Berakhirnya Duet Maut Jagung dan Tembakau di Pegunungan
Oleh Hery Santoso
Sunan Kudus melempar capung emas. Cahaya pun membelah langit. Benda bercahaya yang melesat itu ternyata jatuh di lereng gunung Sumbing. Kelak, di situlah Srintil akan menitis, memberi berkah kepada para petani (Tradisi lesan di Temanggung)
Superioritas Tembakau di Pegunungan
Pernahkah kita membayangkan sepuluh ribu petani tembakau merokok secara bersamaan? Pernahkah kita membayangkan seorang petani tembakau bertanya bagaimana caranya membeli sebuah helikopter? Itu semua bukan khayalan belaka. Setidaknya keduanya pernah terjadi di Temanggung, sebuah kabupaten sekaligus juga sentra produksi tembakau di Jawa. Di wilayah yang akhir-akhir ini dikenal dengan julukan “Negeri Tembakau”, selain julukan lama yang sudah sering terdengar, yakni “Negeri Tiga Gunung”, sejak masa kolonial hingga sekarang, memang diproduksi tembakau-tembakau berkualitas, yang tidak saja membanjiri pasar-pasar tembakau regional, dan nasional, akan tetapi juga global. Di sini, bahkan dikenal jenis tembakau “Srintil”, yang harganya bisa sangat tinggi dan prestisius, mencapai jutaan rupiah per kilogram, karena diyakini memiliki kenikmatan luar biasa. Tembakau jenis ini bahkan sering dikaitkan dengan mitos-mitos tertentu, dan tidak setiap orang bisa memproduksinya. Konon hanya alam, untuk tidak mengatakan keberuntungan, yang bisa menentukan kapan jenis tembakau ini muncul, dan siapa yang akan memperoleh “pulung”, alias keberuntungannya.
Boleh dibilang tembakau adalah komoditas yang kini dipandang sebagai musuh utama kesehatan kalangan kelas menengah perkotaan, akan tetapi tetap saja menjadi teman dekat kalangan masyarakat perdesaan, utamanya wilayah pegunungan. Sejak awal tembakau memang menjadi tanaman kunci (selain jagung), bagi pembukaan dan perkembangan wilayah pegunungan yang umumnya didominasi oleh pertanian lahan kering. Melalui tembakau, hunian dan perekonomian wilayah pegunungan menjadi menggeliat, untuk tidak mengatakan meningkat pesat. Dalam catatan Boomgard, duet maut antara tembakau sebagai tanaman komersial dan jagung sebagai tanaman pangan, tercatat telah mengantarkan wilayah pegunungan, khususnya di Jawa, untuk bisa mengejar ketertinggalannya dari wilayah dataran rendah yang mengandalkan sawah dengan padinya.
Kehadiran tembakau di wilayah pegunungan seperti Sindoro dan Sumbing, telah menyatu sedemikian rupa sehingga kalangan masyarakat setempat tidak lagi memandang tembakau sebagai tanaman asing yang berasal dari negeri jauh, melainkan tanaman lokal yang berasal dari tanah mereka sendiri; tanaman itu juga didaku bukan sebagai tanaman yang pada awalnya ditemukan dan disebarkan oleh Columbus, melainkan oleh Ki Ageng Makukuhan. Itulah mengapa hampir sebagian besar petani tembakau di Temanggung, juga para petani tembakau di mana pun, kemudian mengonotasikan tembakau sebagai “emas hijau”, sesuatu yang sangat berharga nilainya, baik secara sosial, ekonomi, maupun budaya.
Penerimaan dan penghargaan para petani Temanggung terhadap tembakau memang tidak tanggung-tanggung. Mereka seperti merasa sangat bersyukur bahwa seorang putra daerah, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Kedu alias Ki Ageng Makukuhan, sosok mitologis yang juga dipercaya sebagai murid dari Sunan Kudus, telah menemukan tanaman yang kemudian dinamakan sebagai tembakau itu; tidak dari belahan bumi mana pun, melainkan dari bumi mereka sendiri: Temanggung. Dari Ki Ageng Makukuhanlah kemudian tembakau secara turun-temurun diwariskan kepada segenap warga di lereng-lereng pegunungan Sindoro dan Sumbing; sebuah harta kekayaan yang hingga kini terus dipertahankan keberadaannya.
