Swaragraria: Ketika Bebunyian Menumbuhkan Tumbuhan
Oleh: Zam Zama
Hubungan antara bebunyian dan tumbuh-tumbuhan adalah hal yang menarik dibicarakan. Dapatkah bebunyian digunakan untuk peningkatan kualitas dan kuantitas hasil panen? Pertanyaan itulah yang coba dijawab bersama dalam program wicara Festival Kebudayaan Yogyakarta 2023 bertajuk “Menelisik Relasi Antara Hasil Panen dan Bunyi” di Menoreh Farm Stay, pada Selasa (27/09/2023).
Dwi Pertiwi dari Yayasan Bringin menuturkan bahwa berkomunikasi dengan tumbuhan adalah hal yang sering ia lakukan. Sebagai petani, Dwi mengaku sering berbicara bahkan mengomel dengan tumbuh-tumbuhannya. Menurutnya, dengan siapapun, cara berkomunikasi adalah dengan memahami pola dan siklus. Begitu juga berkomunikasi dengan alam yang mengandung banyak pola.
“Jadi kalau teman-teman ngomong bahasa Indonesia, bahasa Inggris itu kan pola-pola bahasa, suara yang diulang-ulang, kemudian disimbolkan dengan tulisan,” ungkap Dwi.
Suatu hari, Dwi mempunyai tumbuhan lemon dari kebunnya di Australia. Tapi tumbuhan itu terkena penyakit. Bermacam pengobatan sudah dilakukan tapi sampai lama tidak kunjung sembuh. Ketika penyakitnya semakin parah, Dwi mengobrol pada lemonnya, semacam meminta izin.
“Eh, kamu tak gunduli ya daun-daun mu, jangan marah. Nanti tak kasih nutrisi supaya rambutmu bagus,” kata Dwi pada tumbuhan lemonnya.
Kemudian sekitar tiga Minggu, lemon tersebut tumbuh sangat bagus. Dwi menyemprotnya juga dengan nutrisi, rutin tiga hari sekali. Akhirnya lemon itu pun berbuah. Di sisi lain, ada lemon yang Dwi potong daun-daunnya secara asal, tanpa meminta izin. Lemon ini pun tidak pernah berbuah. “Protes dia, masih marah sama saya,” kata Dwi.
Menurut Dwi, ada 4 hal dalam bahasa Jawa yang harus dimiliki jika ingin memahami bahasa alam. Pertama, gemi, yang artinya hemat. Kedua, setiti mengerjakan segala sesuatu dengan cermat, jujur dan berhati-hati. Ketiga, niteni, mengingat-ingat dengan cermat, penuh kejujuran dan hati-hati. Dan yang terakhir ke empat, titen, artinya ingat tanpa harus mengingat karena sudah menempel di kepala.
“Ini ajaran kakek saya yang saya ingat-ingat sampai sekarang. Bagus, supaya kita bisa menjadi satu dengan alam,” tutur Dwi yang selama ini aktif dalam gerakan permaculture.
Uniknya, pada 2015 ketika Dwi pergi ke Australia, ia mendapatkan pelajaran yang serupa ajaran kakeknya terkait bahasa alam. Pelajaran tersebut disebut dengan Observe and Interact, yang mengajarkan bagaimana mengamati pola-pola dan siklus tumbuhan dengan pencatatan, serta mengingat dengan penuh kesadaran bagaimana, kapan, penanda, penyebab terjadinya pola-pola dan siklus dengan mengidentifikasi terjadinya pengulangan.
“Intinya Observe and Interact itu, sama dengan filosofi Jawa tadi, cuma di sana baru muncul tahun 1970-an. Ilmu kita malah menghilang, aneh kan?” kata Dwi.
Bottlesmoker dan Musik Tumbuhan
Anggung Suherman, salah satu personil Bottlesmoker grup musik Instrumental dari Bandung, juga mengungkapkan bagaimana kebudayaan tradisi-tradisi lokal di Indonesia membantunya dalam memahami bahasa alam. Pada 2020, Bottlesmoker membuat konsep pertunjukan musik yang dikhususkan untuk tanaman. Pertunjukan itu dinamainya konser ‘Platansia’, diambil dari salah satu kata dalam album Mort Garson berjudul Mother’s Earth Plantasia, sebuah album yang didedikasikan untuk tanaman.
“Kebetulan kami kuliahnya seni-budaya dan tradisi di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) bandung, waktu sering banget diceritain sama dosen-dosen tentang beberapa praktik budaya dan kesenian,” ungkap Anggung.
