Yang Luput Dibahas Saat Membincangkan Ekonomi

Catatan riset oleh: Lisistrata Lusandiana


“Ternyata sangat penting untuk menabung. Saat pandemi seperti ini, terasa betul manfaatnya,” ujaran seorang kawan di minggu-minggu awal setelah pemerintah mengumumkan kasus positif Covid-19 pertama dan kedua di Indonesia. Ungkapan itu seakan menyuarakan pendapat kita. Ironisnya, urgensi itu justru muncul di saat kita tidak bisa menabung.

Ini adalah kisah tentang orang biasa, bukan kelompok masyarakat yang tersisih dari segi tata ruang maupun ekonomi (meski semua orang tidak bisa lolos dari kebijakan struktural). Ini juga bukan tulisan yang dibuat dengan tujuan advokasi atau kampanye untuk mengundang dukungan. Tulisan ini berangkat dari pengalaman-pengalaman manusia di tengah kehidupan urban perkotaan di hadapan kondisi-kondisi yang nampaknya tidak banyak diperbincangkan secara menyeluruh. Ini adalah beberapa catatan tentang kaum yang sebagian besar terdiri dari kelas pekerja dengan penghasilan‒yang terpaksa harus disyukuri‒di provinsi dengan UMR rendah, di tengah pandemi dan pusaran PHK. Ini adalah kepingan pengalaman dari perasaan-perasaan yang semakin dekat dengan cemas dan pandangan pekat akan hari-hari depan. 

Pada saat yang bersamaan, sajian dan diskusi terkait dengan literasi finansial juga banyak bermunculan, mulai dari pembicaraan tentang kaum milenial yang digosipkan sebagai generasi yang konsumtif dan tidak suka menabung, krisis perumahan untuk kaum milenial karena gaji banyak dipakai untuk jajan kopi-kopi fancy atau menongkrong di warung kopi dengan interior kekinian, hingga video-video how to yang membagikan berbagai tips kelola uang penghasilan dan menabung. Dari kesekian video, podcast ataupun diskusi tentang literasi finansial yang ada kebanyakan berujung pada satu hal, yakni tabungan sebagai akumulasi kekayaan. 

Di ekstrim yang terlihat lain, muncul video dan konten-konten literasi finansial yang dikaitkan dengan gaya hidup minimalis, yang beberapa tahun belakangan kian trendy. Populer dengan metode KonMari, gaya hidup minimalis lahir dari cara hidup masyarakat urban perkotaan, yang semakin lama mengalami penyempitan ruang. Di tengah keterbatasan ruang, perabotan yang semakin menumpuk, ditopang oleh kebiasaan belanja, minimalisme menjadi terasa relate oleh kebanyakan masyarakat yang hidup di hunian vertikal atau apartemen. Minimalisme ini mengajak masyarakat untuk menyingkirkan barang-barang yang sudah tidak spark joy atau tidak memantik kebahagiaan. Karena dipercaya bahwa semakin banyak barang-barang di sekitar kita, akan semakin membuat hidup kita stres. Semakin minim barang akan menambah keleluasaan batin dan mengurangi boros. Konon demikian. 

Selain gaya hidup minimalis, kita juga menjumpai tren pensiun dini yang disampaikan para Youtuber melalui konten-konten frugal living. Frugal living dibedakan dengan cheap living. Jika dicari padanannya dalam bahasa Indonesia, cheap berarti irit, sementara frugal berarti tidak harus irit tetapi memiliki kesadaran penuh dalam mengkonsumsi dan membelanjakan uang. Hidup dengan berhemat dan menyadari betul konsumsinya agar bisa pensiun di usia yang lebih belia. Cukup masuk akal. Tetapi, kedua logika tersebut tetap berada pada pusaran jual-beli, kebutuhan dicukupi dengan membeli dan menabung untuk akumulasi. Padahal, membeli dan membeli membuat kita semakin merasa kurang sehingga membeli lagi dan lagi. Konten-konten semacam ini tentu saja muncul dari negara kaya yang memungkinkan orang-orang bekerja sekeras-kerasnya untuk menabung (menumpuk kekayaan) agar bisa bersantai di masa setelahnya. 

