Pawon Mumbul dan Senjakala Pangan Kita
Oleh: Darryl Haryanto
Orang bilang tanah kita tanah surga, tetapi, pangan di atas piring minim variasinya. Penganekaragaman pangan butuh dipantik. Pagi, siang, sore bersetia, misalnya, dengan karbohidrat yang sama. Nasi (dengan N besar). Seperti Belanda dan kapitalisme, Nasi dalam skala yang lain juga menjajah banyak dari kita. Dan, bagian terburuk dari penjajahan adalah kehancuran peluang penciptaan imajinasi terhadap kebebasan, atau, dalam hal ini, alternatif jenis pangan.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) mencatat, 60 persen konsumsi karbohidrat di Indonesia berasal dari padi-padian, yaitu beras dan terigu. Atau, sekitar 30, 2 juta ton beras pada tahun 2022, menurut BPS (Badan Pusat Statistik). Sementara konsumsi pangan lain seperti umbi-umbian baru 2-3 persen. Rendahnya diversifikasi pangan ini mampu memantik banyak ketakutan, misal hilangnya kearifan lokal berupa olahan pangan, kerentanan atas ketahanan pangan, rendahnya pola pangan harapan (PPH) sampai ketergantungan.
Kesadaran publik terhadap keanekaragaman pangan penting ditingkatkan secara optimal untuk memblokade jalan dominasi kelompok pangan tertentu (Nasi, seperti yang telah disebut di atas, adalah sampel konkretnya). Mengutip riset Mawa Kresna dan tim Project Multatuli dalam artikel Disuapi Dari Bayi Sampai Mati: Dominasi dan Obsesi Pada Nasi, ketergantungan pada Nasi ini juga berelasi dengan kebijakan pangan dari masa ke masa yang masih homogen dan sentralistik, sehingga mencetak pertanian yang monokultur. Jika terus seperti ini, manusia Indonesia akan terus “dijejali nasi sejak bayi, mungkin sampai mati”.
Padahal, pergeseran pola konsumsi pangan di Indonesia sangat mungkin dilakukan. Peluang-peluang itu tersebar di Indonesia, yaitu berupa tersedianya aneka ragam pangan sumber karbohidrat alternatif. Di Jawa, ada banyak aneka olahan pangan pokok lokal selain beras, seperti tiwul, sawut, gatot. Di Nusa Tenggara Timur, ada olahan sorgum. Di Papua, sagu. Talas, jagung, ubi jalar ada di mana-mana. Namun, atas nama beras dan terigu, semua hilang entah ke mana.
Itu baru soal makanan pokok. Belum lagi lauk pauk, minuman, dan kudapan yang kini banyak bergeser pada yang non-lokal (baca: memiliki ketergantungan pada bahan-bahan impor) dan tidak ramah baik terhadap kesehatan maupun lingkungan.
Tidakkah ada jalan lain? Tentu saja, ada.
Pawon yang Lain
Mengangkat tema ketahanan pangan, Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2023 “Kembul Mumbul” punya tawaran menarik, yaitu program Pawon Mumbul. Program ini merupakan ruang perayaan dan diseminasi pengetahuan bersama terhadap kebhinekaan pangan yang dimiliki masyarakat dalam bertahan dan menjalani kehidupan. Melalui Pawon Mumbul, para partisipan disuguhkan pengalaman langsung mencicipi berbagai resep menu alternatif yang terkurasi.
Presentasi program unggulan ini dilakukan dengan dapur terbuka (open kitchen) yang memungkinkan terjadinya interaksi antara juru masak dan para partisipan. Dengan begitu juga dramaturgi dapur ini mampu memaksimalkan pertukaran pengetahuan pangan. Salah satu yang menarik adalah Pawon Mumbul pada 3 Oktober lalu yang dipandu oleh Sarah Chandra.
(Sarah Candra setelah memasak di Pawon Mumbul)
Sore itu area Pawon Mumbul yang terletak di sebelah Selatan Alun-Alun Wates terlihat sibuk. Sarah Candra dan beberapa orang yang membantunya menyiapkan tiga menu spesial untuk Pawon Mumbul hari itu. Es lidah buaya, rujak DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta), dan kari hasil bumi. Ketiganya dipersiapkan, sebut Sarah, tidak hanya untuk memberi nutrisi pada tubuh, melainkan juga membawa cerita sebagai nutrisi pada mental.
