Dapur Lansia dan Studio Malya



Gedhé bejané, akeh rezekiné, tinebihna saking sambikala, tinebihna saking rubeda.

Keberuntungannya besar, rezekinya banyak, dijauhkan dari kemalangan, dijauhkan dari godaan.

Pada masa pandemi, harapan adalah hal yang terus menyambung kehidupan. Perjuangan bertahan hidup dirawat melalui pertemuan meski ruang untuk bertemu menjadi terbatas. Di tengah pembatasan sosial di ruang publik, perjuangan para warga lanjut usia (lansia) untuk bertahan hidup terjadi di tempat-tempat yang jauh dari perhatian khalayak. Para lansia yang terisolasi di rumah merasa semakin terputus dari dunia yang dibentuk oleh lintasan informasi digital akibat ketiadaan akses.

Dalam situasi ini, para relawan dari Fopperham (Forum Pendidikan dan Perjuangan Hak Asasi Manusia) mendirikan Dapur Lansia untuk mengupayakan kesejahteraan bagi lansia di masa pandemi. Para relawan memberikan berbagai bentuk edukasi dan sosialisasi untuk menghadapi Covid-19. Muntiyati, salah satu relawan yang terlibat, menuliskan pengalamannya sebagai berikut.

“Seperti di Kedungkeris, Gunungkidul, para lansia belum bisa menggunakan masker dengan benar. Di awal pandemi, banyak lansia menggunakan masker dengan menutup mata dan mulut. Selama ini, adanya anjuran setiap hari tetapi tidak dibarengi praktik langsung penggunaan masker dengan baik dan benar. Lansia pun enggan mencuci tangan setiap keluar dari rumah. Bagi mereka, mencuci tangan dilakukan setelah pulang dari ladang ataupun sebelum makan. Sosialisasi menggunakan pengeras suara di mobil yang berkeliling, petugas yang menggunakan APD (Alat Pelindung Diri), dan petugas dengan seragam TNI/POLRI, pun dapat membangkitkan kembali trauma masa lalu yang pernah dimiliki. Minimnya pengetahuan dan akses berkumpul untuk mendapatkan informasi berdampak pada ketakutan berlebih sehingga mengganggu psiko-sosial dan kegiatan keseharian lansia” (Muntiyati).

Selain membagikan paket lauk-pauk melalui Dapur Lansia, para relawan dari Fopperham juga membuat rangkaian lokakarya sebagai pendidikan bagi lansia untuk menghadapi pandemi. Lokakarya ini mengedepankan pada proses berbagi cerita tentang pengalaman para lansia, terutama soal kondisi psikologis, yaitu kesehatan dan dampak Covid-19 pada keseharian mereka. Sembari bercerita, para relawan mengajak para lansia untuk mempraktikkan mencuci tangan, menggunakan masker, dan menerapkan protokol kesehatan lainnya. Wilayah kerja para relawan ini terbilang luas karena juga menjangkau desa di mana para relawan tinggal. 

Dalam rangka program Pameran FKY 2021, Dapur Lansia yang diwakilkan oleh Muntiyati diundang untuk berdialog dengan Studio Malya, sebuah ruang belajar bersama untuk cara pandang baru dalam membaca kenyataan sosio-kultural Indonesia yang dinamis. Studio Malya dipilih dengan dasar kelompok ini memiliki fokus kajian tentang proses rekonsiliasi masyarakat dan peristiwa tragedi kemanusiaan yang terjadi di Indonesia. Tujuh dari lima belas anggota Studio Malya terlibat dalam proyek pencatatan dan pameran ini, yaitu Bayu Nugroho, Cesariano Bahaduri, Fadhil Naufal, Mega Nur, Nandhika Lupita, Nerpati Palagan, dan Yesa Utomo.

Muntiyati dan Studio Malya berdiskusi tentang kerja-kerja perawatan dan pengalaman lansia di masa pandemi. Diskusi bergulir membahas persoalan para lansia sebagai kelompok masyarakat yang rentan mengalami peminggiran secara berlapis. Tidak hanya dianggap sebagai kelompok masyarakat nonproduktif tanpa penghasilan, banyak dari para lansia ini pun pernah mengalami guncangan krisis politik-ekonomi yang menjadi trauma personal maupun terwariskan antargenerasi. Pandemi ini tidak hanya membuat setiap orang harus bertahan hidup dengan lebih keras, sejarah masa lalu juga dapat memengaruhi bentuk perjuangan ini.

Berdasarkan diskusi yang telah dilakukan, Muntiyati membuat beberapa catatan tentang proses berjalannya Dapur Lansia serta kegiatan berbagi jamu dan hasil kebun oleh beberapa lansia yang berlangsung hingga kini. Bagi Muntiyati, Dapur Lansia merupakan salah satu bentuk respon cepat yang dapat dilakukan di awal pandemi. Dalam kegiatan berbagi lauk-pauk yang dilakukan oleh Dapur Lansia, Muntiyati dan relawan lainnya dapat membaca situasi dampak pandemi terhadap para lansia.