Dengan mempromosikan gaya hidup hemat, perlunya menabung dan perlunya melihat hari depan dengan jaminan uang, beberapa gaya hidup di atas sesungguhnya bersandar pada satu nilai, yakni menumpuk modal. Ketiga gaya hidup tersebut juga semakin menebalkan perihal lain, yakni jeratan uang dan konsumsi untuk keberlangsungan hidup di konteks masyarakat urban atau perkotaan. 

Pernyataan di atas senada dengan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) yang turut mempromosikan budaya menabung melalui konsep dana darurat. Di situs webnya, OJK juga menegaskan “Dana Darurat? Wajib Tahu dan Wajib Punya!”. Dana darurat ini juga disebut sebagai dana cadangan, yang ditempatkan “untuk antisipasi kerugian sehingga tidak perlu menggadaikan apapun atau mencari pinjaman”. Selain itu, “Dana darurat membuat hidup menjadi lebih tenang dan terjamin”. Persis seperti itu redaksional yang dimunculkan oleh OJK, tidak ditambah ataupun dikurangi. Dari sini kita bisa melihat cara pandang negara dalam mengatasi ketidakpastian dan kecemasan akan hari depan, sambil menyatakan “tabunganlah solusinya”. Cemas akan hari depan, maka uang adalah solusi! Pernyataan tersebut diperkuat dengan keberadaan dana pensiun untuk pegawai negeri atau ASN yang sejak lama telah menjadi profesi idaman para orang tua kebanyakan. Dengan dana pensiun yang dijamin melalui pengabdian pada negara, seolah ketenangan dan hari depan kita juga sudah digaransi. 

Berangkat dari situasi itu, tulisan ini ingin mengajak kita untuk melihat kembali praktik-praktik yang hidup di sekitar kita terkait dengan dana darurat, perasaan tidak tenang yang muncul di tengah masyarakat urban perkotaan (yang didominasi logika pasar) serta kebiasaan-kebiasaan di tengah cemas dan perasaan entah yang jarang didefinisikan tersebut. Kita akan melihat kembali kebiasaan-kebiasaan yang telah tumbuh jauh sebelum pandemi. Kebiasaan yang menjadi perlu untuk dihadirkan saat ini karena barangkali kecemasan kita kian menumpuk akibat dieskalasi pandemi.

Kisah-Kisah di Sekitar Duit Wedok 

Berangkat dari kebutuhan yang telah disebutkan, ingatan saya diajak untuk kembali ke suatu siang, di sebuah kantor kecil organisasi kebudayaan. Salah seorang teman, seorang manajer acara-acara seni budaya, menyinggung keberadaan duit wedok yang menjadi salah satu kunci manajemen penyelenggaraan acara dengan anggaran mepet. Dari pembicaraan tersebut, ia mengatakan bahwa keberadaan duit wedok yang didapat dari selisih-selisih belanja yang kadang tidak dibayangkan dalam excel itu sesungguhnya bisa digerakkan dan menjadi keleluasaan dalam kerja pengelolaan. Dari sinilah, rasa penasaran muncul dan memantik untuk mengingat praktik-praktik yang selama ini diajarkan oleh orang-orang di sekitar. 

Sebagai perempuan yang dibesarkan oleh orang tua yang keduanya bekerja di luar rumah, istilah duit wedok tidak secara eksplisit saya dapatkan dari rumah. Dari keseharian keluarga kelas pekerja, saya tidak secara langsung mengenal uang yang berjenis kelamin. Hal ini disebabkan oleh kedua orang tua mendapatkan upah dari kerja di luar rumah, kerja-kerja yang selama ini disebut kerja produktif (jika menggunakan dikotomi kerja produktif dan reproduktif). Akan tetapi, kendali pengelolaan keuangan memang sebagian besar berada di tangan Ibu. Soal bagaimana uang itu dibelanjakan, prioritas untuk apa saja, dan berapa besarnya, ada di tangan Ibu. 

