Makanan sebagai Siasat Penceritaan

Oleh Yusi Avianto Pareanom

SEWAKTU saya masih remaja pada awal 1980-an, salah satu bacaan yang saya gemari adalah seri petualangan Lima Sekawan karya penulis Inggris Enid Blyton. Saya terseret untuk mengetahui bagaimana kelompok yang terdiri atas empat remaja berkerabat dan seekor anjing ini memecahkan misteri yang hadir di depan mereka. Awalnya, saya membaca seri ini seperti halnya cerita detektif pada umumnya, hanya saja pemeran utamanya seumuran dengan saya. Namun, ada deskripsi berulang yang Blyton hadirkan yang kemudian tak kalah menarik perhatian saya: kuliner Inggris.

Sebagai anak yang tumbuh di Kota Semarang, tiba-tiba saya mendapati diri tak sabar menanti pemunculan adegan minum teh atau makan-makan lainnya di salah satu pedesaan di Inggris setiap kali memegang judul baru Lima Sekawan. Saya lantas hafal bagaimana roti panggang, pai, scones (roti yang diisi selai atau krim), perkedel daging, kacang-kacangan, keripik kentang, dan kudapan lainnya digelar dan disantap saat kelimun detektif muda ini membicarakan kasus yang sedang mereka ingin ungkap. Biasanya, pembahasan akan semakin tajam ketika mereka mulai menyantap puding sebagai makanan penutup. Hadirnya adegan kuliner ini menciptakan sesuatu yang menurut saya tak hanya menghidupkan suasana di sekitar karakter-karakternya tetapi juga autentik Inggris. 

Kegembiraan serupa saya alami ketika kemudian membaca cerita-cerita silat, baik karya saduran Chin Yung seperti trilogi Pendekar Rajawali ataupun puluhan judul penulis asal Surakarta, Asmaraman S. Kho Ping Hoo. Mereka sering kali menggambarkan kuliner dengan cara yang khas dan menarik. Meskipun fokus utama karya mereka adalah tentang petualangan, pertarungan, dan intrik politik, baik Chin Yung maupun Kho Ping Hoo juga sering menggambarkan adegan kuliner yang memikat, dan sajian yang ditampilkan pun sangat beragam, mulai hidangan istana, makanan jalanan, sampai olahan yang rahasianya hanya diketahui kalangan pengemis. Frasa yang muncul, semisal "aroma daging panggang yang harum" atau "kuah kaldu yang kental dan gurih" selalu berhasil menerbitkan air liur. Padahal, yang saya hadapi adalah teks, bukan gambar, apalagi sajian audiovisual. 

Penulis-penulis cerita silat tersebut berhasil menggunakan makanan untuk menciptakan kontras antara kehidupan yang keras dan perjalanan petualangan dengan momen-momen ketika karakter-karakter dapat bersantai dan menikmati hidangan enak. Ini membantu menggambarkan keseimbangan antara kehidupan penuh tantangan dan momen-momen relaksasi.

Kolom-kolom Umar Kayam di Harian Kedaulatan Rakyat ikut berperan memantik minat saya memperhatikan makanan dalam teks. Pak Ageng, sangat mahir bercerita soal makanan sampai-sampai kita bisa membayangkan sajian itu ada di depan kita. Ia, misalnya, pernah menulis rendang sedap yang sebesar sadel sepeda, nasi goreng yang dimasak dengan minyak jelantah dan kadang masih menyisakan butiran kasar garam yang justru makin menambah nikmat makan, ataupun panggang ayam yang kulitnya berminyak berkilat menggoda. 

Pada masa remaja itu, saya membayangkan bahwa sekiranya suatu hari saya menulis, saya ingin memasukkan unsur kuliner juga. Alasannya sederhana, saya ingin, atau berharap tepatnya, pembaca tulisan saya beroleh pengalaman indrawi serupa. 

