Searah Rasa: Mempelajari Ketahanan Pangan, Menelusuri Jejak Kebudayaan
Oleh: Zam-Zama
Ketahanan pangan adalah persoalan yang luas dan kompleks. Pembahasannya bukan semata bagaimana pengetahuan masyarakat tentang isu pangan, tapi juga bagaimana kesadaran mereka terhadap sumber daya pangan dan cita rasa lokal yang kaya dan sarat makna. Karena itulah Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2023 menghadirkan program Searah Rasa.
Searah Rasa merupakan program tour dan jelajah untuk mendatangi dan mengetahui jejak-jejak kebudayaan pangan di Yogyakarta, khususnya Kulon Progo. Kebudayaan pangan tersebut meliputi berbagai unsur yang saling melengkapi, seperti pasar, sejarah, irigasi pertanian, pertanian sayur, perikanan, yang kesemuanya bermuatan cita rasa lokal. Untuk itu Searah Rasa menggaungkan tagar #LestariPanganLokal.
Annisa Rizki Astanti, salah satu programmer Searah Rasa, mengatakan bahwa Searah Rasa diselenggarakan agar masyarakat lebih mengenali sumber daya pengolahan makanan, tidak hanya makanan yang telah terhidang. Pengetahuan tersebut diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang isu pangan.
“Gampangnya, kita kan makan dari tanah yang kita injak. Masa sih kita gak mau kenal sama makanan atau sumber daya pangan yang itu ada loh di dekat kita,” tutur perempuan yang biasa disapa Tanti itu.
Kesadaran akan sumber daya pangan menjadi penting di tengah kecenderungan orang untuk menyia-nyiakan pangan. Apalagi kadang tidak disadari bahwa di balik suatu makanan ada banyak orang yang memperjuangkannya untuk bisa terhidang. Dalam produk nasi, misalnya, seberapa mungkin orang akan memahami bahwa di situ ada peran orang yang membukakan pintu dam ketika sawah butuh pengairan?
“Kadang-kadang kita taken for granted sama makanan. Yang sudah ada ya kita makan, kita gak mau tau dia datang dari mana; apakah petaninya sejahtera atau tidak; apakah tambaknya sejahtera,” tambah Tanti.
Karena itulah Searah Rasa mencoba mendekatkan masyarakat dengan tujuh tempat di mana kebudayaan-kebudayaan pangan lokal bermuara, seperti Menoreh Farm Stay, Tambak Mujahidkoe Farm, Pasar Wates, sampai Pintu Air Dam.
Lebih jauh, Searah Rasa juga menelusuri jejak-jejak sejarah pangan dengan mengunjungi industri Roti Kolembeng Pak Giman, Pabrik Gula Sewu Galur, dan Desa Wisata Purwosari, di mana ada makanan Nok Santri yang dipercaya pernah dikonsumsi saat perang Diponegoro. Penelusuran sejarah pangan ini sekaligus menegaskan bahwa ketahanan pangan sudah menjadi kepedulian lokal akan pangan yang perlu diingat kembali.
“Isu-isu tentang ketahanan pangan itu kan juga banyak. Ngomongin ekspor, ekonomi, sosial. Itu yang coba kita breakdown satu-satu. Makanya tujuh tempat ini kita pastikan punya cerita dan apa yang mau disampaikan itu berbeda-beda,” ujar Tanti.
Tema ketahanan pangan juga menjadi tantangan tersendiri bagi Tanti. Apalagi FKY tahun 2023 berada di Kulon Progo, tempat yang terbilang baru bagi Tanti dan timnya untuk mengeksplor isu pangan. Perlu waktu berminggu-minggu untuk mereka berdiskusi, memahami, dan menciptakan konsep Searah Rasa. Mengingat ketahanan pangan adalah isu yang serius dan mencakup banyak aspek, sementara konsep Searah Rasa didesain menjadi program yang santai dan menyenangkan.
“Konteksnya memang bukan bersenang-senang, tapi tetap harus dibuat bagaimana ketika ikut acara (Searah Rasa) ya bersenang-senang,” tutur Tanti.
Tantangan itu tampaknya dijawabnya dengan baik. Masyarakat cukup antusias mengikuti Searah Rasa. Bahkan sejak FKY belum dimulai, kuota pendaftaran Searah Rasa sudah terisi penuh. Salah satu peserta Searah Rasa adalah Retno, perempuan asal Kota Yogyakarta yang mengikuti sesi Desa Wisata Purwosari dengan tajuk “Kilas Balik Kuliner Era Pangeran Diponegoro” pada 6 Oktober 2023 lalu.
Retno sendiri cukup antusias mengikuti program Searah Rasa. Ia berangkat pada pukul setengah 6 dari Stasiun Yogyakarta. Meski sudah kerap mengikuti tour di Yogyakarta sejak 2012, Retno menganggap Searah Rasa merupakan tour yang unik karena khusus dengan pengetahuan soal kuliner.
“Aku belum pernah walking tour yang judulnya mengajak (menyebut) nama-nama orang di masa lalu. Gratis juga walaupun jauh. Makanannya banyak, dapat insight baru soal desa wisata,” tutur Retno.
Senada dengan Retno, adalah Gita yang juga berangkat dari Stasiun Yogyakarta. Perempuan asal Sleman tersebut juga mengikuti sesi yang sama dengan Retno. Bedanya, Gita malah mengajak dua anaknya yang masih kecil.
“Karena ada nilai sejarah dan saya pikir anak saya juga perlu tahu. Karena Diponergoro juga pahlawan kita ya? Jadi ya dari sejarah kita bisa belajar kebudayaan bangsa juga kan?” kata Gita.
Gita juga mengaku cukup senang setelah mengetahui FKY tahun ini membawakan tema pangan. Menurut Gita yang telah mengikuti FKY sejak belia, FKY makin lama makin berkembang dengan program yang makin beragam, dan program Searah Rasa dengan fokus isu pangan ini adalah yang paling ia suka.
“(FKY) mengingatkan kita tentang kedaulatan dan ketahanan pangan, kita punya pangan lokal yang sangat kaya,” tutur Gita.
Pengetahuan tentang kekayaan pangan lokal itulah yang menjadi harapan Tanti atas terselenggaranya Searah Rasa. Bahwa sebenarnya masyarakat Yogyakarta itu hidup di tengah surga pangan. Sayangnya hal itu kadang tidak disadari, bahkan terkadang orang merasa lebih berwibawa jika memakan makanan dari luar negeri.
“Searah rasa ini, harapannya, terlalu muluk-muluk kalau kita bilang membuka mata, tapi setidaknya memperlihatkan kenyataan di lapangan bahwa geblek yang kita makan kenapa rasanya asem itu ada alasannya loh, bahwa kenapa tempe benguk yang sering kalian buang itu gak seenak tempe kedelai itu ada alasannya,” tutur Tantri.