Dari kendali anggaran rumah tangga ala ibu saya ini, saya berkenalan dengan cara menabung sambil berhias, yakni membeli emas. Bagi Ibu, menabung emas itu cukup praktis karena barangnya kecil, mudah disimpan, tidak selalu mencolok (jika tidak dipakai semua secara bersamaan), dan mudah dicairkan jika sewaktu-waktu butuh tunai. Pendapat ini muncul karena ada perbandingannya dengan model belanja Bapak yang cenderung pada alat-alat otomotif yang terlihat besar dan memakan tempat. Ketika menemui pembandingnya, cerita Ibu jadi lebih masuk akal. 

Lebih masuk akal lagi ketika bertemu dengan model menabung yang dipelajari oleh Smita, teman saya yang juga belajar menabung dari ibunya. Ia bercerita bahwa ibunya mengajarkan cara menabung sederhana, sesederhana menyisihkan uang saku, uang tunai. Uang saku yang ditabung dengan dititipkan ke sang ibu akan terkumpul dan menjadi kado ketika hari ulang tahunnya tiba. Jadi, sesungguhnya Smita mengumpulkan uang untuk hadiah di hari ulang tahunnya sendiri. 

Melalui pembanding tersebut, kita jadi bisa melihat corak konsumsinya secara lebih jelas. Dari kedua pola di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa menabung dengan cara membeli emas, merupakan hal yang menarik bagi orang yang sudah masuk dalam pusaran konsumsi dengan hasrat membeli yang tinggi. Belanja emas merupakan jalan keluar untuk tetap menyalurkan hasrat konsumsinya, dengan berbelanja barang yang memiliki nilai jual tinggi, maka belanja emas bisa masuk kategori menabung. 

Barangkali metode beli emas ini senada dengan tabungan berupa kain jarik yang dipraktikkan oleh generasi sebelumnya, misalnya neneknya Smita. Membeli kain jarik adalah salah satu metode beliau. Selain disiapkan sebagai tabungan, jarik juga bisa ditempatkan sebagai dana sosial jika sewaktu-waktu muncul kebutuhan nyumbang tetangga atau sanak saudara, baik acara pernikahan, kelahiran, maupun kematian. Sebagai barang simpanan, jarik juga luwes. 

Contoh lainnya bisa kita lihat dari kelihaian seorang ibu rumah tangga dengan dua anak dalam mengatur nutrisi untuk keluarga. Namanya Reni. Sehari-hari banyak menghabiskan waktu di rumah bersama kedua anak lelakinya, sambil jualan peralatan bayi dengan memaksimalkan media sosial untuk promosi dan pemasaran produknya. Suami Reni adalah pekerja swasta di sebuah kantor distribusi buku. Dari penghasilan suami dan jualan online, Reni harus mengelola menu konsumsi untuk keluarga agar nutrisi tetap tercukupi di tengah kebutuhan biaya harian pendidikan anak dan lain-lain. Dari video-video yang ia tonton di Youtube, ia belajar meal-prep (belanja dengan kebutuhan pangan harian dengan perencanaan) sehingga ia tidak perlu setiap hari ke pasar. Meal-prep ini tentu saja didukung dengan kreativitasnya dalam mengolah makanan. 

Cara tersebut lebih rutin ia praktikkan saat pandemi, terlebih saat harus merawat anggota keluarga yang sedang sakit. Dengan menekan frekuensi pergi ke pasar, pusat perbelanjaan, maupun ke luar rumah, ia mengaku bisa lebih menghemat pengeluaran. Setiap kali ia ke pasar, apalagi jika anak bungsunya ikut, maka pengeluaran untuk snack dan cemilan akan membengkak. Contoh ini menunjukkan cara kelola ibu rumah tangga yang mempertimbangkan hingga ke aspek-aspek kecil pengeluaran. Meskipun hal kecil, jika frekuensinya cukup tinggi, maka hukum perkalianlah yang berjalan.

Lain lagi dengan Zulkar yang belajar kelola keuangan mikro dari ibunya yang bekerja sebagai PNS dengan tiga anak. Dari catatan keuangan yang disusun rapi oleh ibunya, Zulkar betul-betul ingat bahwa pemasukan dan pengeluaran tidak sebanding. Ia melihat angka pengeluaran jauh lebih besar. Baginya, sungguh tidak masuk akal mengelola uang dengan cara seperti itu. Hal yang ia ingat adalah ibunya tidak terlilit hutang. Di masa krisis, saat usaha ayahnya sedang bangkrut, kelola keuangan ala ibunya tersebut terbukti kokoh meski tidak tampak di atas kertas. Bagi Zulkar sangat tidak masuk akal karena besar pasak daripada tiang. Tetapi pada kenyataannya, ada pengetahuan tak terlihat atau tacit knowledge yang berjalan dan dikendalikan sepenuhnya oleh sang ibu. Satu pesan yang masih diingat oleh Zulkar adalah kendali konsumsi dan kendali diri. 

