Kliping Resep Masakan

oleh Hasta Indriyana

Tak berselang lama setelah saya menikah, ibu mengumpulkan anak-anak dan menantunya di rumah tabon. Acaranya tentu saja ada makan-makan. Kumpul-kumpul mesthi ana mangan-mangan, meskipun sederhana menunya. Saya tidak ingat dengan detail menu apa saja yang dihidangkan ibu sebagai “tuan rumah”. Hanya satu yang saya ingat, yaitu jangan lombok ijo, sayur bersantan yang isinya tempe dipotong-potong dadu dan dipenuhi cabai keriting hijau. Sayur khas Gunungkidul. Minumnya teh panas, legi, kenthel dalam cem-ceman teko blirik berwarna hijau-putih. 

Sebuah keluarga isinya adalah ngobrol. Tema pembicaraan apa pun. Salah satu momen penting dalam obrolan waktu itu adalah tentang masakan, tentang bagaimana ibu (suka) memasak, dan membocorkan rahasia dapur yang selama hampir 70 tahun usia ibu. Ternyata ada “perlakuan khusus” dalam memasak. Sebagai contoh, ketika memasak ibu pasti berpuasa. Maksudnya tidak makan-minum apapun sampai masakan matang dan terhidang. Hal ini untuk menjaga lidah tetap netral dan titis mengukur takaran rasa. 

Obrolan antara ibu, anak, menantu bisa remeh-temeh, guyonan, sampai hal-hal serius atau istilah anak zaman sekarang deep talk. Hubungan antara obrolan dengan makanan-minuman bukanlah hubungan seperti sampiran dengan isi dalam pantun. Obrolan dan makanan-minuman adalah isi. Ngobrol bukan sekadar “alat” untuk kemudian akhirnya semua orang makan-minum. Sebaliknya, makan dan minum bukanlah “pelengkap” ketika obrolan berlangsung. Keduanya sama-sama memiliki nilai.

Banyak hal berkaitan dunia dapur dibeberkan ibu. Menjelang akhir obrolan, beliau mengeluarkan tumpukan buku ukuran kertas folio bergaris. Buku itu berisi fotokopi klipingan resep masakan yang didapatkannya selama bertahun-tahun dari berbagai majalah, tabloid, dan koran. Saya yakin, ibu telah mempraktikkan resep-resep di dalamnya. Itu kenapa sedari kecil, saya yang anak bungsu nomor delapan, sering mendapati menu masakan, minuman, cemilan, atau beragam kue, apalagi ibu pernah kursus memasak sewaktu muda. 

Ibu bukanlah koki. Ibu perempuan biasa yang membesarkan anak-anaknya di antara hiruk-pikuk dan centang-perentang ekonomi keluarga yang tak stabil. Dalam kondisi yang terbatas dengan delapan anak, salah satu yang saya baca dari “perjuangan” ibu adalah: Mempertahankan agar dapur senantiasa ngebul. Itu yang penting. Hal penting lain saya kira, mempertahankan “selera” makan keluarga agar senantiasa bergairah dengan upaya-upaya menyediakan menu beragam. Itu kenapa saya pernah memergoki ibu menyisihkan recehan dalam tempolong, kaleng bekas susu. Uang yang terkumpul itu setahu saya hanya dipakai untuk keperluan dapur, menyediakan bahan makan atau bumbu jika sewaktu-waktu persediaan habis. 

Makanan, boga, atau kuliner, membutuhkan pengetahuan. Ibu rela menyisihkan waktu dan uang untuk kursus memasak, membaca dan mengkliping resep. Tangan ibu adalah kebiasaan. Lidah ibu adalah indera perasa yang berpengalaman menganalisis, menakar, dan menjajal berbagai resep. Ibu mau bertungkus lumus dengan ruang sempit bernama dapur. Pengetahuan dan kebiasaan saya kira tidaklah cukup, sebab ibu memiliki kepedulian terhadap keluarga dan terhadap boga itu sendiri. Sampai pada suatu waktu saya sadar bahwa ibu adalah pengetahuan itu sendiri. Ibu adalah perempuan yang menaruh hati dan perhatiannya kepada keluarga yang dicintainya. 

