Menyusuri Sungai, Membicarakan Mitos dan Kebudayaan

Rangkaian tur wicara FKY 2022 diakhiri pada Kamis, 22 September 2022. Program ketiga berupa Tur Wicara Susur Kali Golek Iwak lan Memedi memilih Taman Kuliner Condongcatur (Tamkul Concat) sebagai titik kumpul. Sebelum tur dimulai, sekitar pukul 14.00 WIB, ritual sesajen diadakan terlebih dulu oleh R. Purwito selaku ketua RW setempat bersama Sabari selaku juru kunci sekaligus pegiat budaya. Ritual diadakan di watu gede area Tamkul, bertujuan menghormati para leluhur serta ‘penghuni’ area tersebut. Menurut penuturan juru kunci, watu gede tersebut ‘ditunggu’ oleh Ki Ageng Sudiro. 

Ritual semacam ini sendiri dilakukan secara turun-temurun ketika akan diadakan hajatan seperti pernikahan atau khitanan. Sesajen yang disiapkan berupa bunga, buah, lauk pauk (gorengan), dupa, darah, dan lainnya. Sesajen tersebut disebut sebagai sajen buangan karena pada zaman dulu biasanya diambil dari sajen yang ada di rumah-rumah. Setelah selesai melakukan ritual, tur pun dimulai dengan pemandu Purwito, Sabari, dan komunitas Mancing Mania Jogja (MMJ) yang diwakili oleh Amrin. 

Peserta yang berjumlah kurang lebih 20 orang menuju ke Kali Pelang yang letaknya tidak jauh dari titik awal kumpul. Pemandu menjelaskan bahwa di area Kali Pelang sering digunakan sebagai tempat ritual kungkum (berendam). Amrin menambahkan sungai menjadi lebih sempit dibanding dulu karena area sekitarnya didirikan rumah-rumah oleh para pendatang. Dulu, ritual kungkum cukup sering dilakukan dengan tujuan agar hajat seseorang tercapai. Kini, ritual sudah semakin jarang, salah satunya dikarenakan kondisi sungai yang tercemar limbah. Menariknya, aktivitas ritual kungkum yang sudah jarang dilakukan tidak mengurangi nuansa mistis kali Pelang. Dari area ini masih sering terdengar suara orang yang mengadakan tanggapan wayang. Meski mistis, area kali Pelang masih menjadi spot favorit untuk memancing. Beberapa ikan seperti ikan wader (badar) dan ikan nilem masih sering terlihat di Kali Pelang. 

Beranjak dari Kali Pelang, tur dilanjutkan menuju bendungan yang tidak bernama. Bendungan ini memiliki fungsi utama untuk mengairi pertanian warga. Biasanya, setelah selesai panen, warga akan membuat hajatan dengan makanan yang kemudian dirangkai oleh masing-masing kepala keluarga. Hal itu menjadi semacam simbol rasa syukur karena panen lancar. Purwito menuturkan bahwa ketika musim kemarau biasanya air di bendungan atas tidak mengalir. Untungnya, bendungan bawah masih memiliki sumber air sehingga tetap bisa mengalir memenuhi kebutuhan pertanian warga. 

Bendungan ini dianggap cukup strategis dan airnya cukup dalam, sehingga zaman dulu sering dijadikan sumber untuk mandi warga sekitar. Amrin menjelaskan bahwa area bendungan atau berbagai sungai lain yang mirip bentuknya bisa dijadikan sebagai sistem tangga ikan. Para ikan-ikan umumnya meloncat-loncat sebab sistem tangga ikan berarti migrasi ikan dari atas ke bawah atau sebaliknya. 

Dari bendungan, tur dilanjutkan ke jembatan Suaka yang memiliki banyak kubangan di area bawahnya. Batu-batu di sekitaran jembatan rata-rata memiliki ukuran dan tekstur yang serupa. Amrin menjelaskan bahwa ikan-ikan di area jembatan Suaka termasuk ikan endemik, artinya ikan yang jenisnya hanya ada di wilayah tertentu saja. Dengan begitu, ikan endemik ini perlu dijaga agar lestari sebab terkadang ikan invasi bisa muncul. Ikan invasi adalah ikan predator yang mengancam keberadaan ikan endemik dengan memangsanya. Lama kelamaan ikan endemik bisa punah. Usaha lain yaitu dengan memunculkan larang menangkap ikan menggunakan bahan kimia atau alat lain yang bisa menyebabkan kepunahan ikan. 

Setelah selesai dengan diskusi di jembatan Suaka, tur berlanjut menuju Kali Asat. Dalam bahasa Jawa, asat berarti kering. Sungai tersebut dinamakan demikian sebab biasanya menjadi sangat kering saat musim kemarau. Di area Kali Asat, banyak ditemukan bekas pondasi rumah juga batu nisan yang sengaja dibuang terkait kebijakan makam yang baru. Sabari mengatakan bahwa asal nisan tersebut tidak diketahui, tetapi memang sengaja dibuang ke sungai sebab tidak ada yang mau menerima nisan bekas. 

Tur menuju ke lokasi terakhir yaitu Kali Pleret yang juga dijadikan pembatas. Di sini terdapat jembatan yang memisahkan Kali Pleret di sisi utara dan Kali Gajah Wong di sisi selatan. Diyakini pula bahwa Kali Pleret termasuk lokasi yang ditempati banyak makhluk halus dari kesaksian para pemancing yang sering diganggu saat beraktivitas di sini. Barangkali, salah satu penyebabnya adalah seringkali ada orang-orang yang membuang ‘barang mistis’ yang sudah tidak digunakan lagi.

Sebagai tambahan, Amrin menjelaskan tentang hubungan ikan sidat dan keseimbangan alam. Umumnya, sidat dipercaya muncul ke permukaan saat sungai sangat kering atau habitatnya terancam punah. Suatu hari, ada seorang pemancing yang mendapatkan ikan sidat saat memancing di Kali Pleret. Sidat tersebut dipelihara di dalam aquarium, tetapi tiba-tiba menghilang dengan sendirinya. Pemancing akhirnya menemukan sidat berada di bawah sofa dalam keadaan masih hidup. Penjelasan Amrin menjadi penutup tur wicara Susur Kali Golek Iwak lan Memedi. Meski terdengar sangat mistis, tur ini berusaha merayakan keberagaman dan pengalaman kegiatan-kegiatan budaya terkait sungai dan aktivitasnya. 

Teks: Tim Penulis FKY 2022
Foto: Tim Dokumentasi Foto FKY 2022

Pameran Lainnya