Dalam masa krisis di konteks Zulkar, peristiwa yang terjadi adalah sang ibu terbukti kokoh dalam menyelamatkan keberlangsungan kebutuhan sehari-hari, mulai dari kebutuhan makan/konsumsi harian sampai sekolah. Sementara itu, merosotnya pendapatan sang ayah ternyata diikuti dengan menurunnya situasi psikologis.

Menurunnya situasi psikologis ini sering disebut dengan krisis maskulinitas. Kaum lelaki sedari lahir diarahkan untuk menjadi suami dan kepala keluarga yang dituntut untuk bekerja di luar rumah dan menjadi penopang kebutuhan ekonomi keluarga. Ketika peran utamanya tersebut merosot ataupun absen, maka ia menghadapi rumah dengan situasi tidak berdaya. Hal ini mengingat bahwa rumah yang selama ini menjadi ranah perempuan, lebih dikuasai oleh kepiawaian sang ibu atau istri dalam kerja-kerja di rumah. Dari situasi itu, keadaan yang muncul adalah krisis maskulinitas. Laki-laki terjebak dalam situasi ketidakberdayaan. Dalam kondisi ekstrim, situasi ini menjadi latar belakang dari kekerasan yang terjadi di ranah personal atau disebut dengan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Seturut dengan data yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan bahwa dari total KDRT, 79% kasus terjadi di ranah personal atau di dalam rumah. Komnas Perempuan mencatat pada tahun 2020 terjadi penurunan pengaduan korban ke lembaga pelayanan di masa Pandemi, akan tetapi terjadi peningkatan pengaduan sebesar 40% setelah Komnas Perempuan menyediakan media pengaduan daring melalui google form pengaduan. Dari data yang dirilis pada 8 Maret 2021 tersebut, ranah kekerasan tertinggi masih pada KDRT/RP (ranah personal). 

Dari situasi krisis akibat pandemi ini, kita menjumpai berbagai kisah dari dalam rumah. Kita bisa melihat kisah pengelolaan ekonomi rumah tangga yang nampak sederhana, tetapi belum tentu dimiliki oleh semua orang dan bukan semata kelihaian yang dimiliki tanpa dipelajari. Kita juga melihat persoalan kekerasan yang menjadi ekses dari konstruksi gender yang terus-menerus dikokohkan oleh masyarakat kita. Sebaliknya, para perempuan yang sudah memiliki kebiasaan untuk mengantisipasi situasi krisis, bisa lebih cepat beradaptasi untuk mengedepankan kebijaksanaan. Barangkali, daya inilah yang tidak banyak dibicarakan dalam konteks ekonomi yang selalu menekankan pada progres dan melihat kondisi bertahan sebagai kemandekan. 

Di antara berbagai kisah tersebut, kita bisa menggarisbawahi pengetahuan tak terlihat yang semakin menarik perhatian di saat krisis. Sependek pengalaman dan sepanjang kisah yang telah dituturkan oleh orang-orang seperti di atas, saya yakin, di situlah letak duit wedok. Duit wedok bukan semata nominal yang disimpan. Ia juga bukan mengacu dari sumber bagaimana ia dihasilkan. Meski namanya berjenis kelamin, pemaknaan sesungguhnya melampaui dikotomi jenis kelamin. Duit wedok merupakan kombinasi dari kelihaian tata kelola yang bertemu dengan kebiasaan untuk mempersiapkan kondisi ekonomi dan psikologis di situasi terburuk yang bisa dibayangkan. Sebuah kebiasaan yang sudah dilatihkan dalam durasi yang tidak pendek. Terus menerus dihidupi hingga menjadi bagian dari spiritualitas dan laku sehari-hari. 

