Birujambon (Juan Ramadhani)

Juan Ramadhani adalah perupa kelahiran Jakarta yang kini tengah menetap dan berkarya di Yogyakarta. Bersama Aratu Project ia mengadakan pameran bertajuk Delusional Room (2021) yang didukung oleh Jogja Art Weeks. Setelahnya pada tahun 2021 ia merespon puisi-puisi sahabatnya menjadi ilustrasi yang dimasukkan ke dalam buku puisi dan mengadakan pameran tunggal berangkat dari judul buku puisi itu, Sisifus Berhenti Mendorong Batu.
Pada tahun 2022, ia menghadirkan identitas baru, bernama Birujambon. Nama itu tercetus ketika ia menangkap pemandangan awan sore, awan yang berwarna merah muda dengan latar langit biru. Jambon sendiri memiliki arti merah muda dalam bahasa Jawa. Jadilah birujambon sebagai impresi atas warna biru dan merah muda.
Birujambon adalah proyek jangka panjangnya, ia memilih menggambar bunga-bunga dan hal sekitar, karena pada tahun yang sama, ia harus menjalani masa isolasi di rumah, sebab penyakit yang menjangkiti matanya itu tak tahan terkena sinar matahari. Oleh karena itu, ia mulai mengamati bunga-bunga, utamanya bunga-bunga liar atau yang biasa disebut gulma. Dari sana, ia mulai mencatat, hingga mendokumentasikan melalui tangkapan visual bunga-bunga yang ia temui sebagai eksplorasi artistik.
Birujambon pada tahun ini terlibat dalam identitas visual Tutur Tumurun: Dari folklor ke cerpen yang diadakan Taman Budaya Yogyakarta dan Minikita Inkubasi Teater Yogyakarta.

Teh dan Hidangan

Print pada kertas daur ulang
30 x 30 cm
2024

Mangan ra mangan kumpul barangkali menjadi sebuah azimat, sekaligus sebuah siasat bagi masyarakat Jawa menjaga daya hidupnya. Jogja, dalam hal ini, erat dengan budaya berkumpul, saling berkumpul, bertukar energi dan menjaga hubungan kekerabatan. Tidak pernah luput di atas meja hidangan; teh, klethikan, menemani obrolan yang mengalir sepanjang waktu. Teh melekat erat dalam budaya berkumpul di Jogja, bahkan bisa kita temukan di angkringan, hingga kafe-kafe besar yang kini menjamur di kota ini.

Bukan sekadar sebagai kudapan, teh bukan sekadar minum. Dalam masyarakat Jawa, sejak lama poci melambangkan cara hidup. Dengan satu poci dan beberapa cangkir, dilengkapi dengan hidangan sederhana seperti kacang rebus dan gorengan, menumbuhkan kehangatan dalam bersilaturahmibahkan, sebuah pengetahuan alam bawah sadar perihal selebrasi.

Pergeseran dari kebiasaan ini tidak banyak berubah meski zaman bergeser dan menghadirkan kebiasaan berkumpul yang baru. Budaya minum teh dan kudapannya terus menerus hadir. Dewasa kini, kita menemukan poci teh sebagai sebuah tren, bahkan artisan mulai marak diperbincangkan. Pandangan ini yang kemudian menjadi inspirasi dalam karya Teh dan Hidangan. Teh dan Hidangan mereka dan melihat budaya berkumpul, teh, dan kudapannya hadir sebagai perpanjangan dari tradisi, siasat yang terus digemakan, dan azimat yang terus dipegang erat di masyarakat kita sampai dengan hari ini.