Dituturkan secara lisan oleh sebagian besar petani tembakau di Temanggung, bahwa tanaman yang sering disebut sebagai emas hijau itu konon pada awalnya adalah tanaman obat. Dalam kisah yang sering diceritakan secara turun-temurun, disebutkan bahwa ketika sedang berupaya membantu menyembuhkan seseorang yang sedang sakit, Ki Ageng Makukuhan dan para pengikutnya memutuskan untuk mendaki lereng Gunung Sumbing, demi bisa menemukan tanaman berkhasiat. Ketika pada akhirnya berhasil mendapatkan tanaman yang dimaksud, ia pun mencabutnya sambil berujar, “iki tambaku” (ini obatku). Konon daun tanaman itu kemudian diberikan kepada si sakit untuk dikunyah. Dan ternyata secara berangsur-angsur rasa sakitnya mulai mereda. Tak berapa lama, si sakit pun berhasil sembuh. Tanaman yang kelak menjadi salah satu komoditas penting negeri ini, dan diproduksi secara turun-temurun oleh orang-orang Temanggung itu, kemudian dinamakan “tembakau” (nama yang kalau diucapkan akan terdengar mirip dengan tambaku). Sampai hari ini, oleh banyak orang di Temanggung, tembakau masih sering dianggap sebagai tanaman asli, jika bukan endemik.
Jagung Sebagai Pasangan Ideal
Akan tetapi, tanpa jagung, saya kira kisah tembakau di dataran tinggi boleh jadi tidak akan seperti sekarang. Berawal pada sekitar awal abad 19, ketika pemerintah kolonial mendorong persebaran penanaman jagung dengan gencar di Jawa, sebagai upaya untuk mengatasi naiknya harga beras yang terus melonjak, akibat dari kegagalan panen padi berkali-kali yang dialami oleh para petani. Untuk menghindari bencana kelaparan masif, yang secara tidak langsung bisa mengancam program-program ekonomi ekspor, pemerintah kolonial memperkenalkan jagung sebagai substitusi makanan pokok bagi kalangan pribumi. Jagung yang sebelumnya hanya berkembang di wilayah Indonesia bagian Timur, seperti Maluku, Nusa Tenggara, dan Sulawesi, secara perlahan-lahan mulai diproduksi secara massal di wilayah-wilayah Barat, seperti Sumatra, Jawa, termasuk di dalamnya Madura, sebuah wilayah yang kelak akan menjadi sentra produksi jagung yang penting di Jawa. Jenis tanaman yang relatif fleksibel ini, bisa diproduksi di lereng bawah hingga lereng atas, dengan cepat memenuhi lahan-lahan lereng atas segenap dataran tinggi di Jawa. Para petani di lereng bawah yang sudah mulai kesulitan menemukan lahan untuk produksi pangan, dengan hadirnya jagung mereka mulai bisa memanfaatkan lahan-lahan di lereng atas yang masih terbuka luas. Sebelumnya, mereka tidak bisa melakukannya, karena padi sulit diproduksi di lereng-lereng atas, akibat terbatasnya sumber air, juga suhu harian yang sudah mulai dingin.
Maka seturut dengan gencarnya promosi penanaman jagung, lahan-lahan di lereng atas di segenap dataran tinggi di Jawa pun mulai terbuka, jika bukan tergarap. Gelombang migrasi orang-orang dari lereng bawah ke atas menjadi tak tertahankan. Segenap teori mapan, sebagaimana hasil studi Palte memang menyebutkan bahwa arus perpindahan penduduk dari lereng bawah ke lereng atas sudah mulai berjalan sejak akhir abad 18, seiring dengan semakin sempitnya lahan-lahan garapan di bawah yang bisa diakses petani, juga semakin banyaknya para petani di bawah yang terbelit urusan hutang dengan kalangan elit –termasuk urusan politik dengan para penguasa. Tetapi, saya kira, tanpa jagung, mereka akan kesulitan bertahan di lereng-lereng atas yang sebagian besar berupa lahan kering, dengan suhu harian yang dingin; sebuah ekologi yang hampir bisa dipastikan tidak akan cocok untuk budidaya padi, sumber makanan pokok yang selama ini dikonsumsi oleh para petani di bawah.