“Sanggul Jawa sebagai Lingga” (1993), Karya Nindityo Adipurnomo, Guas di atas kertas. Dimensi: 40 x 30 cm. (koleksi Arsip IVAA).

Membaca Ulang Kanca Wingking

Dari kisah-kisah di atas, kita bisa melihat kekuatan pengetahuan dari dalam rumah yang banyak dipraktikkan oleh perempuan, apalagi ketika dihadapkan pada situasi krisis. Duit wedok yang sekilas seperti ekonomi yang berjenis kelamin, ternyata praktik-praktiknya melampaui dikotomi biner tersebut. Dari situ, rasa penasaran saya semakin terpantik untuk mendiskusikan lebih jauh tacit knowledge yang hidup di sekitar. Sekaligus, sambil menggali lebih jauh pengetahuan apa saja yang sesungguhnya hidup di dalam rumah, hidup di antara orang-orang yang dijuluki kanca wingking ini. 

Banyak tulisan atau penelitian yang telah membahas perihal kanca wingking. Tidak sedikit yang bernada kritis atau bahkan gugatan. Kebanyakan gugatan dialamatkan pada budaya Jawa yang secara umum dianggap paternalistis. Kata kanca berarti teman, wingking berarti belakang. Ungkapan ini menggambarkan posisi perempuan yang lekat dengan berbagai urusan di belakang atau di dalam rumah. Kata belakang yang dimaksud adalah dapur, kasur, dan sumur atau disebut ranah domestik. Penyebutan ini banyak dikritik di dalam kajian-kajian tentang perempuan dan feminisme, karena dianggap telah menempatkan perempuan sebagai warga nomor dua, setelah laki-laki. 

Julia Suryakusuma, melalui Ibuisme Negara, tidak secara khusus menyasar kanca wingking. Ia lebih menitikberatkan kritiknya pada paham ibuisme yang menempatkan kaum perempuan sebagai pelayan bagi suami, anak-anak, masyarakat, bahkan negara. Melalui ibuisme ini, perempuan didomestikasi. Domestikasi ini merupakan bagian dari depolitisasi kaum perempuan agar mereka lebih mengambil peran yang bersifat pelayanan, dari melayani anggota keluarga di rumah hingga menjadi pelayan bagi negara. Tesis Julia Suryakusuma ini penting, mengingat konteks penyelenggaraan kekuasaan ala Orde Baru memang memainkan peran sebagai “Bapak Pembangunan’” 

Lebih penting lagi ketika kita tempatkan di konteks sejarah perjuangan perempuan. Tercatat nama-nama perempuan yang tidak sebatas pemikirannya yang tajam, tetapi juga laku perjuangan dan pengorganisasian kulturalnya yang cukup berpengaruh. Sebut saja nama-nama perempuan yang menjadi penggerak dalam Kongres Perempuan Pertama pada bulan Desember 1928. Tidak heran jika Orde Baru menghitung kekuatan politik dan kultural dari gerakan perempuan tersebut. Tidak dipungkiri bahwa gerakan ini berangkat dari kelas menengah aristokrat yang memiliki berbagai hak istimewa termasuk keistimewaan akses, tidak seperti yang dimiliki oleh perempuan kebanyakan, apalagi dari kelas ekonomi bawah. Dari para perempuan yang juga merupakan istri sekaligus ibu tersebut, gerakan ini mengakomodasi nilai-nilai kultural yang diyakini oleh sebagian besar masyarakat pada saat itu. 

Memang, jika dilihat dari kacamata feminisme modern kosmopolit hari ini, kita akan menemui benturan dan ketidaksetujuan. Hal-hal yang dibahas pada kongres perempuan pertama pada saat itu mulai dari urusan rumah tangga, pekerjaan, dan, perjuangan, hingga cinta. Dalam pidatonya di kongres itu, Nyi Hadjar Dewantoro bahkan menekankan pentingnya “keadaban istri”. Saat membacanya sekilas, saya menjadi agak malas karena terdengar moralis dan menempatkan perempuan sebagai istri, bukan pada eksistensinya sendiri sebagai perempuan. Laku keadaban yang dimaksud itu bersifat tiga rupa. Pertama adalah “mendidik aloesnja tindak lakoe lahir, agar soepaja dapat ketertiban dalam hidup lahir dan dapat menambahkan ketertiban oemoem (wirogo)”. Kedua, “mengoesahakan tertib dan aloesnja hidoep lahir itoe njatalah akan mendidik tertib dan aloesnja kebatinan (wiromo)”. Ketiga, “oleh karena melakoekan keadaban itoe mendidik akan menghargai dirinja sendiri, makin lama kelama’an harga diri itoe akan timboel sendiri, dalam bahasa Belanda gevoel van eigen waarde (wiroso)”.