“Momen membagikan nasi bungkus ini menjadi lebih emosional ketika bisa mengenal para lansia dengan lebih dekat. Kami (para relawan) ikut mengobrol santai sedikit lebih lama, mendengarkan keseharian dan apa pun yang ingin dibicarakan. Para simbah (lansia) pun memiliki harapan agar bisa tetap berguna untuk diri, keluarga, dan juga teman–teman sesama lansia“ (Muntiyanti dan relawan Dapur Lansia).

Kisah-kisah ini diceritakan oleh para lansia kepada relawan karena telah terjalin kedekatan dan rasa percaya di antara mereka. Kedekatan ini ditampilkan pula oleh Studio Malya melalui rangkaian klip suara yang menjadi karya pencatatan mereka. Studio Malya menghasilkan delapan karya rekaman suara yang bersumber dari kisah para lansia, orang-orang yang merawat dan akhirnya pun ikut dirawat oleh lansia. Relasi interdependensi atau saling bergantung antar perawat dan yang dirawat juga terungkap melalui rekaman. Seorang anak muda menyebutkan bahwa kompas moral terbentuk dari pengalaman merawat Bapaknya yang sakit. Seorang lansia menyebut bahwa ia hanya ingin didengarkan dan berguna bagi orang lain. Relasi antar lansia dan anak muda dalam ingatan, harapan, dan ketakutan, mewarnai percakapan yang disajikan dalam rekaman-rekaman ini.

Kedelapan rekaman suara ini dapat didengarkan secara terpisah maupun berurutan. Hal-hal yang berulang pun turut mewarnai karya ini. Nyanyian Que Sera Sera —bermakna apa pun yang terjadi biarlah terjadi— dinyanyikan oleh seorang lansia dan digunakan sebagai pembuka dan penutup setiap rekaman. Begitu pula rekaman suara doa memohon keselamatan selalu terdengar. Seperti yang dikatakan salah satu narasumber dalam rekaman berjudul Kerinduan, bercerita adalah cara para lansia untuk menciptakan teman. Cerita yang berulang berasal dari keinginan untuk membangun hubungan agar terus ada.

Muntiyati turut mencatat kebutuhan para lansia agar tetap terus terhubung. Para relawan yang mengantarkan lauk menjadi momen perantara para lansia saling bertukar kabar.

“Meskipun kondisi sendiri tidak baik–baik saja, mereka tetap memperhatikan teman-temannya. Menanyakan kondisi temannya seakan menjadi hal wajib yang harus diperbincangkan setiap bertemu lansia. Mereka tidak ingin terlewatkan sedikit pun berita mengenai teman-temannya” (Muntiyati).

Media untuk terus terhubung antarlansia, saat ini juga diperantarai oleh paket-paket jamu siap seduh (empon-empon).  Paket jamu ini dibuat oleh beberapa lansia di Bantul dan Sleman. Para relawan pun kemudian membantu mendistribusikan di wilayah Gunungkidul, Kulonprogo, Sleman, Bantul, dan Kota Yogyakarta. Menurut Muntiyati, membuat paket jamu ini adalah cara para lansia merawat diri sendiri dan sesamanya. Harapan para lansia untuk terus menjadi seseorang yang berguna bagi diri sendiri dan sesama pun direkam dalam karya audio Studio Malya.

Sebagai cara untuk menyebarkan kisah mengenai perjuangan dan harapan dari para lansia beserta makna perawatan kolektif di masa pandemi, Studio Malya bersama dengan Suyono, seorang penjual gethuk, memutar rekaman suara ini melalui pengeras suara gerobak gethuk sembari berkeliling kota. Gethuk pun dipilih karena popularitasnya di kalangan orang tua sekaligus sejarahnya sebagai makanan yang diciptakan dalam kondisi terhimpit. Bagi Studio Malya, bekerjasama dengan Suyono dan gerobaknya adalah cara untuk membawa cerita-cerita ini bergerak dari jalanan lalu menyelinap ke rumah-rumah secara intim meski hanya terdengar sayup-sayup. Dalam video dokumentasi, Suyono pun tampak bercakap-cakap dengan seorang pembeli yang mendoakan kesehatan dan keselamatannya, seperti kata-kata yang didengungkan melalui pengeras suara gerobak gethuk. Interaksi ini adalah contoh bagaimana semangat untuk saling menjaga dan merawat dapat tercipta melalui aktivitas mendengar.

Kisah Dapur Lansia dan relawan Fopperham, beserta dengan karya pencatatan Studio Malya, menunjukkan bahwa saling merawat satu sama lain dan diri adalah hal yang terpenting dalam bertahan hidup bersama-sama. Yang terjadi memang sudah terjadi, namun selama masih ada kita, maka akan selalu ada harapan atas kebaikan dan rejeki untuk semua orang.



Pemrogram pameran: Ipeh Nur dan Syafiatudina

Cerita Lainnya