SEIRING waktu, ada perkembangan pada cara membaca saya untuk adegan-adegan kuliner dalam karya fiksi. Saya mulai mengenali bahwa penghadiran kuliner kadang tak hanya tempelan atau pengisi halaman. Sejumlah penulis bisa menggunakan unsur kuliner untuk memperkaya cerita, menggambarkan karakter, menciptakan suasana, atau menjadi metafora bagi tema yang lebih besar. Maka, enak tidaknya hidangan yang dimunculkan menjadi kalah penting dari kegunaannya dalam penceritaan. 

Dalam cerita-cerita silat, misalnya, adegan kuliner muncul sebagai siasat penceritaan untuk menggambarkan budaya dan latar belakang karakter. Misalnya, karakter-karakter tertentu lebih suka makanan pedas yang mencerminkan asal-usul geografis mereka, sementara yang lain mungkin lebih suka hidangan halal atau vegetarian. Ini membantu dalam pembentukan karakter dan menambah kedalaman cerita. Makanan juga digunakan sebagai simbolisme dalam cerita. Sebuah hidangan yang istimewa atau langka dimunculkan untuk menandai momen penting dalam plot, seperti persahabatan yang baru terbentuk atau perubahan dalam hubungan antara karakter-karakter utama.

Lokasi kemunculan adegan kuliner di cerita silat, kebanyakan di rumah makan, menjadi penting karena memberi kesempatan karakter utama bertemu dengan karakter lain atau antagonis mereka. Biasanya, di rumah makan ini terjadi dialog yang menarik, yang menggambarkan bagaimana makanan menjadi bagian dari interaksi sosial yang kompleks. Dalam Siau Tiaw Eng Hiong, misalnya, Kwee Ceng yang baru datang dari padang rumput Mongolia, hanya bisa melongo kagum saat Oey Yong, yang saat itu masih menyamar sebagai bocah pengemis, memesan sekian jenis makanan mewah dengan fasih. Bagi Kwee Ceng saat itu, makanan enak yang ia ketahui hanyalah kambing bakar. Secara tidak langsung, Chin Yung ingin menggambarkan tingginya peradaban bangsa Han bila dibandingkan orang Mongol, karena Kwee Ceng yang tumbuh besar di lingkaran dalam Jenghis Khan tidak tahu apa-apa bila dibandingkan dengan “pengemis cilik” bangsa Han yang diwakili Oey Yong.

Dalam Tortilla Flat karya John Steinbeck (diterjemahkan dengan cemerlang ke dalam bahasa Indonesia oleh Djoko Lelono dengan judul Dataran Tortilla), makanan atau lebih persisnya kekurangan makanan adalah jendela bagi pembaca untuk masuk menyelami kehidupan Danny dan kawan-kawannya, kaum gembel berdarah campuran Indian, Meksiko, dan Kaukasia di satu kawasan di Negara Bagian California seusai Perang Dunia I. Kumpulan jelata ini selalu kagum kalau ada mulut salah seorang dari mereka beraroma brendi, semurah apa pun harganya, karena bagi mereka itu sudah prestasi tersendiri. Kemelaratan mereka juga ditunjukkan dengan bagaimana mereka bersungguh-sungguh berupaya mencuri telur bumbu—makanan yang sangat biasa—dan ketika telur ini jatuh mengenai baju salah seorang dari mereka, bau bumbu yang menempel selamanya di baju itu menjadi penting untuk pembangunan cerita berikutnya. Kawanan ini adalah contoh penghayat maksimal carpe diem: Kalau wiski bisa dihabiskan hari ini, mengapa harus disisakan sampai esok hari? 