Namun, ketika berkesempatan untuk membacanya perlahan dan mencoba merasakan nuansa perjuangan yang hidup pada masa itu, saya berupaya memahami dengan cara lain. Perjuangan perempuan pada saat itu perlu mengakomodasi nilai-nilai lokal kultural di hadapan nilai kolonial barat yang serba rasional dan dingin. Sementara, perjuangan perempuan di tanah Jawa ini merangkul konteks (mengedepankan emansipasi yang sifatnya lebih holistik, luar dalam, jiwa raga, ataupun menyeluruh) sehingga selain memperjuangkan emansipasi, dalam prosesnya juga meraih kebahagiaan lahir-batin. Alhasil, ketika bertemu dengan mayoritas pun juga tidak terdengar menyeramkan dan dingin. 

Kerja-kerja domestik seperti yang disiratkan dari istilah kanca wingking pun tidak dianggap sebagai penghinaan atau penjinakan perempuan. Pekerjaan membangun kebudayaan dimulai dari keluarga sehingga posisi ranah domestik tidak subordinat jika dibandingkan dengan ruang politik sebagai ruang publik. Dalam ruang domestik, terdapat ruang publik yang tidak kalah pentingnya dalam perjuangan kolektif. 

“Their Melting Burden”, (1994), Karya Nindityo Adipurnomo, Guas di atas kertas (koleksi Arsip IVAA).

Lebih masuk akal lagi ketika mengaitkan dengan berbagai nilai yang terus dihidupi di lingkungan terdekat kami. Salah satunya adalah ungkapan yang sering saya dengar dari almarhum simbah, bahwa ngalah kui ora kalah. Sewaktu kecil tentu saja saya tidak menghiraukan pernyataan-pernyataan yang tidak saya pahami. Namun itu tidak pernah hilang, terus terngiang. Perjalanan hiduplah yang akhirnya membawa saya pada suatu pemahaman bahwa dengan ngalah, sesungguhnya agensi kita aktif. Ngalah merupakan suatu pilihan sadar dan aktif yang dilakukan dengan suatu tujuan. Dari situ kita bisa belajar untuk membuat keputusan dan merumuskan tujuan yang menempatkan aktivitas ngalah sebagai strategi atau bahkan menjadi bagian dari gestur politik keseharian. 

Simbah juga berulang menuturkan perihal ngeli tapi ora kenter ‘berenang mengikuti arus, tapi jangan sampai terhanyut’. Belakangan baru dapat dipahami ketika pemahaman atas kompleksitas bahasa dan masyarakat bisa kita gunakan dan uraikan. Ungkapan Simbah ini tidak hanya berguna untuk urusan keseharian, tetapi juga menjadi bekal dalam berstrategi di ranah yang lebih kompleks dan menyangkut khalayak. 

Selanjutnya, sewaktu usia sekolah dasar, kita sering mendengar istilah Tut Wuri Handayani, yang diambil dari semboyan yang dipopulerkan Ki Hadjar Dewantara; “Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” yang artinya, di depan memberi contoh yang baik, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan’. Pedoman ini sering kita dengar tetapi barangkali tidak selalu kita hayati dan praktikkan. Pedoman tersebut di dalamnya menunjukkan dinamika kuasa dan menempatkan tiap subjek dalam pendidikan adalah setara. Dari pedoman ini, guru diingatkan untuk lebih menempatkan diri sebagai fasilitator bagi para muridnya agar memunculkan versi terbaik dari tiap murid. Lebih jauh lagi, guru ditempatkan sebagai orang yang juga belajar. Guru belajar dari para murid untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam atas interaksi antarmanusia yang saling belajar, yang di dalamnya perlu dilandasi kesetaraan, kebebasan untuk berkehendak, dan menentukan pilihan. Tanpa mencantumkan istilah demokrasi, asas ini sudah mengandung nilai pokok dari demokrasi yang kita kenal hingga hari ini. 