Cerita itu tertanam pada menu rujak DIY. Masing-masing bahan rujak merepresentasikan empat kabupaten dan satu kota di DIY. Sleman ditandai dengan salak. Bantul sawo. Gunungkidul nangka. Kota Yogyakarta kelapa. Dan Kulon Progo, selaku tuan rumah FKY tahun ini, dihadirkan sebagai sambal rujak yang terbuat dari manggis. Kelimanya dicampurkan dalam satu mangkuk, sehingga hadirlah rujak DIY yang segar dan punya bobot kisah.
Sementara itu, es lidah buaya dan kari hasil bumi juga tidak kalah menggugahnya. Di atas baskom aluminium yang besar, es lidah buaya dihidangkan. Minuman itu terdiri atas sirup sereh, jeruk nipis, lidah buaya, biji selasih dan telang. Telang yang berwarna biru berubah warna menjadi ungu setelah bertemu asam dari kombinasi bahan-bahan yang lain. Kari hasil bumi adalah kreasi baru dari kari melayu atau laksa yang menggunakan tanaman-tanaman hasil bumi lokal, seperti gori, godong telo, lethek, tahu, toge dan daun kemangi. Tidak lupa bawang goreng dan cabai untuk pelengkapnya.
Saya merasakan situasi performatif dari presentasi Pawon Mumbul ini. Seperti sebuah pertunjukan. Doa adalah pembuka adegan dan titik kulminasi dramatik jatuh kepada saat ketiga menu disantap. Kesegaran rujak. Asam dan manis dari kolaborasi lidah buaya dan kawan-kawannya. Kari hasil bumi dan cita rasa sayur lokal yang khas. Gerbong-gerbong rasa melaju dengan presisi ke memori-memori kenikmatan panganan di masa lalu (atau rasa-rasa baru).
Peristiwa seperti ini tidak hanya terjadi sekali di Pawon Mumbul, tetapi berkali-kali. Pawon Mumbul dilaksanakan beberapa kali dari tanggal 25 September sampai 8 Oktober 2023 dengan menu yang macam-macam. Nasi tiplak, dawet sambel, adana, sego berkat pare anom, sego donga cagar urip, wedang sinden, jamu warisan nenek dan seterusnya.
Dari peristiwa-peristiwa yang terjalin di dalamnya, Pawon Mumbul seperti berusaha menyiarkan keanekaragaman pangan yang berada di sekitar kita atau bahkan jauh dari sekitar kita. Yang masih sedikit dihidangkan di atas piring kita dan bahkan telah dilupakan. Ia, Pawon Mumbul, adalah dapur garis depan yang mensyukuri dan menjelajahi cakrawala pangan. Ia pawon yang lain.
Senja untuk Boba dan Ayam Geprek
Pawon Mumbul dan segala peristiwa di dalamnya tidak lain adalah upaya peringatan dan syukuran atas keanekaragaman pangan masyarakat. Dan, di sisi lain, bisa diinterpretasikan sebagai percetakan senja untuk pangan arus utama di imajinasi partisipan. Semacam salam perpisahan untuk minimnya keanekaragaman pangan di atas piring kita, kepada boba dan ayam geprek, kepada pecel lele dan mie instan. Dan penyambutan untuk tiwul, nasi sorgum, olahan singkong, ikan-ikanan dan seterusnya.
Diversifikasi pangan sudah sewajarnya ditingkatkan untuk menopang pilar ketahanan pangan. Ismiasih menyimpulkan dalam penelitiannya Diversifikasi Konsumsi Pangan Pada Tingkat Rumah Tangga di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (2013) di Jurnal Budidaya Pertanian bahwa tingkat diversifikasi pangan dapat meningkatkan peluang rumah tangga untuk semakin tahan pangan. Konsumsi energi dari berbagai macam jenis pangan menjadikan konsumsi semakin beragam dan tidak didominasi pada satu kelompok jenis pangan saja. Dan ketahanan pangan rumah tangga berarti tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Lantas, dengan begitu, hadirlah kecukupan gizi bagi tubuh dan mental pada segenap anggota rumah tangga.
Jadi, sudah waktunya kita melirik kelompok pangan alternatif pengganti “menu yang itu-itu saja”. Badan juga bisa bosan. Beri badan kesegaran pangan. Sempatkanlah talas. Beri waktu untuk jamu. Sisipkan ruang di lambung untuk gori. Relakan Pawon Mumbul merasuk sebagai kata kerja dalam pertimbangan kritis di kepala. Untuk badan yang rela, mengucap senja kepada boba.