Dalam karya-karya Sherman Alexie, penulis suku Spokane, roti goreng menjadi lambang paradoks kehidupan suku-suku Indian Amerika di reservasi. Tepung terigu bukan kuliner asli mereka, dan bahan baru diperkenalkan atau dipaksakan sebagai ransum oleh pemerintah federal Amerika Serikat setelah suku-suku yang tersisa ini hidup di reservasi. Namun, roti goreng bergerak menjadi comfort food bagi penduduk asli, dan yang pintar membuatnya beroleh kedudukan tinggi tak ubahnya shaman atau dukun suku mereka. Diet penduduk asli pun berubah setelah kehadiran roti goreng, mereka lebih banyak mengonsumsi gula dalam bentuk tepung atau makanan manis lainnya sementara mereka makin jarang bergerak, tidak seperti leluhur mereka. Akibatnya, setelah beberapa generasi, obesitas dan kencing manis menjadi kondisi yang banyak ditemui di reservasi-reservasi. Roti goreng, si sumber kenyamanan, ternyata adalah sumber derita panjang juga.

Dalam sejumlah buku lain, makanan dipakai terang-terangan untuk menyampaikan maksud pengarang. Chocolat karya Joanne Harris berkisah tentang Vianne Rocher, seorang wanita muda yang membuka toko cokelat di sebuah desa kecil di Prancis. Cokelat dan hidangan lainnya dalam cerita ini menjadi simbol kebebasan, godaan, dan perubahan dalam masyarakat desa. Melalui toko cokelatnya, ia mengajak penduduk desa untuk melihat dunia dari perspektif yang berbeda dan merayakan keindahan dalam hal-hal yang dianggap tabu oleh masyarakat. Novel yang pertama kali terbit pada 1999 ini menjadi makin terkenal setelah diadaptasi ke film dengan judul yang sama dengan dibintangi oleh Juliette Binoche dan Johnny Depp. 

Dalam Chocolat, kuliner dipakai sebagai simbol perlawanan terhadap norma-norma sosial dan konformitas. Ketika Vianne Rocher membuka tokonya di desa yang sangat konservatif, otoritas gereja setempat yang sangat berkuasa melihatnya sebagai perlawanan. Apalagi ketika Vianne tetap membuka tokonya selama masa puasa Katolik yang ketat. Sebagian warga, sekalipun tidak sesengit gereja, menganggap pendatang baru ini sebagai penggoda yang tak tahu adat, baik karena barang yang ia jual maupun cara ia mengelola tokonya. Konflik antara tradisi dan perubahan, antara dua pandangan yang berbeda mengenai agama dan moralitas, menjadi ketegangan yang memikat sepanjang buku (dan film) – dan semua itu bermula dari biji cokelat. 

Namun, Vianne tak hanya menggunakan cokelat sebagai provokasi. Ia juga membantu beberapa orang di desa itu mengatasi masalah pribadi mereka dengan menggunakan cokelat dan makanan sebagai alat untuk menyembuhkan dan memulihkan kehidupan mereka. Dengan kata lain, makanan dapat menjadi simbol perubahan dan pemulihan. 

Bila Chocolat berakhir manis, novel lain yang juga memakai cokelat dalam judulnya, yaitu Like Water for Chocolate atau Como agua para chocolate karya penulis Meksiko Laura Esquivel, bergerak ke arah sebaliknya. Dalam novel ini pertama kali diterbitkan pada 1989 ini, kuliner memainkan peran sentral dalam penceritaan, dengan bumbu realisme magis yang ikut menyedapkan. 

Novel berlatar belakang Meksiko pada awal abad ke-20, yang juga sudah diadaptasi ke film ini, mengikuti kehidupan Tita De La Garza, seorang wanita muda yang memiliki bakat alami dalam memasak. Tita jatuh cinta pada Pedro, tetangganya. Namun, ibu Tita, Mama Elena melarang hubungan mereka karena dalam tradisi keluarga Garza, anak perempuan terakhir harus mengurus sang ibu sampai ibunya meninggal dunia, dan si anak tak boleh menikah sampai saat itu. Mama Elena menawarkan kakak kedua Tita, Rosaura, kepada Pedro. Si pemuda setuju karena pengaturan ini memungkinkannya tetap berdekatan dengan Tita. 

