Penjaga Wasiat Bapak

awasan Gunungkidul kerap mendapat stigma tentang lahannya yang gersang dan sulit mendapatkan air bersih. Namun, asumsi itu justru berbanding terbalik dengan apa yang ada di Dusun Duren, Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Gunungkidul. Di sini terdapat satu kawasan hutan bernama Hutan Adat Wonosadi yang masih asri dengan mata air yang mengaliri lahan pertanian warga. Hutan yang luasnya 25 hektar ini bagaikan tulang punggung kehidupan masyarakat sekitar. 

Luasan hutan terbagi menjadi dua bagian. Kawasan yang dekat dengan pemukiman warga seluas 5 hektar dijadikan kawasan hutan wisata yang bisa dikunjungi masyarakat. Lahannya dapat dimanfaatkan dengan menambah jumlah jenis tumbuhan, seperti tanaman buah dan tanaman obat-obatan. Sementara itu, kawasan hutan dengan luas 20 hektar dibiarkan menjadi belantara yang sama sekali tak boleh dikurang atau ditambah jenis tumbuh-tumbuhannya. 

Status Wonosadi ditetapkan sebagai hutan adat karena masyarakat Desa Beji setiap tahunnya masih melakukan upacara Sadranan di dalamnya. Selain itu, terdapat aturan-aturan tak tertulis yang disepakati semua masyarakat, misalnya, tidak diperbolehkan menebang pohon yang ada di area hutan dan tidak boleh berburu satwa apa pun. Jika dilanggar, dipercaya akan ada karma buruk yang menimpa. 

Kesakralan hutan adat ini juga tak lepas dari Rara Resmi, sosok yang menjadi legenda bagi masyarakat Dusun Duren. Menurut cerita rakyat yang beredar, Rara Resmi merupakan selir Majapahit yang kabur bersama dua anaknya bernama Gading Mas dan Onggoloco, kemudian bermukim dan berbaur bersama masyarakat Dusun Duren. Ia lantas menanam biji-bijian dan palawija untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 

Untuk membalas budi masyarakat Dusun Duren yang selama ini membantunya, Onggoloco mulai melakukan pertapaan di puncak bukit dan membuat hutan. Di awal-awal pertapaannya, ia sering dikirimi bekal makanan oleh sang ibu. Semakin lama, ia tidak mau lagi dikirimi bekal karena memilih untuk berpuasa. Onggoloco pada akhirnya tak pernah keluar dari hutan. Karena jasadnya tidak pernah ditemukan, masyarakat setempat percaya bahwa Mbah Onggo masih ada, tidak mati dan hanya menghilang. 

Tak mudah untuk sampai ke Lembah Ngenuman, tempat petilasan Mbah Onggo. Jalan setapak dengan lereng yang sangat terjal, ditambah dedaunan yang menutupi area tanah, membuat perjalanan harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Risikonya tergelincir jika tidak menapakkan kaki di tempat yang tepat. Hanya di seputar waktu upacara Sadranan saja jalur ini cukup bersih karena sekitar seminggu sebelum upacara biasanya jagawana bebersih hutan, membuka jalur dan menambat tambang untuk membantu warga naik ke atas.

Rentang 1964-1966 menjadi masa yang sulit bagi warga Dusun Duren. Tanah di area hutan gundul, pepohonan habis karena pembalakan liar, mata air mengering. Akibatnya, masyarakat Dusun Duren kekurangan air bersih dan terjadi longsoran tanah dan kerikil yang menimbun lahan-lahan pertanian warga. Karena kejadian tersebut, lurah desa pada saat itu menunjuk Sudiyo sebagai pemimpin untuk melakukan reboisasi di Hutan Wonosadi. Sudiyo membentuk tim penjaga hutan atau jagawana bernama Ngudi Lestari yang berarti berjuang untuk keberlanjutan. 