Sebagaimana di rumah kakek (bapaknya ibu) yang di atas para-para menggantung jagung-jagung kering yang diikat, gerumbul padi di lumbung, uwi di bawah gentong, ibu menanam singkong untuk dipanen daun mudanya sewaktu-waktu, pohon pepaya, empon-empon, dan beberapa jenis tanaman pangan dan bumbu. Panenan hasil kebun belakang rumah terbukti mampu memanjangkan usus kami. Tak ada jargon farm to table, tetapi praktik dan kebiasaan menjadikan kami terbiasa. “Tabungan” yang berbentuk tanaman pangan. 

Tangan ibu rikat dan cekatan ketika memasak. Namun tidak saat mengulurkan buku demi buku kliping resep masakan kepada anak dan menantunya (perempuan) satu per satu. Jari-jarinya bergetar bukan lantaran tremor, tetapi ada “hal besar” terbayang di pikirannya, yaitu masa depan kami, anak-anaknya. Bagaimana masa depan dapur kami? Mungkin itu yang membuat ibu meneteskan air mata. Setiap orang tua akan merasa tidak benar-benar ikhlas melepaskan anak-anaknya berumah tangga, apalagi berurusan dengan dapur. Pertanyaan kasarnya adalah: “Apakah kami kelak bisa makan?” begitulah orang tua, ibu saya. 

Cerita tentang ibu membagi kliping resep masakan di atas kemudian saya tulis menjadi sebuah puisi berjudul, “Kliping Warisan Ibu”. Puisi tersebut menyadarkan saya, bahwa saya harus menulis puisi-puisi lain tentang masakan, tentang ibu, tentang masa lalu, tentang kekayaan tak ternilai bernama boga. Saya mengingat-ingat kembali puisi yang pernah saya tuliskan. Ternyata sebelumnya saya telah menulis puisi-puisi bertema kuliner. Beberapa saya dapatkan dan saya kumpulkan. 

Lima tahun kemudian, terbersit di dalam benak, saya berkeinginan menyusun antologi puisi kuliner. Kerja di awal, saya membagi kuliner menjadi tiga bagian, yaitu makanan-minuman, sejarah boga, dan alat-alat dapur. Outline saya susun untuk memudahkan pembagian. Apa saja yang ingin saya tuliskan kemudian saya catat kata kuncinya ke dalam “calon puisi”, semacam embrio. Di antara embrio-embrio itu nyaris semua memerlukan acuan. Acuannya adalah teks, praktik memasak, dan wawancara. Sisanya adalah kenangan dan impresi. Calon satu judul puisi bisa membutuhkan 2-3 teks penunjang. Bisa juga, satu calon judul puisi harus praktik memasak berkali-kali. Khusus mengenai teks (sejarah), saya wawancara kepada sahabat saya, Eko Boedyono (alm.), Mas Sunardian Wirodono (khusus Serat Centhini), dan beberapa teman untuk diskusi ringan sambil lalu. 

Buku Rahasia Dapur Bahagia saya susun sekitar tiga tahun. Satu rencana yang menurut saya cukup tergesa-gesa. Hal ini terbukti, bagi saya, masih ada puisi yang harusnya tidak termuat di dalamnya dengan alasan estetika. 

