Mustikarasa, Manifestasi Keragaman Pangan Nusantara

Oleh: Rofida Noor Amalia (Tepikota)

Tepikota adalah rumah di perdesaan yang tidak cukup dekat dengan jalan raya. Dengan mengusung tiga irisan bidang yaitu pangan, seni, dan literasi; secara berkala di hari Minggu Tepikota mengadakan acara “Makan Bareng” dengan menu yang diambil dari buku resep Mustikarasa. Selain itu, Tepikota juga membuka ruangnya untuk kunjungan kawan-kawan yang ingin menikmati cita rasa masakan Nusantara yang diolah berdasarkan resep-resep yang tertuang di buku Mustikarasa

Tepikota sebagai rumah pribadi yang dibuka untuk publik ingin mempertahankan citranya sebagai rumah. Karenanya berkunjung ke Tepikota bukan semata perihal transaksional, tetapi bagaimana manusia sebagai makhluk sosial juga dapat saling berinteraksi antar sesamanya. Kapasitas dibuat batas untuk menjaga intimasi antar pengunjung, serta antara pengunjung dengan tuan rumah. Dalam setiap harinya, Tepikota menyediakan kuota untuk sepuluh orang agar ruang yang tidak terlampau luas tetap nyaman untuk berkegiatan. Tidak riuh namun tetap hidup dengan kehadiran orang lain. 

Meja makan menjadi simbol kehangatan kebersamaan pada banyak keluarga. Relasi sosial dan komunikasi antar anggota keluarga dibangun dari sana. Apa yang dilakukan di Tepikota beranjak dari pijakan tersebut. Makan bersama dalam satu meja sembari bercerita tentang makanan, daerah asal makanan, bumbu, hingga budaya dan hal-hal lain yang erat dengan keseharian. Makan bersama barangkali sudah menjadi hal yang jarang dilakukan karena kesibukan sehari-hari. Meja makan di sebagian besar warung pun tidak lagi bersifat komunal, tetapi lebih bersifat personal. Setiap orang memiliki mejanya masing-masing di rumah makan sebagai bentuk penegasan area kekuasaan privat saat menikmati kenyamanan bersantap. 

Salah satu contoh tempat makan yang masih erat kaitannya dengan kebersamaan adalah angkringan. Satu meja panjang dan beberapa kursi panjang ditata saling berhadapan dengan sederet nasi kucing berikut pilihan tambahan lauk pauknya. Komunikasi intim dengan pedagangnya pun tidak tabu dilakukan, sesekali boleh juga berkenalan dengan orang lain yang duduk di sebelahnya. Konsep itulah yang kemudian dibawa oleh Tepikota, menggabungkan sesi makan bersama ala keluarga namun dilakukan bersama orang lain yang baru saja ditemui. Keakraban dengan kenalan baru dibangun dalam satu meja, komunikasi dijalin melalui perbincangan dan makanan, yang kemudian dapat berlanjut menjadi pertemanan, kerja sama, atau kolaborasi. Tepikota membawa misi untuk mengingatkan bahwa manusia adalah homo socius atau makhluk sosial yang senantiasa membutuhkan keberadaan orang lain dalam kehidupannya. 

Dalam pengantar buku Mustikarasa yang dicetak ulang dan diterbitkan oleh Komunitas Bambu, JJ Rizal menuliskan bahwa Mustikarasa adalah manifestasi dari apa yang dikatakan Sukarno bahwa orang yang lapar tidak bisa diberikan pemikiran revolusi. Dari sanalah kemudian muncul diplomasi makanan. Memang melalui makanan kita lantas bisa membicarakan apa pun tanpa sekat, baik pembicaraan ringan maupun berat. Penerimaan orang terhadap suatu hal lebih mudah dilakukan saat perut kenyang daripada lapar. Bukankah hal yang acapkali penting pada rapat-rapat adalah kudapan?

Mengapa Mustikarasa

Pertanyaan ini kerap hinggap di benak kawan-kawan Tepikota. Sebetulnya Tepikota tidak serta merta dimulai dengan menjelajahi resep-resep buku Mustikarasa. Tepikota memulainya dengan mengingat masakan yang sering muncul di meja makan nenek di Situbondo, Jawa Timur. Bukan tanpa sebab, di perantauan lidah Febri (suami) perlu beradaptasi dengan cita rasa yang berbeda dari daerah asal dan tentu masakan rumah selalu menjadi hal yang paling dirindukan. 