Ada tiga kebudayaan tradisional yang dimaksud Andi. Pertama, Tarawangsa, sebuah kesenian rakyat di Rancakalong, Sumedang, Jawa Barat yang dimainkan saat menanam dan memanen padi, dengan membunyikan Tarawangsa dan Jentreng. Salah satu ritual dalam tradisi ini juga mengandung semacam obrolan positif dengan padi.
Kedua, alat musik Karinding, alat yang biasa masyarakat tradisional bunyikan untuk menggetarkan serangga, mengusir hama. Karinding dimainkan pada pagi sebelum jam 10 dan sore hari setelah jam 3. Di jam-jam tersebut untuk wilayah tropis, energi tumbuhan tidak terlalu banyak terkuras ketika mendengarkan bebunyian.
Ketiga, Mitembeyan, sebuah upacara masyarakat Sunda dengan melantunkan doa-doa kepada tanaman-tanaman pangan. Dalam upacara ini, pemberian afirmasi positif dianggap dapat memberi energi yang positif juga untuk tumbuhan. Dan selama prosesnya, Mitembeyan selalu diiringi dengan musik.
“Di pertunjukan pertama (Platansia) itu banyak teman-teman yang merasakan perubahannya. Waktu itu kita bagikan rekamannya untuk diputarkan kembali di rumahnya tiap hari sebelum jam 10 dan sesudah jam 3 sore. Banyak yang message, ‘kang, saya jadi lebih a, lebih b, lebih c dan seterusnya’.”
Salah satu contoh kasusnya adalah tumbuhan cabe hias. Waktu itu, setelah konser, si pemilik bertanya: kok bisa tanaman cabenya banyak yang berwarna jingga? Padahal waktu disimpan sebelumnya masih hijau. Kasus lain, ada juga tanaman yang 6 bulan tidak berbunga, tapi setelah diputarkan musik secara rutin, ia jadi berbunga.
“Itu semakin membuat saya dan Nobie (Ryan Nobie, personil Bottlesmoker yang lain) kaget, maksudnya merinding. Ternyata memang berdampak. Dan (secara) praktik karena memang sudah dilakukan masyarakat adat kita dulu, dan diteliti oleh teman-teman ilmuwan modern lainnya,” ungkap Anggung.
Meski demikian, Anggung juga mengaku bahwa apa yang Bottlesmoker lakukan bukan sekadar merepetisi tradisi bermusik kebudayaan Sunda. Musik Bottlesmoker berpijak pada penelitian-penelitian modern tentang bunyi-bunyian yang bisa diterima dengan baik oleh tanaman. Duo musisi yang terdiri dari Anggung Suherman dan Ryan Adzani ini juga sering kali menciptakan lagu-lagu dengan memodifikasi sendiri instrumen musik mereka, konsep penciptaan musik yang selama ini dikenal dengan istilah circuit-bending.
Hasil dari penelitian tersebut lalu memberikan panduan Bottlesmoker dalam konser Platansia. Misalnya, menghindari bahasa kasar; mengandung musik klasik karena dapat membukakan stomata; memainkan melodi mayor dengan melakukan repetisi karena dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman; memainkan frekuensi audio di sekitar 5000hz karena bisa meningkatkan stimulasi pertumbuhan tanaman, dan seterusnya.
“(Musik dalam konser Platansia) Ini semuanya bukan kami menciptakan. Tapi hanya mengaplikasikan yang sudah diteliti orang-orang, dan dipraktikkan oleh masyarakat Sunda, dan kayaknya praktik ini (juga terjadi) di masyarakat Jawa dan masyarakat lainnya,” tutur Anggung.
Uniknya, hasil penelitian-penelitian yang dimaksud Anggung ternyata serupa dengan apa yang dipaparkan Heti Herastuti, dosen Agroteknologi UPN Veteran Yogyakarta. Dalam forum yang sama, Heti menyebutkan adanya teknologi Sonic Bloom, suatu perpaduan antara penggunaan getaran suara dan pemberian nutrisi sebagai pupuk daun. Heti sendiri pernah melakukan penelitian tentang penggunaan Sonic Bloom pada tomat cherry. Heti menggunakan musik klasik yang dipaparkan pada tomat cherry selama tiga jam, diikuti dengan pemberian pupuk.
“Kesimpulan dari penelitian saya, Sonic Bloom potensial meningkatkan kualitas hasil tomat ceri ditinjau dari komponen buah segar/buah, bobot buah segar/tanaman, diameter buah, kadar gula total dan vitamin C,” pungkas Heti.
Di akhir acara diskusi, Bottlesmoker membawakan beberapa komposisi musik yang membuat suasana di atas bukit Menoreh Kulon Progo tersebut semakin syahdu. Acara Wicara Swaragraria sendiri menjadi salah satu dari 8 wicara yang akan diadakan di FKY pada tahun ini.