Mengingat berbagai nilai yang sekilas nampak tidak terkait satu sama lain tersebut, kini sudah terlihat benang merahnya. Kanca wingking kurang lengkap jika dilihat sebagai penindasan dan penjinakan semata. Dalam kerja kolektif pengorganisasian, terdapat fungsi kerja fasilitasi (mendorong dari belakang) untuk mengkondisikan sebuah perubahan. Keluarga bisa dilihat sebagai elemen kecil dari sebuah organisasi. Lebih kecil lagi, adalah manusia. Manusia sebagai organisasi, di dalamnya juga terdapat berbagai unsur yang tidak selalu selaras dan seirama, kadang bertentangan dan berkontradiksi satu sama lain. Unsur-unsur inilah yang tidak disederhanakan dari berbagai pemikiran dan perjuangan yang ada di sekitar kita. 

“Introversion/April the Twenty First”, (1995-1996). Karya Nindityo Adipurnomo, Medium campuran, Pernah dipamerkan di Asia Pacific Triennial of Contemporary Art di Galeri Seni Queensland, Brisbane, Australia. (koleksi Arsip IVAA). 

Siapa Manusia Ekonomi?

Setelah terurai pertanyaan-pertanyaan di seputar kanca wingking, rasa penasaran masih muncul di wilayah “manusia ekonomi”. Siapa sesungguhnya manusia ekonomi ini? Bagaimana ia dikonstruksi? Bagaimana ceritanya sampai manusia ekonomi ini seolah menguasai kehidupan sosial kita? 

Bila kita menengok kembali keresahan di awal tulisan ini, gambaran ekonomilah yang paling muncul. Keberlangsungan hidup seolah berbanding lurus dengan kehadiran uang. Pemahaman ini juga diperkuat oleh cara negara mengantisipasi situasi darurat. Selain itu, logika biner yang membuat dikotomi kerja menjadi kerja produktif dan reproduktif pun kian melanggengkan dominasi nalar ekonomi pasar ini. Melalui nalar tersebut, kita digiring untuk membuat pemisahan antara sektor publik dan domestik, produktif dan reproduktif. Julia Suryakusuma menulis bahwa melalui logika ini, perempuan semakin ditempatkan di posisi yang lemah karena kerja-kerja reproduktif yang berada di sektor domestik merupakan kerja-kerja yang tidak mendapatkan upah. Padahal, kerja-kerja di dalam rumah inilah yang menjadi penopang dari ketersediaan tenaga kerja yang kemudian dibutuhkan sistem kapitalisme untuk beroperasi. Selain sebagai penyedia tenaga kerja, rumah tangga juga menjadi sasaran pasar dalam sistem ekonomi kapitalistik. 

Dari sudut pandang ekonomi politik, kita tentu bersepakat dengan argumen tersebut. Nalar ekonomi pasar inilah yang membuat berbagai hal yang sesungguhnya sangat penting menjadi lolos dari pembahasan. 

Modal sekecilnya, untung sebesarnya adalah salah satu slogan yang berulang-ulang dimunculkan oleh guru ekonomi pada masa sekolah menengah pertama. Slogan itu muncul lagi dan lagi dari saudara dan tetangga yang berbisnis dan menjalankan usaha. Slogan yang secara sadar tidak sadar diulang dan direproduksi oleh masyarakat bisa kita anggap kebenaran jika kita tidak cermat. Sementara itu, pembahasan dan kisah empiris di sekitar duit wedok di atas sudah menunjukkan bahwa keseharian kita ditopang oleh rangkaian pengalaman, kreativitas, dan kelihaian yang tidak melulu urusan nominal. 