Buku pertama yang dijelajahi Tepikota adalah Budaya dan Kuliner:Memoar tentang Dapur China Peranakan Jawa Timur. Buku yang mengulas tentang resep-resep warisan keluarga Koo Siu Ling lantas disusun ulang oleh Paul Freedman dan Koo Siu Ling. Ada banyak kemiripan resep di dalam buku tersebut dengan masakan-masakan yang sering kali dijumpai di Situbondo sebagai daerah pesisir utara Jawa dan banyak bersentuhan dengan pendatang, tidak terkecuali etnis Madura, Arab, dan Tionghoa. 

Sementara itu, Mustikarasa menjadi buku paling tebal yang menghuni jajaran rak buku di Tepikota. Buku yang merangkum resep-resep dari segala penjuru Nusantara itu lantas menggerakkan Tepikota untuk menjelajah pulau demi pulau di Nusantara secara lebih serius. Tepikota mengamini keragaman pangan Nusantara dan mulai bereksperimen memasak resep-resep tersebut lalu menyajikannya kepada kawan-kawan yang datang. Tidak kurang dari 1.600 resep masakan terangkum baik berupa olahan makanan pokok, lauk pauk basah, lauk pauk kering, sayur-sayuran, sambal, kue-kue, dan kudapan, serta minuman. Tidak seluruhnya resep betul-betul menggunakan bahan asli yang terdapat di Nusantara, ada beberapa resep yang mengalami dipengaruhi oleh Eropa, Tionghoa, dan Arab – baik sebagian bahan-bahannya maupun seluruhnya. 

Hal lain yang menarik dari Mustikarasa adalah resep-resepnya yang tidak menggunakan takaran gramasi baku seperti gram atau ons. Ukuran ruas jari, lembar, sejumput, seiris, sesendok, atau segenggam menjadi patokan yang harus dicermati saat memasak. Teknik ukuran berdasarkan tangan pemasak tersebut menjadi tantangan tersendiri karena besar kecilnya tangan antara orang yang satu dengan yang lain sangat bisa berbeda. Di sisi lain, masakan menjadi lebih bersifat personal dan mengedepankan hati atau insting – barangkali dari proses inilah muncul istilah “memasak dengan hati”. Barangkali pula dari sanalah salah satu alasan mengapa beda pemasak, beda suasana hati, beda rasa masakan. 

Mustikarasa dan Ketahanan Pangan 

Siapa bilang rakyat kita lapar, 

Indonesia banyak makanan.” 

--Petikan lagu “Bersuka Ria” karya Ir Sukarno 

Masih dari pengantar buku Mustikarasa, JJ Rizal juga menuliskan bahwa “Mustikarasa adalah sebuah konsepsi nasional tentang politik pangan nasional untuk menjamin – sebagaimana yang disebut dalam satu bait lagu “Keroncong Bersukaria” ciptaan Sukarno – “Indonesia banyak makanan”. Agar Indonesia selamat dari ancaman krisis pangan, gizi buruk, dan ketakmampuan dalam mengelola produksi pangan. Sukarno tahu betul inilah ancaman terbesar bukan hanya kekuasaannya, tetapi juga masa depan Indonesia.” 

Paragraf tersebut menyampaikan dua hal yang saling berlawanan, sebuah ironi. Sebagai negara kepulauan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, berada di kawasan cincin api, tidak dipungkiri kekayaan bahan pangan Nusantara baik dari daratan maupun lautan. Padi, jagung, beragam umbi-umbian, sayur-sayuran, buah-buahan, daging baik hewan berkaki empat maupun unggas, ikan air tawar, juga hasil laut sangat melimpah. Sebagai negara dua musim, tanah di Nusantara juga relatif lebih mudah diolah; upaya bertahan hidup tidaklah serumit negara yang dilimpahi empat musim. 

Ketahanan pangan sebenarnya bukanlah hal yang sulit diupayakan, banyak sekali tanaman yang tumbuh di sekitar yang dapat dikonsumsi. Namun, pengetahuan terhadap tanaman yang sesungguhnya di masa lalu bukanlah tanaman liar atau asing mengalami penurunan dari generasi demi generasi. Bahkan Tepikota pun mengalami kesulitan dalam mengenali ragam pangan lokal beserta cara mengolahnya seperti umbi-umbian (gadung, uwi, gembili), ragam jamur, daun-daunan liar (sintrong, krokot, regedeg, ginseng), rebung, dan jantung pisang. Perihal cara mengolahnya pun menjadi pengetahuan lain yang juga wajib dipahami sebab perlu proses penghilangan getah atau kandungan-kandungan lain yang dapat menyebabkan keracunan. Di masa sekarang, tanaman-tanaman itu biasa dikenal dengan tanaman ramban atau ada juga yang mengistilahkan sebagai edible plant