Bagian pertama buku, berisi sejarah yang di dalamnya memuat hal-hal yang berkaitan dengan kuliner. Nama-nama tokoh, nama-nama kota, dan peristiwa saya pilih. Di antaranya saya menukil bagian kecil dari Serat Centhini Jilid I – III terjemahan Sunardian Wirodono. Puisi-puisi lain saya ambil dari Babad Tanah Jawi, Babad Gunungkidul, dan masa kolonialisme Belanda. Puisi-puisi lain adalah ingatan saya tentang kisah ibu mengenai dampak peristiwa kelaparan pasca-1965 di Gunungkidul. Bagian pertama buku Rahasia Dapur Bahagia, saya menulis berdasarkan teks dan impresi. Inderawi saya bekerja berdasarkan pembayangan semata. Tak ada kerja analisis, praktik, maupun pengamatan. Puisi-puisi yang bersumber dari serat dan babad bagi saya adalah semacam puisi alusi, atau istilah Mas Purwadmadi dalam kata pengantar adalah “fragmen kecil dari hasil cropping teks besar”. Berbicara sejarah, tentu saja ada banyak hal ingin saya tuliskan, tetapi saya harus memilih karena terbatasnya ruang.

Bagian kedua buku, berisi makanan dan minuman. Bagian inilah yang membuat saya gemar berbelanja ke pasar untuk mengenal bermacam rempah-pawah, jenis-jenis sayuran, harga bahan makanan, perputaran sembako, dan perilaku manusia di dalam pasar. Kerja mengamati dan bertanya banyak saya lakukan untuk menuntaskan bagian buku ini. Di antara sekian banyak informasi dan pengetahuan yang saya dapatkan, hanya sedikit saja yang menjadi acuan untuk menciptakan puisi. Namun, paling tidak saya merasa akrab dan lebih mengenal kuliner dan dunia yang melatarbelakanginya, daripada tidak sama sekali. 

Sepulang dari pasar atau supermarket, saya praktik memasak. Saya belajar (kembali) cara merajang, menetak, menggoreng, menanak, menumis, dan meracik bahan-bahan di dapur. Saya merasakan secara “khusyuk”, bagaimana jari-jari tangan bekerja, hidung mencium asap masakan, lidah menyentuh kuah di ujung sendok, belajar menghidangkan, dan membereskan dapur yang berantakan seusai memasak selesai. Tidak semua nama masakan dalam puisi-puisi di bagian kedua buku ini pernah saya masak. Beberapa di antaranya adalah hasil menyantap masakan khas daerah lain saat berkunjung ke sana, seperti ayam tangkap, asam pedas, pepes belida, konro, papeda kuah kuning. 

Puisi-puisi di bagian kedua buku Rahasia Dapur Bahagia tidak melulu ngomong masakan. Kadang secara lirih nyerempet politik, sosial-budaya, pendidikan. Puisi-puisinya kebanyakan liris-impresif yang mengarah pada filosofi. Hal-hal lain di luar kuliner sengaja saya sertakan dengan tujuan bukan sebagai “pelengkap” atau “tempelan”, tetapi untuk tujuan estetika dan memberi “isi” puisi. Sederhananya, jika semua puisi hanya berbicara makanan, pembaca akan mendapatkan “kenyang” semata. Persoalannya, tiap-tiap masakan (di setiap daerah) seringkali memiliki tautan yang berkelindan dengan latar budaya, politik, sosial setempat. Saya adalah penulis puisi yang memilih cara/teknik ini untuk menganggap bahwa puisi yang saya tulis “berisi dan estetis”. 

Bagian ketiga buku, saya rencanakan berisi perihal perkakas dapur semua, tetapi karena beberapa pertimbangan, tema lain saya masukkan. Puisi-puisi bagian ketiga cukup beragam. Ada puisi hasil mencicipi makanan sekaligus mengamati lingkungan sekitar (sejarah, sosial, budaya), ada puisi hasil pengalaman, ada puisi hasil perenungan terhadap perkakas dapur. Ada puisi-puisi yang tema kulinernya disinggung sekilas. Maksudnya, kuliner bukan menjadi bagian inti dalam puisi. Kerangka utama puisi adalah peristiwa lain. Kuliner bisa menjadi batu loncatan untuk masuk pada tema lain, tetapi bisa juga kuliner menjadi “bumbu”. Puisi-puisi yang ada, lahir karena ekspresi, tersebab asosiasi atas sesuatu hal, dan impresi dari pikiran dan perasaan-perasaan.

