungan Seribu di sisi selatannya.

Sayangnya, walau berbagai catatan sejarah dan bukti arkeologis bisa menunjukkan Segoroyoso sebagai sebuah pencapaian luar biasa dalam teknologi pengelolaan sumber daya air pada masa itu, saat ini tidak banyak yang tersisa darinya. 

Tris Djunadi, seorang warga sepuh yang saya temui, mengingat-ingat di masa mudanya ia masih bisa melihat gundukan tanah setinggi atap rumah di sekitar tempat tinggalnya di Dusun Karet. Bekas tanggul-tanggul bendungan itu kini semakin tak kentara, tertutup pemukiman atau perlahan tergerus aktivitas warga seperti pembuatan batu bata.

Penambangan skala kecil memang bisa dengan mudah ditemui di sekitar kawasan ini. Titik-titik penggalian lempung beserta brak-brak penyimpanan batu bata tersebar di sepanjang daerah aliran Sungai Opak. Pasir diangkut dari sungai menggunakan sampan-sampan. Di area perbukitan, sisa-sisa penambangan batuan kapur jamak terlihat. Seorang warga pembuat batu bata di Dusun Gunung Kelir mengatakan ia masih cukup sering menemukan batu bata tua berukuran besar ketika sedang menggali tanah lempung. Di lokasi penggalian lain pernah juga sekelompok warga menemukan segelondong jati utuh. Mereka tak terlalu ambil pusing soal nilai historis yang mungkin tersirat pada temuan-temuan itu. 

Sebuah bentukan menyerupai gua kecil sisa penambangan batu juga bisa ditemui di dasar Bukit Permoni, bukit yang diduga kuat merupakan pembatas/tanggul alami dari danau buatan di sisi barat. Konon, dari puncak bukit yang dulu bernama Gunung Rasawuni inilah dahulu Sultan Agung mengawasi pembangunan Segoroyoso. Situs ini juga masih dipercaya oleh sebagian masyarakat sekitar sebagai tempat pertemuan Sultan Agung dengan Nyi Roro Kidul.

Nama Segoroyoso sendiri sekarang melekat di Kalurahan Segoroyoso yang secara wilayah administratifnya berada di sisi selatan dan tenggara aliran Sungai Opak. Desa yang berpenduduk sekitar 8.000 jiwa ini lebih dikenal sebagai pemasok daging sapi terbesar di Yogyakarta, juga sebagai sentra olahan ternak. Situs web desa mencatat ada sekitar 20 tempat penyembelihan hewan ternak di sana. Jemuran potongan kulit sapi yang nantinya akan diolah menjadi kerupuk rambak lazim terhampar di jalan-jalan sekitar kampung. 

Fitur topografis yang mungkin paling bisa merujuk ke masa lalu Segoroyoso sebagai danau buatan bisa ditemui di pemakaman Dusun Trukan. Area pemakaman yang masih kerap diziarahi warga setiap Kamis sore ini berada di elevasi yang lebih tinggi dari pemukiman sekitarnya. Data arkeologis dari kajian identifikasi situs tambak Segoroyoso tahun 2019 mengindikasi area ini termasuk ke dalam kluster tanggul bendungan tahap awal yang dibangun oleh Sultan Agung.

Menariknya, meski secara wujud fisik danau buatan ini sudah tak lagi nampak, secara tata guna lahannya mungkin sebetulnya masih ada fungsi yang tanpa disengaja justru terus hadir walau telah mengalami adaptasi. Seperti diketahui dari catatan sejarah, Segoroyoso dulu dibangun salah satunya sebagai sarana rekreasi raja. Hari ini, di kawasan ini tempat-tempat rekreasi untuk masyarakat umum yang mulai terus bermunculan. 

Daerah perbukitan yang dulu dimanfaatkan sebagai tanggul alami danau, sekarang sepertinya mulai dilirik sebagai tempat rekreasi yang menawarkan pemandangan ke arah dataran rendah di bawahnya. Salah satu yang paling populer dan selalu ramai di sore hari, terutama pada akhir pekan adalah Puncak Sosok di Kalurahan Bawuran. Kalurahan Segoroyoso sendiri sepertinya tidak mau kalah dan tengah menyiapkan Bukit Pangol di sisi selatan desa untuk menjaring pengunjung. Ketika saya menyambangi lokasi yang belum terbangun apa-apa itu, sudah ada sejumlah pesepeda yang menjadikannya tempat tujuan mereka. 

Kalurahan Pleret pun memiliki beberapa lokasi wisata serupa meski tanpa mengandalkan tawaran pemandangan lapang khas dataran tinggi. Mbulak Wilkel di sisi barat Gunung Kelir hadir dengan membangun gubuk-gubuk tempat rehat di sepanjang jalan yang dinaungi barisan pepohonan teduh. Sekilas tak ada yang istimewa, tapi tempat ini jadi menarik jika kita melihat peta prediksi situs danau Segoroyoso: gubuk-gubuk ini bisa jadi sesungguhnya dibangun di atas bekas kluster tanggul yang menghubungkan Gunung Kelir dengan tembok timur Keraton Plered.

Bila kita mengikuti jalur tanggul tersebut ke selatan hingga ke Dusun Pungkuran, kita juga akan menemukan satu lokasi rekreasi lain di sisi utara Sungai Opak bernama Taman Senja Ngelo. Selain tempat bersantai dengan suguhan kudapan sederhana, Ngelo juga menawarkan panggung hiburan live music maupun acara-acara budaya seperti ketoprak. Sempat tersedia pula fasilitas perahu mesin untuk susur sungai, tetapi sayangnya belakangan ini sudah mulai jarang beroperasi. 

Tempat-tempat wisata swadaya masyarakat seperti ini memang selalu rentan keberlangsungannya. Mereka bisa seketika ramai karena viral melalui media sosial, tetapi juga bisa kemudian segera kembali sepi, bahkan mati jika pengelolanya tidak sigap menyikapi ekspektasi dari pengunjung. Tempuran Banyu Kencono di pertemuan Sungai Opak dan Sungai Gajahwong adalah yang bernasib kurang mujur. Mereka yang masih berkunjung ke bekas tempat rekreasi itu sekarang hanyalah sejumlah pemancing dan pemburu ikan bersenjatakan senapan paser.

Warga yang tinggal dan beraktivitas di kawasan danau buatan Segoroyoso hari ini nampaknya mengelola sumber daya air dan tanah di ruang hidupnya lewat cara-cara mereka sendiri yang tak terikat oleh narasi-narasi sejarah lampau. Bisa jadi, ini ikut dipengaruhi imajinasi kolektif terhadap Keraton Plered yang memang sayangnya lebih diwarnai sejarah kelam penuh pertumpahan darah di bawah kekuasaan Amangkurat I yang keji. 

Meski demikian, mungkinkah sebetulnya capaian-capaian masa lalu terkait keberadaan danau buatan Segoroyoso ini bisa diposisikan sebagai perspektif alternatif yang lebih positif dalam memandang kawasan ini?

Teks & Foto: Kurniadi Widodo

Cerita Lainnya