Tanaman ramban selain sebagai bagian dari ketahanan pangan juga merupakan aspek kedaulatan pangan. Saat kita berdaulat atas pangan yang kita dapatkan, maka tidak akan ada satu pun yang bisa mengatur bahkan tidak bisa menakut-nakuti kita di masa yang akan datang dengan narasi krisis pangan. Orang-orang yang merasa khawatir tentang krisis pangan bisa jadi adalah orang yang belum bisa menghasilkan atau mengusahakan hasil pangannya sendiri dan keluarganya. Dalam skala yang lebih luas, negara yang takut rakyatnya akan kelaparan adalah negara yang hasil pangannya masih bergantung pada negara lain – semoga tidak demikian dengan Nusantara yang terbentang di Indonesia. 

Saat memasak resep dari Mustikarasa, rasa asing muncul terhadap nama-nama makanan juga bahan-bahan yang mulai jarang ditemui. Dedaunan seperti daun melinjo, daun ubi jalar, daun kacang panjang, atau daun genjer relatif sulit diperoleh. Kalaupun di pasar ada, harganya jauh lebih mahal daripada seikat kangkung dan bayam. Logisnya, dalam transaksi perdagangan, ketersediaan suatu komoditas akan mengikuti permintaan pasar. Menurut kami, apabila sayur-sayuran yang relatif hanya bisa tumbuh di dataran tinggi lebih banyak diminati, maka petani hanya akan menanam itu saja yang tentu lebih menghasilkan pundi-pundi ekonomi. Komoditas hasil bumi yang ditanam petani pun akan mengalami perubahan. Wortel, kentang, selada, bit, kailan, jarang sekali tercantum dalam resep Mustikarasa terkecuali pada kategori masakan sup yang tentunya sudah mengalami akulturasi dengan masakan Eropa. 

Pertanyaan antartetangga yang dulu sering terdengar saat masa kecil, “Saiki kelan apa? (Sekarang membuat sayur apa?),” hampir tidak pernah terdengar lagi. Vegetasi yang tumbuh di sekitar rumah rasanya sudah tidak menjadi bagian dalam makanan keseharian lagi. Segala bentuk kepraktisan dalam proses makan terus berinovasi. Mulai dari teknologi alatnya, metode pesan antar, hingga inovasi membuat makanan yang sesuai dengan selera pasar. Pada perkembangannya kita pun juga semakin dimudahkan dengan keberadaan bumbu bumbu instan sehingga di situasi saat ini semakin nyaman untuk mencari rasa enak yang lebih instan. Definisi makanan sebagai kebutuhan primer dalam upaya bertahan hidup mulai bergeser pada kebutuhan gaya hidup.

Konsumsi masakan autentik Nusantara bisa jadi juga merupakan kebiasaan yang lantas kian asing. Selain rendang, gado-gado, atau sate, berapa banyak yang mengenal masakan bernama gecok, juku kambu, nasu wolio, gohu, atau binte. Alih-alih mengenal masakan-masakan autentik Nusantara, banyak sekali penjaja makanan yang saat ini justru tergiur mengambil peluang untuk menjual makanan yang berasal dari luar negeri. Sebut saja takoyaki, katsu, ayam saus keju, sosis bakar, thai tea atau burger. Karenanya lidah generasi saat ini lebih akrab dan dengan mudahnya bisa menerima cita rasa yang tidak berasal dari akar budayanya sendiri. Bisa jadi aneka rimpang dan rempah tidak lagi dikenal dan sulit sekali membedakan kunyit dengan temulawak, jahe dengan kencur, atau lada dengan ketumbar. 

Padahal dari Sabang sampai Merauke, perbedaan rasa dan karakter dalam keragaman masakan Nusantara menjadi salah satu kekayaan Nusantara. Setiap pulau memiliki cara memasaknya sendiri-sendiri baik dari jenis makanan, kompleksitas bumbu, bahan dasar, cara memasak, hingga pugasan dalam setiap sajiannya dan cara menyantapnya. Makanan serupa dengan sandang dan arsitektur, dari Sabang hingga Merauke, dari Sumatra hingga Papua, semakin ke timur elemen yang terkandung di dalamnya semakin sederhana. Makanan semakin sederhana dalam racikan bumbu, sandang dalam corak, dan arsitektur dalam langgam. Bumbu di masakan Sumatra dan Jawa cenderung dihaluskan, Bali dirajang halus, Kalimantan dan Sulawesi mengandalkan bumbu rajang dan sesekali dihaluskan, Nusa Tenggara dihaluskan namun lebih sederhana komponennya, dan Papua mengandalkan hampir tanpa bumbu.

