Irvan Muhammad
Dalam dunia seni, ia berperan sebagai ilustrator untuk media online dan majalah Infest (Buruh Migran) Yogyakarta dari tahun 2012 hingga 2018. Selain itu, ia menjabat sebagai pengurus LESBUMI PCNU Bantul dari tahun 2014 hingga 2019. Pada tahun 2016, ia bergabung dengan Paguyuban Kartunis Yogyakarta (PAKYO) dan turut serta dalam membuat poster propaganda untuk menolak pembangunan mall di Bantul. Pada tahun 2017, ia menulis buku berjudul "JEJAK: Seni dan Pernak-pernik Dunia Nyata" yang diterbitkan oleh Indonesia Visual Art Archive (IVAA) di Yogyakarta. Di tahun yang sama, ia berkolaborasi dengan kelompok teater Sedhut Senut dalam pembuatan logo dan gambar latar untuk pertunjukan Tonil. Muhammad Irvan dapat dihubungi melalui email di irvanmuhammad117@gmail.com.
Pindai dengan Al Patekah (Nisan Hanyokrokusuman)
Cat akrilik pada kanvas
50 x 50 cm
2024
Objek dalam lukisan ini adalah nisan asli Nyai Guntur Geni, leluhur kampung di Jaratan, Dusun Sorogenen, Timbulharjo, Sewon. Saat saya menemukan nisan ini, kondisinya memang kurang terawat, penuh lumut dan beberapa bagian badan kijingnya telah rusak dan hilang. Anatomi bentuk dan motif hiasannya sungguh berbeda dengan nisan pada umumnya. Nisan ini dibuat dengan batu andesit hitam, berhiaskan geometri tumpal serta ornamen berupa kembang awan di pinggirnya.
Badan kijingnya berupa potongan-potongan batu andesit yang disusun seperti candi, dengan tiga hingga lima lapisan ke atas. Dihiasi ornamen berupa bunga waru, tanduk rusa dan bentuk geometri. Nisan yang tidak umum ini begitu membekas di benak saya.
Lalu saya dipertemukan dengan sebuah buku berjudul Nisan Hanyokrokusuman yang ditulis oleh Dosen UIN Jogja M. Yaser Arafat. Buku ini khusus menulis dan mengelompokkan berbagai jenis, ciri nisan yang dibuat era Sultan Agung Hanyokrokusumo hingga Amangkurat akhir. Dari buku itulah kemudian saya dapat mengidentifikasi bahwa nisan leluhur kampung Sorogenen (kampung saya) termasuk jenis nisan Hanyokrokusuman.
Setelah nisan itu saya foto dan hasilnya dikirim kepada komunitas pemerhati nisan dan tentu saja kepada sang penulis buku Nisan Hanyokrokusuman sendiri, dapat dipastikan bahwa nisan tersebut dibuat pada tahun 1600-1700an M.
Yakin nisan tersebut adalah makam leluhur kampung, Masyarakat setempat memiliki inisiatif untuk memulyakan nya. Warga membersihkan dan menggosok batu andesit tersebut dari lumut yang menempel. Mengirim doa dengan slametan, lalu berniat untuk melakukan perbaikan dengan cara menaikkan lebih ke atas posisi badan kijing yang terpendam tanah, serta memberi tanda tulisan identitas makam dengan tetap mempertahankan bentuk original nisan tersebut.
Melalui sebuah batu nisan, warga masyarakat memiliki rasa keterhubungan tentang leluhurnya. Makna sebuah nisan bagi masyarakat Jawa ternyata tidak hanya sebatas penanda tempat untuk menyimpan jasad. Melainkan juga menjadi tempat belajar, menjadi bagian yang menyatu dengan kepercayaan dan pandangan hidup di tengah masyarakat.
Nisan adalah benda yang diciptakan manusia berlandaskan alam pikiran tertentu. Sehingga nisan merupakan bentuk kebudayaan. Di dalamnya terkandung nilai, penanda identitas, bahkan kekuatan jaringan budaya dan politik yang melingkupi. Dengan demikian, nisan bisa menjadi penanda era melalui berbagai bentuk, ornamen dan ragam hias yang menyertainya.
Melalui kode bentuk anatomi nisan, dapat mengungkap tentang bagaimana pemilik nisan ini selama hidup, di era berapa, apa perannya di masyarakat hingga apa profesinya. Masyarakat belajar tentang apa yang harus dilakukan dalam hidup. Sehingga relasi antara yang hidup dengan yang sudah tiada terus terjalin.
Kematian hanya membatasi secara ragawi, namun tidak secara batin. Bahkan keduanya masih bisa melakukan komunikasi dengan cara-cara khusus. Ziarah kubur bagi orang Jawa seolah menjadi keharusan, agar mereka bisa saling terhubung dan berdialog dengan leluhur. Mengirim surah Al-Fatihah menjadi cara paling sederhana keterhubungan itu.
Orang jawa begitu menghormati makam (nisan) yang bahkan tidak mereka kenal, atau ketahui siapa. Maka orang Jawa menyebut area pemakaman sebagai Kramatan, Jaratan, Sasono Loyo dan sebagainya.
Dari sumber buku Nisan Hanyokrokusuman, saya dapat memahami berbagai ragam bentuk nisan dengan ragam hiasan yang menyertainya. Meski masih mempertahankan bentuk kurawal seperti nisan era Demak dan Troloyo, namun di era Sultan Agung ini ada penambahan kode-kode dan hiasan ornamen baru. Seperti bentuk geometri tumpal, wulan tumanggal (bulan sabit), purnama sidhi (bulan purnama), suryo sumunar (matahari) dsb. Tentu kode dengan bentuk demikian memiliki makna dan maksud.
Bentuk nisan itu tidak hadir begitu saja, namun banyak hal yang melingkupi dalam proses pembuatannya. Tentang kekuatan modal dan kuasa. Kelindan sosial dengan budaya masa lalu. Bahkan mungkin ideologi politik yang sedang dianut era itu.
Maka dalam karya yang saya ajukan, juga saya tuliskan penggalan Sastra Gendhing karya Sultan Agung Hanyokrokusumo yang dikenal mistik dan cenderung irfani. Sebagai peneguh Sultan Agung sang Khalifah yang diutus di tanah Jawa untuk menata Agama, serta berbagai mitos karomah yang melingkupinya. Sebagai benda produk budaya, Nisan ini telah mewakili.
Catatan: Melalui cerita tutur yang diwariskan generasi ke generasi di kampung saya. Nyai Guntur Geni adalah cikal bakal kampung kami. Nama lahirnya tidak diketahui, selain nama jeneng yang mungkin menunjukkan laku hidupnya.