Jagunglah yang kemudian bisa mengatasi situasi ini. Dengan jagung, setidaknya, petani migran dari lereng-lereng bawah yang naik ke atas bisa memenuhi kebutuhan pangannya. Apalagi ketika persebaran jagung yang gencar juga diikuti dengan tembakau, maka sempurnalah sudah perkembangan ekologi dataran tinggi. Dari kedua tanaman itu orang-orang di lereng atas tidak saja bisa memenuhi kebutuhan pangan, tetapi juga kebutuhan uang tunai yang secara perlahan tapi pasti semakin tidak bisa dihindari. Dari kedua kombinasi kedua tanaman itu, sejarah dataran tinggi di Jawa, bahkan di Indonesia pun, mulai berbelok; tidak semata-mata sebagai kantong kemiskinan dan kejahatan, atau kalau meminjam istilah Emile Zola, tidak semata-mata menjadi tempat hunian orang-orang yang terjerembab ke dalam kepasrahan buta dan kemarahan membabi buta, akan tetapi justru menjadi wilayah produksi komoditas-komoditas komersial yang mengagumkan. Tembakau adalah salah satunya, komoditas yang bahkan kemudian melahirkan tradisi, sekaligus juga industri kretek negeri ini.
Kini menjadi semakin jelas, bahwa meningkatnya populasi di dataran tinggi, untuk tidak mengatakan pembukaan wilayah dataran tinggi, tidak bisa dilepaskan dari persebaran kedua jenis tanaman tersebut: tembakau dan jagung. Terori-teori lama yang sering kita dengar, bahwa hunian di dataran tinggi berkembang karena adanya gelombang migrasi para petani lapar lahan dari bawah, dan juga adanya arus pelarian politik yang membutuhkan persembunyian di bukit-bukit pegunungan, sebagaimana Dieng yang dikisahkan Serat Centini menjadi tempat persembunyian para pelarian politik dari Giri pada sekitar abad 13-an, rasanya menjadi kurang lengkap tanpa menyebutkan adanya daya tarik ekonomi yang luar biasa dari tembakau dan jagung. Tidak berlebihan kalau kemudian kita mengatakan bahwa kedua tanaman itu, secara historis dan kultural, telah memiliki andil yang sangat besar dalam mengubah, jika bukan membangun wilayah dataran tinggi, yang bagaimanapun, sejak dahulu hingga hari ini sering diposisikan sebagai halaman belakang pembangunan: relatif tidak tersentuh oleh program-program pembangunan, dan bahkan sering dikonotasikan sebagai udik, alias terbelakang.
Ternak dan Kacang-Kacangan sebagai Pendamping
Geliat ekonomi dataran tinggi yang ditopang kombinasi dua tanaman, tembakau dan jagung, yang dalam praktiknya memang sering diproduksi secara berdampingan dalam bentuk tumpangsari, sebenarnya juga kurang lengkap tanpa mengikutsertakan dua elemen lain, yakni tradisi penanaman kacang-kacangan dan pemeliharaan ternak yang sudah menjadi kebiasaan petani. Kacang-kacangan adalah tanaman sekunder yang sejak lama diproduksi petani, baik untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan sayur dan kudapan ringan, maupun untuk memenuhi kebutuhan hara tanah (kesuburan tanah). Kita tahu bahwa tanaman polong-polongan atau kacang-kacangan memiliki kemampuan menyerap dan menyimpan nitrogen yang sangat baik, sehingga dengan menanamnya, secara tidak langsung para petani bisa meningkatkan kesuburan tanah. Tanah-tanah di dataran tinggi yang rentan, sering erosi karena kemiringannya, suka atau tidak, memerlukan penanganan yang lebih rumit dibandingkan dengan tanah-tanah di bawah yang umumnya digarap dalam bentuk pertanian sawah. Tanah-tanah sawah secara ekologis bisa cenderung stabil karena dengan genangan air yang dilakukan secara periodik akan menciptakan kondisi ketercukupan hara. Tetapi bagaimana dengan pertanian gunung yang hampir semuanya berupa pertanian lahan kering, tanpa genangan dan pengairan, kecuali berasal dari air hujan? Dalam situasi seperti ini, menjaga kesuburan tanah dengan menanam kacang-kacangan atau polong-polongan adalah terobosan mengagumkan, mengingat pada masanya ketersediaan pupuk kimia masih sangat terbatas.