Semua ciri khas tersebut tidak dipungkiri mungkin memiliki pengaruh akulturasi budaya serta kondisi geografis dan topografi tanaman pangan endemik. Sebagai contoh, andaliman hanya dapat dijumpai di Pulau Sumatra, petis hanya dijumpai di Jawa kawasan Pantai Utara, taburan kelapa hanya dijumpai di Sulawesi, Papua yang jauh dari laut dan ladang garam, serta ciri-ciri lain tertentu. Hal tersebut kemudian memengaruhi sajian makanan secara rasa, gurih asin, pedas, manis, juga asam antardaerah. 

Pada mulanya makanan adalah kebutuhan primer manusia untuk bertahan hidup. Seiring berkembangnya pola konsumsi dan evolusi suatu makanan serta keterhubungan manusia antaretnis, sebagai perlintasan perdagangan, menjadi jalur perdagangan, persinggahan pedagang, dan bahkan bahan makanan serta rempah sebagai komoditas perdagangan, makanan menjadi saling terakulturasi. Seperti halnya bahasa, makanan pun saling serap-menyerap budaya. Seperti Sumatra yang terpengaruh dengan bumbu-bumbu dari Timur Tengah dan India, Jawa terpengaruh pola memasak Tionghoa, Arab, dan India, sementara daerah Indonesia Timur kurang lebih masih memiliki sifat keaslian masakannya karena paling jauh keberadaannya dari jalur perlintasan rempah. 

Seiring dengan perkembangan rasa yang lebih kompleks, lidah pun beradaptasi dengan kompleksitas rasa tersebut. Manusia mulai mencari kenikmatan rasa melalui perpaduan rempah-rempah, kesederhanaan bumbu, atau juga rasa tertentu yang kemudian menjadi standar suatu makanan. Makanan tidak sekedar untuk bertahan hidup namun juga memunculkan pilihan pernyataan antara “enak” atau “tidak enak”.

Jika ketahanan pangan mudah dilakukan, apakah kita masih ada kepekaan mencari tahu elemen apa yang ada di dalam makanan yang disantap? Bisa jadi kita justru semakin jauh dengan daya kenal terhadap bumbu bumbu. Hal itu diperkuat dengan kacamata bisnis dan selera masa kini, bukan lagi melihat autentiknya bahan atau resep. Palet rasanya mentok di makanan instan, dengan persepsi rasa enak dan tidak enak. 

Mengingat makanan yang terus berevolusi, resep-resep di berbagai buku beberapa dekade lalu termasuk Mustikarasa dimungkinkan juga mengalami inovasi pada masanya. Semestinya tidak ada makanan khas dan tidak khas pada suatu daerah karena bisa jadi makanan yang dianggap khas sebenarnya makanan yang telah mengalami inovasi di masa lalu dan terus berevolusi. Seperti halnya makanan berbahan dasar singkong di tanah Sunda yang biasanya dikenal melalui fermentasi dan menjadi peuyeum, kemudian muncul alternatif pengawetan menjadi tepung tapioka yang diolah menjadi beragam jenis makanan ringan yang disebut berbahan aci seperti cilok (aci dicolok/ditusuk), cimol (aci digemol/dibentuk bulat), atau cireng (aci digoreng). 

Di sisi lain, sayangnya dalam proses inovasi ini banyak yang menggunakan bahan yang tidak tumbuh sebagai tanaman endemik atau akrab digunakan di Indonesia. Keju, gandum, serta Italian herbs (oregano, thymes, dan rosemary) telah dengan sangat mudah ditemui pada beragam kuliner di Indonesia. Dalam hal ini tentu mengulik masakan juga menjadi bagian dari kerja-kerja kebudayaan. 

Pembiasaan Melatih Palet Rasa 

Tepikota mulai menginisiasi aktivitas berkala dengan tajuk Sadar Rasa, sebuah pengalaman untuk mencicipi cita rasa asli bahan pangan dan belajar mengenal palet lidah sebagai indera pengecap – bagaimana lidah memiliki bagian-bagiannya sendiri dalam mendeteksi rasa asam, manis, asin, serta pahit. Dalam budaya Bali, dikenal istilah Sad Rasa yaitu enam elemen rasa: asam (amla), manis (madhura), asin (lawana), pahit (tikta), pedas (katu), dan sepat (kashaya). 

