Mengamati Makam, Memahami Leluhur

Area makam Gunung Kelir mulai ramai sejak pukul 9.30 WIB pada 19 September 2022. Para peserta Tur Wicara Makam yang diinisiasi oleh FKY 2022 mulai berkumpul. Pesrta tur ini cukup banyak, mencapai 42 orang. Program ini mengangkat tema Mengamati Pola Ragam Hias Nisan Masa Mataram Islam. Untuk itu, dipilihlah tiga lokasi makam yang berbeda. Rute tur yang dilakukan bermulai dari Makam Gunung Kelir, lalu dilanjutkan menuju Makam Girilaya, dan terakhir ke Makam Banyusumurup.

Tur Makam ini dipandu oleh Yaser Muhammad Arafat (Mas Yaser) selaku dosen UIN Sunan Kalijaga dan Transplosa Romandha (Mas Cok) selaku antropolog sekaligus penggiat komunitas Kandang Kebo. Setiap kali memasuki makam, Yaser akan menyalakan kemenyan sebagai semacam bentuk meminta izin pada alam agar acara dilancarkan. Setelahnya, doa-doa dirapalkan guna menghormati mendiang yang disemayamkan di area makam.

Masing-masing makam dijaga oleh abdi dalem yang sekaligus bertugas sebagai juru kunci. Para abdi dalem ini menemani selama tur berlangsung, dan turut memberikan informasi tentang makam yang dikunjungi. Pukul 10.00 WIB pagi, peserta mulai mendaki jalan setapak ke atas menuju makam Gunung Kelir. Sampai di depan pintu makam, peserta harus melepaskan alas kaki. Masuk ke area makam bertelanjang kaki merupakan salah satu adat yang telah berlangsung sejak dulu.

Di area makam pertama ini, pohon tidak terlalu banyak tetapi suasana sejuk tetap terasa. Makam ini memiliki banyak nama lain seperti makam Ratu Mas Malang/makam Antapura/istana kematian. Terdapat makam Ratu Mas Malang dan suaminya Ki Pajang Mas. Menurut Yaser, Ki Pajang Mas adalah seorang dalang yang dibantai oleh Amangkurat 1.

Diskusi berlangsung cukup lama di makam Gunung Kelir. Yaser banyak menjelaskan tentang jenis-jenis ornamen kijing serta filosofinya. Pada bagian bawah kijing, biasanya berbentuk batu bertumpuk seperti pada candi. Kijing sendiri biasanya baru dipasang setelah 1000 hari kematian. Untuk itulah, orang jawa menyebut pemasangan kijing setelah 1000 hari kematian dengan istilah nyandi.

Para peserta menanyakan terkait pembeda makam perempuan dan laki-laki. Yaser menjelaskan umumnya nisan perempuan tingginya sekitar 38cm-40cm. Sementara nisan laki-laki 40cm-45cm. Meski begitu, pembacaan lebih detail terhadap nisan dan arsip terkait perlu dilakukan sebab makam Mataraman tidak memiliki pakem seperti makam-makam keramat di daerah Jawa Timur. Artinya, ada kemungkinan bahwa makam yang tinggi dan lebar adalah perempuan.

Cok menambahkan bahwa sejak zaman Sultan Agung sampai raja-raja berikutnya sudah ada ilmu dan seni untuk membangun makam. Telah ada tukang makam yang mumpuni dan bisa menerjemahkan simbol-simbol ke dalam ornamen kijing. Para peserta terlihat sangat antusias saat pemandu membuka kain pembungkus nisan agar ornamen yang terukir terlihat jelas.

Tur berpindah menuju makam Girilaya. Sesampainya di sana, nampak susunan anak tangga yang lebih rapi dan banyak dibanding sebelumnya. Proses mendaki dilakukan untuk menuju area makam. Area makam ini paling sejuk dan tinggi dibanding ketiga makam dalam tur ini. Awalnya, makam ini diniatkan untuk ditempati oleh Sultan Agung, kijingnya bahkan sudah disiapkan berbentuk bongkahan batu besar dan utuh. Namun, akhirnya Sultan Agung memilih bersemayam di area makam raja-raja Imogiri. Di area ini, ditempati oleh Kanjeng Panembahan Juminah (paman Sultan Agung) dan Kanjeng Ratu Pembayun (istri Amangkurat1).