Kuliner menjadi elemen paling mencolok dalam novel ini. Setiap bab dalam buku ini dimulai dengan resep makanan dan minuman yang berkaitan dengan peristiwa atau emosi dalam bab tersebut. Tita, yang terkekang, mengekspresikan emosinya melalui masakan yang dia sajikan kepada keluarganya. Hidangan-hidangan tersebut sering kali memiliki efek ajaib pada orang-orang yang memakannya, mempengaruhi perasaan dan tindakan mereka. 

Masakan Tita yang paling maut adalah burung puyuh goreng mentega dengan saus kelopak mawar untuk santap malam. Selain bumbu dapur biasa semacam garam dan bawang putih, Tita juga menaburi olahan itu dengan pemikiran erotisnya tentang Pedro. Akibatnya, Gertrudis, kakak tertua Tita, setelah menyantapnya menjadi begitu berkobar karena nafsu sehingga dia mengeluarkan keringat berwarna merah muda dan beraroma mawar. Ketika Getrudis pergi untuk menenangkan diri di kamar mandi, tubuhnya mengeluarkan begitu banyak panas sehingga air di tangki pancuran menguap sebelum mencapai tubuhnya dan pancuran itu sendiri terbakar. Saat Gertrudis keluar dari pancuran yang terbakar dalam keadaan telanjang, dia dibawa menunggang kuda oleh pemimpin revolusioner Juan Alejandrez, yang tertarik padanya dari medan perang karena aroma kemerahannya; mereka bercinta di atas kuda Juan saat mereka berlari menjauh dari peternakan. 

Makanan dalam novel ini mewakili berbagai simbol, tergantung apa yang dimasak oleh Tita dalam setiap babnya. Ada makanan yang berperan sebagai simbol hasrat dan cinta terlarang, ada yang mewakili penindasan panjang, dan ada pula yang melambangkan perlawanan pada konvensi sosial yang tidak masuk akal. Esquivel berhasil menggunakan kuliner sebagai alat untuk menjelajahi tema-tema ini secara mendalam. Tak mengherankan bila novel ini salah satu karya sastra Latin Amerika yang paling dikenal dan dihargai di dunia.

DALAM judul-judul buku yang saya sebut di atas, terlihat bahwa makanan bisa menjadi salah satu pintu masuk, bahkan pintu masuk utama untuk Like Water for a Chocolate, untuk mengenali dunia di mana karakter-karakter mereka menjalani kehidupan. Hal ini tak mengherankan mengingat makanan bukan melulu soal bagaimana mengganjal perut atau memuaskan lidah, melainkan juga cerita tentang budaya, sosial, ekonomi, dan sejarah yang signifikan. 




Dengan kata lain, makanan ikut berperan penting membentuk peradaban. Pada aspek budaya, misalnya, kita lazimnya bisa segera mengenali asal-usul suatu makanan yang populer. Setiap kelompok etnis atau bangsa memiliki makanan tradisional yang mencerminkan sejarah, nilai-nilai, dan identitas budayanya. 

Makanan sering menjadi lambang kebanggaan budaya dan digunakan dalam upacara, festival, dan perayaan. Kebanggaan ini kadang menjadi pemicu konflik yang melelahkan dalam kehidupan nyata, tetapi bahan yang menarik dalam karya fiksi – Novel The Hundred-Foot Journey karya Richard C. Morais, misalnya, mengisahkan persaingan antara restoran tradisional India dan restoran peraih bintang Michelin di Prancis, tetapi makanan juga yang akhirnya menjembatani dua budaya yang berbeda. Bagi saya, nasi rames atau nasi campur, adalah metafora yang cocok untuk Indonesia; terdiri atas unsur-unsur berbeda, bisa dinikmati terpisah, tetapi sajian ini akan memunculkan kekuatan terbaiknya jika semua unsurnya disatukan. 

Di sisi inovasi dan teknologi, penemuan seperti pertanian, pemrosesan makanan, dan metode penyimpanan telah mengubah cara manusia hidup dan berinteraksi dengan lingkungannya. Buku Consider the Fork: A History of How We Cook and Eat karya Bee Wilson, misalnya, menjelajahi evolusi alat-alat masak dan cara memasak dalam sejarah manusia. Ini memberikan wawasan tentang bagaimana teknologi memengaruhi cara kita memasak dan makan, yang pada gilirannya membentuk peradaban kita.