Pengalaman mencicipi rasa asli suatu bahan pangan juga untuk melatih saraf olfaktori (saraf kranial I) yang memiliki tugas untuk membantu indera penciuman untuk mendeteksi aroma yang terhirup melalui hidung. Lidah dan hidung memiliki peran yang saling berkaitan untuk menentukan cita rasa serta selera makan. Apabila hidung sedang bermasalah misalnya saat seseorang mengalami flu, akan mempengaruhi selera makan karena ada aroma sedap yang tidak tersampaikan ke otak.

Dalam aktivitas “Sadar Rasa”, disediakan beberapa jenis bahan pangan dalam bentuk kukusan atau rebusan tanpa tambahan bumbu apa pun. Lantas disediakan pula beberapa pelengkap elemen rasa seperti garam sebagai penambah rasa asin, gula sebagai penambah rasa manis, cabai sebagai penambah rasa pedas, dan jeruk nipis sebagai penambah rasa asam segar. Para peserta bisa bereksperimen menambahkan rasa-rasa pada makanan sesuai selera personal masing-masing sehingga akan muncul berbagai rasa dan ekspresi terhadap suatu makanan. 

Harapannya melalui “Sadar Rasa”, berbagai makanan akan lebih mudah diterima, tidak sekedar menilai enak – tidak enaknya suatu makanan. Kenyamanan makan terhadap masakan-masakan autentik Nusantara pun akan lebih mudah dicapai karena semestinya itulah yang menjadi DNA bagi masyarakat Indonesia: bangga menyantap dan memperkenalkan masakan-masakan dari negeri sendiri.

Kolaborasi Pangan Nusantara 

Bagi Tepikota, cara memperkenalkan masakan-masakan Nusantara berlangsung dua arah. Bukan hanya Tepikota yang memperkenalkan masakan-masakan Nusantara melalui buku resep Mustikarasa melainkan kawan-kawan lain juga bisa bergantian memperkenalkan bumbu dan masakan dari daerah asalnya masing-masing. Kolaborasi memasak dengan kawan-kawan dari berbagai daerah kemudian menjadi jalan pintas Tepikota untuk berkelana melalui rasa. Dalam proses tersebut Tepikota mengakomodasi kerinduan kawan-kawan terhadap masakan rumah dan ingin memasak masakan dari daerahnya, juga hasrat memperkenalkan masakan daerahnya sendiri. 

Di dalam kolaborasi tersebut, terjadi tukar pengetahuan terkait bumbu-bumbu atau bahan autentik dari daerah asal suatu masakan. Misalnya dalam kolaborasi dengan kawan dari Aceh, Tepikota diperkenalkan dengan pliek u (fermentasi ampas kelapa sisa pembuatan minyak), asam sunti (belimbing wuluh yang digarami lalu dikeringkan), juga kas-kas (biji putih yang dapat mengempukkan daging, bersifat candu jika terlalu banyak memakainya). Pada kolaborasi yang lain dengan kawan-kawan dari Kutai Kartanegara, kami diperkenalkan dengan beras gunung, jenis beras yang berasal dari padi yang ditanam di area gunung atau bukit yang tanahnya tidak bersifat gambut. Ikan salai haruan atau ikan gabus yang diasap juga menjadi hal lain dari Kutai Kartanegara yang dilintasi sungai besar, lalu dimasak menjadi gangan ikan salai. Lain halnya dengan Sunda yang relatif banyak membawa lalapan-lalapan mentah pada banyak sekali bahan seperti leunca, terong bulat, petai, dan timun; juga olahan oncom dan tauco. 

Dari tiga daerah tersebut baru sebagian kecil saja, apalagi jika seluruh Nusantara diperkenalkan tentu akan sangat banyak yang bisa diceritakan dan bisa digilir makannya agar kamus masakan Nusantara tidak terlupakan. Dan apabila setiap hari makan satu jenis makanan, rasanya tidak akan bosan dengan makanan yang itu-itu saja. Itulah keragaman pangan Nusantara. 

__ 

Mari mengupayakan makan makanan sehari-hari dengan masakan autentik Nusantara. #makanautentiknusantara 

(Artikel ini ditulis sebagai materi dalam sesi Wicara Peristiwa Sastra Festival Kebudayaan Yogyakarta 2023).

Rofida Noor Amalia, lulusan arsitektur yang kemudian memilih mengulik kekayaan pangan Nusantara. Bersama dengan Febri Indra Laksmana, menginisiasi ruang bernama Tepikota yang mengusung pangan, seni, dan literasi – tiga hal yang kemudian dapat saling ditautkan. Saat ini sedang banyak mengulik masakan Nusantara melalui buku resep Mustikarasa yang penyusunannya diprakarsai Presiden Sukarno, lalu mewujudkan visualnya dalam bentuk karya cat air.