Peningkatan kesuburan tanah juga dilakukan dengan memanfaatkan pupuk kandang dari hewan-hewan ternak yang dipelihara. Pada masa lalu, bagi para petani di Jawa, pemeliharaan hewan-hewan ternak, terutama sapi, kerbau, dan kambing, umumnya tidak ditujukan untuk dipungut dagingnya, sebagaimana lazimnya pemeliharaan ternak di negara-negara Barat, melainkan tenaga dan kotorannya – hal yang saya duga dipengaruhi oleh tradisi Hindu di India. Catatan Marvin Haris dalam Babi, Sapi, Perang dan Tukang Sihir, sangat jelas menunjukkan fenomena pemeliharaan hewan ternak semacam itu di India, yang secara historis didominasi oleh kalangan kasta rendahan, untuk tidak mengatakan orang-orang miskin. Larangan menyembelih sapi yang menjadi ajaran sentral Hindu, menurut catatannya, adalah bagian yang tidak terpisahkan dari adaptasi ekologi lokal.
Dengan pelarangan ketat yang disandarkan pada doktrin agama, maka keseimbangan ekologi bisa terus terjaga, kehidupan pun bisa dilangsungkan dengan seksama, tanpa harus direpotkan dengan konflik-konflik sosial yang keras. Bagi kalangan orang-orang miskin, memungut tenaga kerja sapi dan memanfaatkan kotorannya untuk pupuk, akan jauh lebih ekonomis dibandingkan dengan menyembelihnya untuk dikonsumsi dagingnya. Diet super ketat terhadap daging sapi di kalangan orang-orang Hindu di India, tidak terkecuali di Jawa, seperti memberi pelajaran berharga, bahwa di dalamnya tersimpan alasan-alasan rasional yang sangat berharga, bukan semata-mata alasan-alasan teologis, mitologis, dan mistis. Dalam konteks seperti ini pula mengapa pada masa lalu para petani gunung di Jawa yang umumnya menghadapi keterbatasan-keterbatasan sumberdaya, juga keterbatasan-keterbatasan akses ekonomi dan politik, terus melanggengkan tradisi Hindu India: tidak secara gegabah memungut, bahkan cenderung menghindari, daging sapi, dan juga daging hewan-hewan ternak peliharaan lainnya, terutama kambing dan kerbau, hanya sekedar untuk kepentingan konsumsi.
Komitmen kuat pada tradisi semacam itu ternyata berbuah manis bagi keberlanjutan produksi tembakau di wilayah-wilayah dataran tinggi. Kombinasi tembakau, jagung, kacang-kacangan, dan pemeliharaan hewan ternak, secara signifikan telah berhasil menciptakan keseimbangan ekologi di pegunungan yang sebenarnya rawan, hingga pada akhirnya produksi tembakau yang dilakukan oleh para petani lokal bisa melintasi waktu yang sangat panjang, sesuatu yang tidak pernah dibayangkan oleh otoritas kekuasaan pada saat itu, mungkin juga termasuk otoritas kekuasaan dan pengamat hari ini. Tembakau yang pada mulanya oleh pemerintah kolonial dirancang menjadi pertanaman industri melalui model tanam paksa, ternyata secara sistematis berhasil dibelokkan oleh orang-orang gunung menjadi tanaman yang dikelola secara berkelanjutan dan mandiri oleh para petani setempat, di atas lahan yang luasnya sangat bervariasi.
Semua Ada Masanya
Tidak bisa dipungkiri, pada awalnya penanaman tembakau di wilayah pegunungan memang mampu bertahan dalam waktu yang sedemikian panjang, akan tetapi, pada akhirnya juga retak. Kerusakan ekologi dataran tinggi tidak terhindarkan, meski dampaknya tidak cukup signifikan terhadap keberlanjutan produksi tembakau di sana. Berbagai sumber menyebutkan bahwa pada 1850 hutan-hutan di wilayah pegunungan sudah mulai mengalami penggundulan, dan kekeringan pun banyak melanda wilayah-wilayah di sekitarnya. Kebutuhan kayu yang besar untuk kepentingan produksi tembakau asap, secara perlahan tapi pasti memberi tekanan besar pada hutan-hutan setempat. Disamping itu, konsumsi kayu bakar untuk mengeringkan daun tembakau di tempat yang tinggi (di mana pengeringan dengan penjemuran tidak mungkin lagi) tentu juga akan semakin mempercepat berkurangnya tutupan hutan. Di pegunungan Dieng, para petani sebenarnya telah menanam aneka tanaman kayu-kayuan, seperti Eucalyptus, dan kemlandingan gunung (Albizia montana) yang bibitnya disediakan oleh pihak kehutanan, sebagai upaya untuk perbaikan lingkungan, akan tetapi, nampaknya, itu tidak cukup efektif untuk mengubah keadaan.