Jumlah anggota jagawana Ngudi Lestari saat ini ada 25 orang, terdiri dari 13 orang warga Dusun Duren dan 12 orang warga Dusun Sidorejo. Menjadi anggota jagawana merupakan aktivitas kerelawanan tanpa pamrih. Mereka yang bertugas dengan sadar mengajukan diri untuk turut serta dalam penjagaan hutan adat. “Kalo bagi saya, ini bukan tugas, tapi kesadaran diri karena saya hidup juga dari hutan ini. Saya minum airnya, saya bisa ngasih makan kambing saya dari tanaman-tanaman yang ada di hutan,” ujar Suyoto, anggota jagawana termuda.

Rutinitas jagawana dalam menjaga kawasan Hutan Wonosadi, yaitu membersihkan area hutan wisata yang biasa dikunjungi warga untuk rekreasi, melakukan pengecekan saluran air yang terhubung langsung dengan mata air yang ada di dalam hutan, dan memastikan saluran airnya tak tersumbat oleh sampah organik maupun non-organik. Selain itu, tugas anggota jagawana adalah melakukan penanaman bibit di area hutan wisata yang jadwalnya pun tak menentu. Biasanya, mereka akan melakukan penanaman saat musim hujan dan jika ada hibah bibit dari Dinas Kehutanan, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul, ataupun universitas yang sedang melakukan kegiatan KKN di Dusun Duren. 

Status keanggotaan jagawana berlaku seumur hidup. Jika ada anggota yang meninggal, proses pergantiannya dilakukan dengan menawarkan atau menunjuk kerabat terdekat yang fisiknya masih sehat dan bertempat tinggal di area Dusun Duren atau Sidorejo.

Sepeninggal Sudiyo di usia 75 tahun pada 2011 lalu, anggota jagawana tidak ada yang berani mengajukan diri sebagai pemimpin. Akhirnya, kepemimpinan jagawana diteruskan oleh anak ketiga dari Sudiyo, Sri Hartini. “Pas saya masih kecil, saya yang selalu nganter makanan kalo bapak lagi berkegiatan di hutan,” ungkap Sri. Sosok Sri seolah seperti Rara Resmi yang sering mengantarkan bekal kepada seseorang yang sedang melakukan aktivitas di dalam hutan.

“Jagalah mata air, bukan air mata!” demikian pesan terakhir Sudiyo pada masa kritisnya. Dengan rasa tanggung jawab yang tinggi, wasiat tersebut dilaksanakan Sri dengan menjaga dua hal penting yang sudah dirintis oleh ayahnya: Hutan Adat Wonosadi dan kesenian Rinding Gumbeng.

Peran Sri Hartini sebagai seorang pemimpin kesenian Rinding Gumbeng bukan tanpa tantangan. Ia dan Wawan, adik bungsunya, berusaha untuk terus melestarikan kesenian ini dengan mengajak anak-anak kecil berlatih di pendopo rumahnya. Namun, ada rasa pesimis yang terkadang ia rasakan. “Saya ngajarin anak-anak kecil yang masih SD, tapi selepas mereka sekolah nanti, saya nggak yakin kalau mereka masih mau belajar,” tutur Sri sembari menyiapkan alat musik Rinding Gumbeng untuk latihan bersama kelompoknya. 

Sri turut melibatkan kedua anaknya untuk turut serta dalam melestarikan kesenian ini. Anak pertama bermain kendang bambu, sementara anak kedua menjadi salah satu vokalis. Sri sering mengajak anak-anaknya untuk mengikuti pentas-pentas tertentu, salah satunya yang sangat ia banggakan adalah tampil di Istana Negara pada perayaan HUT RI ke-77. 

Peran Sri sebagai sosok ibu yang memiliki naluri merawat dan menjaga seolah mengalir begitu saja ketika mendapat mandat untuk terus menjaga dan melestarikan hutan adat beserta kesenian Rinding Gumbeng. “Saya jalani sebisa dan semampunya saya saat ini. Kalau ada tugas fisik yang cukup berat, saya bisa limpahkan ke bapak-bapak anggota jagawana yang fisiknya lebih kuat.” Beberapa tahun ke belakang, Sri juga pernah bekerja sebagai guru PAUD, tetapi ia memutuskan untuk berhenti karena pihak sekolah menyarankan ia untuk melanjutkan pendidikannya di jenjang universitas, di waktu yang bersamaan dengan kedua anaknya yang berstatus mahasiswa. “Saya kasihan sama suami saya kalo harus membiayai tiga orang untuk kuliah, jadi saya memilih mundur saja,” ujarnya.