Dalam tulisannya, Katrine Marcal menyebutkan bahwa sistem ekonomi yang berkembang dominan hingga hari ini berjenis kelamin laki-laki sehingga ia hanya menggarisbawahi aspek rasional aktivitas masyarakat. Sistem ekonomi kita digerakkan oleh manusia-manusia yang melulu bergerak atas nama kepentingan pribadi, dorongan egois. Ditarik dari pemikiran Adam Smith yang cukup dikenal dengan mekanisme “tangan tak terlihat”, Katrine Marcal membeberkan tentang bagaimana nilai tersebut dominan serta sesungguhnya tidak alami sehingga bisa dicari alternatifnya. Pertama kali yang disasar untuk menggerakkan sistem ekonomi seperti ini adalah perilaku manusianya sehingga nilai-nilai tentang manusia dan manusia lainlah yang sesungguhnya disasar oleh para ekonom. Katrine Marcal menyebut bahwa Adam Smith-lah biang kerok dari dominasi nalar ekonomi hari ini. 

“Dan jika ilmu ekonomi adalah ilmu kepentingan diri, bagaimana perempuan menempatkan diri di dalamnya? Jawabannya adalah laki-laki diperbolehkan merepresentasikan diri dan perempuan merepresentasikan cinta rapuh yang harus dicadangkan. Lewat pengucilan,” ungkapnya. 

Nampaknya dari penjelasan di atas, kita bisa mengidentifikasi dari mana dikotomi publik dan domestik berasal. Kita mendapatkan jawaban perihal asal muasal ranah domestik menjadi subordinat dan tidak dihitung dalam sistem ekonomi yang menekankan pada produktivitas dan progres. Sementara, kehadiran kerja-kerja di ranah publik yang tidak pernah dibahas tersebut sesungguhnya menjadi penopang dari kerja-kerja di ranah publik yang lebih dihitung. 

“Melampaui jangkauan tangan tak terlihat ada jenis kelamin tak terlihat,” tulis Katrine Marcal.

Dominasi nalar ekonomi menyingkirkan kerja-kerja perawatan. Kerja-kerja berbasis perasaan dan kebaikan tersebut dianggap sebagai pekerjaan yang tidak dihitung dan dinilai tidak produktif. Tampaknya, anggapan ini menjadi sandaran berpikir masyarakat secara umum. Sadar atau tidak sadar kita telah terjebak nalar pasar. Seolah percaya sepenuhnya bahwa mekanisme tangan tak terlihatlah yang menggerakkan dunia. Istilah ekonomi sendiri berasal dari bahasa Yunani, oikos yang artinya rumah. Ironisnya, pembahasan ekonomi pasar justru menghindari kekuatan kerja dan cinta yang berasal dari dalam rumah. 

Kisah-kisah di seputar duit wedok dari konteks terdekat yang bisa kita baca bersama sebelumnya justru menunjukkan keberdayaan yang lain. Terlebih, di masa krisis, apalagi di masa pandemi. Kita seakan “dipaksa” untuk beristirahat sejenak dari ritme industri yang sudah mewujud di urat nadi, kemudian merenungkan hal-hal yang selama ini kita anggap alami. 

Jika sempat melakukan refleksi ke dalam, maka kita bisa menjumpai pertanyaan di seputar manajemen kebudayaan kita. Apakah langgamnya sudah sesuai dengan nafas budaya kita, atau langgam industri kebudayaan? Jika kita masih punya kesempatan lagi untuk melakukan refleksi bersama, maka kita bisa sekali lagi menggarisbawahi kerja-kerja yang tidak dihitung. Kerja dan etika perawatan yang barangkali hanya mengurangi kecepatan di tengah arus industri. Kerja dan etika perawatan yang sesungguhnya merupakan sumber resiliensi. Kerja dan etika perawatan yang sesungguhnya juga menjadi landasan dari kerja-kerja lainnya yang mewujud sebagai pelindungan kebudayaan dan preservasi pengetahuan.



Referensi: 

Blackburn, Susan. 2007. Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia/ KITLV. 

Marcal, Katrine. 2020. Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith? Kisah tentang Perempuan dan Ilmu Ekonomi. Tangerang Selatan: Marjin Kiri. 

Newberry, Jan. 2013. Back Door Java: Negara, Rumah Tangga, dan Kampung di Keluarga Jawa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia/ KITLV. 

Suryakusuma, Julia. 2011. Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru. Jakarta: Komunitas Bambu. 

Cerita Lainnya