Ekspansi produksi tembakau yang masif dan berjalan secara terus-menerus, menjadikan wilayah-wilayah pegunungan seperti Temanggung dan Dieng, secara ekologis menanggung beban yang sangat berat. Apalagi, pada masanya, produksi tembakau yang dilakukan oleh para petani gunung umumnya tidak disertai dengan pembuatan teras. Kendatipun demikian, tidak berarti produksi tembakau yang dilakukan oleh para petani gunung kemudian berhenti total. Sentra-sentra tembakau seperti Temanggung, dan sebagian Dieng, sampai hari ini masih terus memproduksi tembakau dengan kualitas prima. Kehadiran tanaman komersial baru bernilai ekonomi tinggi seperti kentang, bahkan hanya mampu menggeser tembakau di lereng atas pegunungan Dieng dan wilayah-wilayah di sebelah selatan, barat serta utara, tetapi sama sekali tidak bisa menggeser tembakau di wilayah timur, seperti lereng-lereng pegunungan Sindoro dan Sumbing – salah satu kunci keberhasilan petani gunung mempertahankan produksi tembakau juga disebabkan oleh akses mereka terhadap bahan-bahan agrokimia penyubur tanaman yang disediakan oleh pasar.
Meskipun demikian, kini produksi tembakau, terutama di Jawa, tidak bisa lagi dipandang dengan cara romantis, sebagaimana pandangan Boomgard terhadap kombinasi empat elemen: jagung, kacang-kacangan, tembakau, dan ternak. Menurutnya, dengan kombinasi empat elemen itu, produksi tembakau di segenap wilayah pegunungan telah mampu menjaga keseimbangan ekologi, dan bertahan begitu lama, hingga sampai sekarang produktivitas tanaman itu pun masih cukup perkasa. Hari ini kombinasi penanaman semacam itu sudah sangat sulit kita jumpai di lapangan, karena cenderung dipandang, bahkan oleh para petani sendiri, tidak lagi relevan, jika bukan tidak efisien. Kombinasi empat elemen yang pada masa lalu tampak perkasa dan menjadi semacam saka guru penopang produksi tembakau berkelanjutan di dataran tinggi, tiba-tiba kini terasa asing dan kurang masuk akal bagi segenap petani. Mungkin saja, kombinasi empat elemen itu dilakukan karena pada masa lalu petani gunung memang menghadapi keterbatasan-keterbatasan jangkauan pada faktor produksi. Hal semacam ini kini sepertinya sudah tidak terjadi lagi. Atau setidaknya sudah sangat jarang bisa kita temui.
Pada kenyataannya, belakangan, kesaksian para pengamat dataran tinggi, selalu mengatakan bahwa produksi tembakau di lereng-lereng Sindoro, Sumbing, Perahu, dan segenap dataran tinggi lain yang tersebar di berbagai tempat, sudah dilakukan dalam format tanaman sejenis, dengan alasan kepraktisan dan kemudahan pengelolaan. Pemeliharaan ternak pun sudah jarang, jika bukan tidak lagi, dilakukan oleh para petani –kalaupun dilakukan, seringnya tidak untuk dipungut tenaga maupun kotorannya, tetapi sekedar untuk investasi produksi daging dalam jangka panjang (penggemukan). Itu pun sekarang sudah sulit dijumpai di lapangan. Alasannya sama, cenderung dianggap tidak efisien, karena menyerap curahan tenaga yang besar, padahal produksi tembakau juga memerlukan tenaga kerja yang tidak kecil. Toh, kebutuhan pupuk untuk memelihara kesuburan tanah sudah sepenuhnya ditopang oleh bahan-bahan agrokimia yang bisa didapatkan dengan mudah di pasar. Kebutuhan pangan juga demikian, tidak lagi bersandar pada jagung, melainkan beras, yang setiap saat bisa didapatkan melalui mekanisme pasar. Konsumsi jagung sebagai makanan pokok bahkan sekarang dikonotasikan sebagai kemiskinan dan keterbelakangan, sesuatu yang sangat dihindari oleh orang-orang gunung jaman sekarang. Tenaga kerja juga sudah disediakan pasar, karena tidak mungkin lagi memanfaatkan mekanisme pertukaran yang sering disebut sebagai gotong-royong, sebagaimana yang mungkin pernah terjadi pada masa lalu.