Puisi-puisi dalam Rahasia Dapur Bahagia menampakkan fungsi boga sebagai fungsi sosial, ritual, ekonomi, dan kesehatan. Sebagai contoh, di Gunungkidul berbagai acara adat memerlukan uba rampe yang berwujud boga. Boga dipakai sebagai pelengkap ritual dalam upacara-upacara tertentu. Jenis boga tertentu dengan masing-masing unsurnya adalah perlambang atas hal-hal yang dibayangkan dan diinginkan. Masyarakat menyepakatinya secara bersama-sama. Hal ini berlangsung turun-temurun sampai sekarang. 

Di zaman kiwari, boga sebagai wujud perlambang juga dipakai (dan sepakati) masyarakat modern di banyak wilayah. Menu kupat-opor ketika Hari Lebaran dirayakan adalah salah satunya. Kupat melambangkan kesalahan (lepat), dan opor (bersantan) adalah perlambang meminta maaf (nyuwun pangapunten). Inilah bagian dari prinsip hidup masyarakat. Boga adalah identitas budaya masyarakat tertentu. Identitas ini dikonstruksi oleh masyarakat secara sadar. 

Ekspansi tangan-tangan kapital di ranah boga juga mampu mendikte masyarakat dan menyulapnya menjadi konsumen yang patuh terhadap imaji-imaji yang dibangunnya. Merebaknya Mixue, restoran all you can eat, atau generasi yang lebih tua macam McD dan KFC membuktikan terengkuhnya imaji “seolah-olah”, bahwa produk-produk sejenis itu bagi sebagian masyarakat kita adalah modern, cepat, ringkas, dan berkelas. Identitas budaya inilah yang kemudian terbangun. 

Boga dalam puisi adalah ruang mempertanyakan kembali boga dan segala hal yang melingkupinya, kemudian mempertanyakan tentang manusia dan hal-hal yang musykil, nggoleki galihing kangkung, nggoleki susuhing angin. Hal ini berkebalikan dengan hasrat merengkuh imaji-imaji yang “seolah-olah”. Kita pun paham bahwa kuliner di ruang mana pun adalah surga di dunia. Dia bisa dibayangkan, nikmat di lidah, kenyang di perut, dan bisa didapatkan dari bahan-bahan sederhana sekalipun. 

Membaca kembali Rahasia Dapur Bahagia, saya teringat ibu saat membagikan kliping resep masakan. Pertanyaan saya adalah: Mengapa ibu yang membagikan? Bukan bapak? Mengapa yang diserahi kliping kakak (ipar) perempuan? Bukan kakak (ipar) laki-laki? Ada satu cerita kecil yang menyentil saya. Bagi ibu, uang recehan di tangannya akan dikumpulkan sedikit demi sedikit untuk menghadapi “badai” kehabisan uang. Itu artinya urusan dasar akan perut bisa diatasi. Bagi bapak, uang recehan barangkali akan dipakai untuk membeli sebatang-dua batang rokok untuk dirinya sendiri. 

Ibu, juga menyimpan korek api yang ditaruhnya tidak jauh dari tungku. Di tangannya, sepercik geretan korek bisa menghidupkan dapur, membuat piring dan sendok beradu, menjadikan orang serumah kenyang. Sementara, di tangan bapak, korek api hanya akan menyalakan rokok untuk dirinya sendiri. Apabila teringat ibu, uang recehan, korek api, dan upaya-upaya beliau menciptakan “tabungan” berupa tanaman pangan, perempuanlah sejatinya benteng pertahanan dari perihnya keadaan. Termasuk, mengapa kliping itu harus ada dan kemudian diwariskan. Saya bersyukur ibu telah membocorkan rahasia dapur yang lantainya tanah yang rumahnya begitu tabah. 

Salam hormat saya kepada seluruh ibu. 



Muntilan, 26 September 2023

(Artikel ini ditulis sebagai materi dalam sesi Wicara Peristiwa Sastra Festival Kebudayaan Yogyakarta 2023).