Pada aspek perdagangan dan ekonomi, makanan adalah komoditas perdagangan yang penting sepanjang sejarah, dan ia membentuk hubungan ekonomi antara berbagai peradaban dan memengaruhi pertukaran budaya. Buku Salt: A World History karya Mark Kurlansky menjelajahi sejarah garam dan bagaimana komoditas ini mempengaruhi perdagangan, ekonomi, dan bahkan konflik selama berabad-abad. Ini adalah contoh bagaimana bahan makanan sederhana dapat memiliki dampak besar pada peradaban manusia. Buku The Omnivore's Dilemma karya Michael Pollan ini menggali aspek-aspek kompleks dalam rantai makanan modern dan dampaknya pada masyarakat, ekonomi, dan lingkungan. Ini menunjukkan bagaimana pilihan makanan kita membentuk sistem pangan global.

Pada aspek sosial, pemilihan dan konsumsi makanan bisa mencerminkan kelas-kelas yang ada di masyarakat. Dan, karena makanan memainkan peran kunci dalam kesehatan individu dan kesejahteraan masyarakat, perubahan dalam pola makan dan akses terhadap makanan berkualitas dapat memengaruhi kesehatan populasi dan eksistensi peradaban itu sendiri.

SAYA punya dua dorongan saat akhirnya memasukkan makanan dalam karya-karya fiksi saya. Pertama, adalah upaya dokumentasi, atau boleh jadi sekadar nostalgia, untuk makanan-makanan yang saya kecap pada masa kecil dan remaja saya di Semarang pada 1970-an dan 1980-an. Oleh karenanya muncul makanan-makanan yang khas kota kelahiran saya ini, semisal wedang majun atau wedang blung, lekker, glewo koyor, dan masih banyak lagi. Namun, saya berupaya untuk tidak sekadar menjejerkan nama, tetapi juga menceritakan hal-hal menarik seputar makanan tersebut. Misalnya, bagaimana wedang blung beroleh namanya atau arang yang dipakai untuk memasak lekker mesti berasal dari kayu mlanding (petai cina), yang ketika terbakar akan menimbulkan bunyi kletak-kletik merdu, agar panasnya pas.

Kedua, saya melakukannya untuk menceritakan kepribadian tokoh-tokoh dan menggerakkan cerita. Salah satu momen seseorang bisa sangat jujur, setidaknya pada dirinya sendiri, adalah saat ia makan dan minum. Lidah sebagai indra perasa jauh lebih jujur ketimbang saat berperan sebagai salah satu peranti bicara. Adegan ini saya munculkan, misalnya, ketika Sungu Lembu pertama kali menikmati daging bakar bersama Raden Mandasia dalam novel Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi (Banana, 2016); Sungu Lembu yang masih belum sepenuhnya percaya pada rekan perjalanannya, harus mengakui bahwa kecerdasan lidah Raden Mandasia lebih unggul. Dalam Pengantin-pengantin Loki Tua (Banana, 2023), peran makanan menjadi lebih sentral lagi karena tokoh utamanya adalah seorang juru masak. Berkat atau gara-gara keterampilan masaknya, Loki Tua terlempar dari satu tempat ke tempat lain dan menjumpai sekian pengalaman yang membuka matanya, baik sebagai bendari dan manusia pembelajar. Dalam Pengantin-pengantin, cerita tentang makanan juga meluas, tak hanya ketika ia dibuat untuk pengejaran kepuasan lidah tetapi juga bagaimana ia berfungsi sebagai senjata pertarungan, bahkan hukuman.

Ke depan, sepertinya saya akan terus memasukkan kuliner dalam karya saya. Masih banyak bahan dan cara penyajian yang menantang diolah.

(Artikel ini ditulis sebagai materi Wicara Peristiwa Sastra Festival Kebudayaan Yogyakarta 2023)