Selamat Datang Kapitalisme Pegunungan
Pendeknya, ikatan-ikatan pasar secara menyeluruh pada proses produksi kini tidak bisa lagi dihindari. Boleh jadi, sebagaimana yang terjadi pada produksi kentang di lereng atas pegunungan Dieng, satu-satunya faktor produksi yang tidak, atau belum, terakit oleh pasar adalah lahan. Lahan-lahan yang digunakan untuk produksi tembakau terkadang masih sepenuhnya bisa dikuasai petani, karena umumnya berupa lahan milik (meskipun ada juga yang berupa lahan sewa), baik yang didapat melalui warisan, pembelian, atau hasil investasi tenaga kerja langsung (seperti lahan yang dihasilkan dari pembukaan hutan). Namun demikian, lahan-lahan itu biasanya juga sudah dijadikan agunan bank. Karena hanya dengan itu para petani bisa mendapatkan kredit permodalan dari bank. Sebagaimana yang sudah disinggung di muka, produksi tembakau, hampir bisa dipastikan memerlukan dukungan modal dari pihak luar, baik perbankan maupun perorangan, mengingat tingginya biaya produksi yang harus disediakan. Maka berangkat dari sini, sepertinya sudah tidak ada lagi faktor produksi yang tidak terikat oleh pasar.
Dalam situasi seperti ini, suka atau tidak, pembentukan relasi kapitalis adalah keniscayaan belaka, karena seluruh faktor produksi (lahan, tenaga kerja, dan modal) telah dikendalikan oleh mekanisme pasar. Model kapitalisme seperti inilah yang oleh Tania Li digolongkan sebagai capitalism from below (kapitalisme dari bawah), yakni pembentukan relasi kapitalis yang dirakit dan dilakukan sendiri oleh masyarakat pedesaan, tanpa perlu campur tangan institusi-institusi ekonomi makro dari atas, seperti perusahaan-perusahaan besar berskala nasional maupun multinasional. Maka bisa dipahami kalau model ekonomi pasar yang semula hanya dipandang sebagai sebuah peluang (opportunity), di mana para petani dengan sukarela bisa menentukan pilihannya untuk terlibat atau tidak, kini secara perlahan tapi pasti justru telah merakit, jika bukan menciptakan, cara produksi baru yang tidak lagi memberi ruang kepada petani untuk bisa menghindar dari ikatan pasar, sesuatu yang telah menjadi keniscayaan (imperative). Hal semacam ini sebenarnya bukan sesuatu yang asing bagi setiap proses pembentukan relasi kapitalis, di mana pun dan kapan pun. Alurnya sama: adanya sentralitas peran pasar dalam proses produksi, yang ditandai dengan ikatan faktor-faktor produksi oleh pasar.
Implikasinya adalah, para petani tembakau di wilayah-wilayah pegunungan seperti Temanggung, yang semula berstatus sebagai petani bebas, yakni petani yang bisa leluasa menentukan cara produksi dan komoditas-komoditas apa yang akan diproduksi, kini cenderung menjadi petani yang terikat sepenuhnya dengan pasar. Mereka tidak bisa lagi leluasa beralih dari satu komoditas ke komoditas lain, karena seringkali di sana sudah terakit ikatan-ikatan ekonomi yang tidak bisa begitu saja diputuskan. Ikatan-ikatan itu umumnya berupa pinjaman modal yang disertai dengan segenap kewajiban yang harus ditunaikan oleh petani. Berbagai kasus di lapangan menunjukkan bahwa pinjaman-pinjaman semacam itu pada praktiknya juga tidak sepenuhnya untuk menopang biaya produksi semata, tetapi juga untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan biaya konsumsi. Adalah keniscayaan kalau para petani yang terikat semacam ini kemudian akan berusaha terus-menerus memproduksi satu komoditas tertentu, tembakau misalnya, meskipun terkadang keuntungan yang didapat dari waktu ke waktu semakin kecil. Karena pada kenyataannya, hanya dengan cara inilah mereka bisa mengamankan pemenuhan faktor-faktor produksi (means of production) sekaligus faktor-faktor penopang kehidupan (means of life).