Abdi dalem di makam Girilaya mengatakan bahwa meski Sultan Agung tidak disemayamkan di sini, dipercaya bahwa ruh beliau sering mengunjungi makam Girilaya. Masih di area makam Girilaya, ada satu makam yang dipisah dan dibuatkan cungkup sebagai pembenteng makam. Di situ disemayamkan Syeh Abdul Karim, Kanjeng Sultan Cirebon (mertua Sultan Agung). Di dalam makam Syeh Abdul Karim tumbuh pohon besar yang rindang, seolah menemani sang Sultan. Cungkup tersebut diberi ornamen emas dan hijau seperti layaknya rumah ningrat zaman dulu.

Saat kain pembungkus nisan dibuka oleh Yaser, terlihat ukiran ornamen surya (matahari). Cok menjelaskan lambang surya menunjukkan tingkat keilmuan tinggi yang dimiliki penghuni makam. Ada pula lambang candra (bulan) di ukiran ornamen nisan yang menunjukkan pemilik makam adalah seorang wali. Para abdi dalem di sini mengatakan bahwa kunjungan dibuka untuk umum setiap hari termasuk untuk makam Syeh Abdul Karim ini.

Sambil istirahat dan bersiap menuju makam terakhir. Mas Heng selaku peserta tur sekaligus anggota komunitas Kandang Kebo mengatakan sangat senang dengan acara ini. Ia mengaku tertarik dengan aneka warisan leluhur dan berkeyakinan hal itu harus dilestarikan. Mas Heng juga menambahkan bahwa komunitas Kandang Kebo tidak hanya mengunjungi makam saja, tetapi juga candi, mata air, gua, dan situs-situs lain yang berhubungan dengan leluhur.

Perjalanan menuju makam terakhir yaitu makam Banyusumurup tidak terlalu jauh. Dibandingkan dua makam sebelumnya, area Banyusumurup berlokasi di tanah landai sehingga peserta tidak perlu mendaki untuk ke area makam. Informasi dari abdi dalem di Banyusumurup mengatakan bahwa area ini tidak direncanakan dan pembangunan makam dilakukan mendadak oleh Amangkurat 1.

Khusus makam Banyusumurup, secara hukum kerajaan, tanah ini milik kerajaan Yogyakarta dan Solo. Oleh karena itu, abdi dalem yang bertugas di sini juga dari utusan dua kerajaan tersebut. Di makam ini bersemayam Roro Oyi, Pangeran Lamongan, serta Pangeran Pekik. Menurut kisahnya, Roro Oyi sempat diperistri oleh Amangkurat 1, kemudian diambil oleh Amangkurat 2. Yaser mengatakan bahwa kisah tragis dan sedih sebaiknya tidak diceritakan di makam. Dengan begitu, kita menghormati leluhur yang bersemayam di sana.

Percakapan hangat dengan abdi dalem serta foto bersama mengakhiri tur sore itu. Salah satu peserta yang bukan anggota komunitas Kandang Kebo bernama Mas Bagas sangat mengapresiasi tur ini. Motivasinya mengikuti tur adalah ketertarikannya terhadap ziarah makam serta kekagumannya dengan Yaser selaku pemandu. Mas Bagas yang juga mahasiswa S2 Sejarah UGM berharap tur semacam ini lebih sering dilakukan. Sampai kini, peninggalan leluhur tetap lestari salah satunya dengan cara tur makam yang diupayakan oleh FKY 2022 maupun berbagai komunitas-komunitas lain.

Teks: Tim Penulis FKY 2022
Foto: Tim Dokumentasi FKY 2022
Pameran Lainnya