Hal-hal semacam inilah, saya kira, yang bisa menjelaskan mengapa ledakan ekonomi kentang di wilayah pegunungan Dieng pada dekade 1980-2000-an awal, tidak secara signifikan mempengaruhi formasi agroekosistem di wilayah Temanggung dan sekitarnya, yang umumnya didominasi oleh tanaman tembakau. Di wilayah lain, agroekosistem lama yang sebagian besar berupa tanaman tembakau rata-rata diganti menjadi agroekosistem baru yang didominasi tanaman kentang. Alasan yang sering kita dengar adalah bahwa selama ini, produktivitas tembakau sudah cenderung menurun. Sementara kentang adalah tanaman baru yang menjanjikan produktivitas dan keuntungan lebih baik dari tembakau. Maka bisa dipahami kalau kemudian di berbagai tempat terjadi semacam eksodus para petani dari yang semula memproduksi tembakau, kini memproduksi kentang. Bagi petani gunung, pergantian komoditas semacam ini sebenarnya bukan hal baru, karena sebelumnya mereka juga telah melakukannya. Justru keteguhan untuk tetap memproduksi tembakau, sebagaimana yang dilakukan para petani di Temanggung, meskipun ada peluang baru yang dijanjikan oleh kentang, adalah fenomena baru. Dalam sejarahnya, komoditas di wilayah pegunungan memang selalu datang dan pergi. Dan umumnya, petani pun dengan dinamis ikut berselancar memanfaatkan peluang-peluang baru yang dijanjikan, dengan segala risikonya, termasuk menjadi petani terikat seperti para petani tembakau di Temanggung. Apakah kemudian ikatan itu juga akan putus pada masanya? Nah…
Bahan Bacaan:
Boeke, J. H. dan Burger D.H. 1982, Ekonomi Dualistis : Dialog Antara Boeke dan Burger, Bharata Karya Aksara, Jakarta.
Boomgard, P. 2002. Jagung dan Tembakau di Dataran Tinggi Indonesia 1600-1940, dalam Tania Muray Li, Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia (terjemahan Sumitro, S.N. Kartikasari). Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Harris, M. 2016. Sapi, Babi. Perang, dan Tukang Sihir: Menjawab Teka-teki Kebudayaan (terjemahan Ninus D. Andarnuswari). Marjin Kiri. Tangerang Selatan.
Hefner, R.W. 1999. Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik, Terj. A. Wisnu Wardana, Imam Ahmad. LKIS. Yogyakarta.
Li, T.M. 2002, Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia (Terjemahan Sumitro, S.N. Kartikasari), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
_______ 2019. Ledakan Komoditas dan Relasi Kapitalis di Dataran Tinggi Indonesia (pengantar), dalam Hery Santoso, Rajah Merah di Ladang Kentang: Pertaruhan dan Pembentukan Relasi Kapitalis di Pegunungan. Interlude. Yogyakarta.
Palte, J.G.L. 1989. Upland Farming on Java, Indonesia: A Socio-economic Study of Upland Agriculture and Subsistence under Population Pressure. Amsterdam/ Utrecht.
Santoso, H. 2019. Rajah Merah di Ladang Kentang: Pertaruhan dan Pembentukan Relasi Kapitalis di Pegunungan. Interlude. Yogyakarta.
_______ 2020. Awan Terhimpun Awan Membuyar: Perubahan Sosial dan Dilema Lingkungan. Interlude. Yogyakarta.
Santasombat, Y, 2008, Flexible Peasant: Reconceptualizing The Third World’s Rural Types, RCSD, Faculty of University of Social Science, Chiang May University.
Zola, E, 1958, The Earth, Terj. Ann Lindsay, Elek Book, Great James Street, London.