Jauh sebelum ia menjadi pemimpin jagawana, Sri pernah melakukan perantauan ke Jakarta selepas masa SMA-nya. Setelah beberapa tahun mengadu nasib di ibukota, Sri kembali ke desa untuk menikah dan menjalani hidupnya hingga saat ini. Bagi masyarakat Dusun Duren, melakukan perantauan adalah satu hal yang lumrah. Terlebih, karena angkutan bus antarkota dapat dijangkau dengan mudah, mereka bisa pergi langsung ke ibukota.

Jarak tidak menjadi halangan untuk mereka menempuh pendidikan. Lokasi SMP dan SMA cukup jauh untuk ditempuh dari Dusun Duren. Bahkan, beberapa warga memutuskan menyekolahkan anaknya ke pusat Kota Yogyakarta. Tak heran jika kini yang kebanyakan tinggal di desa adalah para lansia dan anak-anak. 

Sukini adalah salah satu dari warga Dusun Duren yang tinggal seorang diri sepeninggalan suaminya. Ketiga anaknya merantau. Salah satu anaknya adalah alumni jurusan pertanian Universitas Padjadjaran dan sempat bekerja tak jauh dari desanya. Namun, ketika ia menemukan pasangannya dan menikah, anak kedua Sukini mau tak mau harus mengikuti suaminya bertugas di Kalimantan dan ia pun harus meninggalkan pekerjaan dan juga desanya. "Saya, walaupun hidup sendiri, nggak pernah merasa kekurangan. Walau saya petani, saya juga dulu jualan kerupuk untuk biaya pendidikan anak-anak saya. Saya bersyukur anak-anak saya bisa sekolah sampai mahasiswa, punya pekerjaan yang bagus juga,” tutur Sukini dengan mata yang berkaca-kaca mengingat perjuangannya dulu. 

Di dusun ini sangat jarang ditemui pedagang. Kebutuhan keseharian dipenuhi dari hasil lahan pertanian atau mereka akan langsung membelinya di pasar. Beberapa tahun ke belakang, Mur, salah satu warga Dusun Duren, mencoba peruntungan dengan membuka warung soto, aneka jajanan, dan menjajakan bensin eceran di area dekat rumahnya. Warung Mur ini menjadi satu-satunya warung permanen yang ada di Dusun Duren. Sama halnya dengan Sukini, keempat anaknya berada di Jakarta. Mereka memilih untuk bekerja di pabrik. “Anak saya semuanya kerja di sana, saya sama suami saja yang ngurus sawah sama jualan kecil-kecilan,” ujarnya sembari bersiap turun ke sawah. 

Para petani di Dusun Duren memiliki siasat dalam melakukan penanaman bibit. Ketika alam menunjukkan tanda-tanda akan memasuki musim hujan, mereka segera menggarap lahan untuk menanam padi. Ketika masa panen padi telah selesai, tanah yang masih basah segera ditanami bibit biji-bijian, seperti kacang hijau, kacang kedelai, dan jagung. Jadi, ketika musim kemarau tiba, perhitungan mereka akan tepat, biji-bijian sudah siap dipanen dan lahan mereka produktif sepanjang tahun. Ketika mereka sedikit saja terlambat menanam, kemungkinan tanah yang mereka miliki akan gagal panen atau tak tergarap dengan baik.

Sebelum tahun 2006, air yang mengalir dari Hutan Wonosadi cukup deras. Namun, setelah gempa yang cukup besar menimpa Yogyakarta, aliran air sangat berkurang dari sebelumnya. Adanya kemungkinan pergeseran lempengan perbukitan atau lempengan tanah di area Hutan Wonosadi menjadi pemicu utama hal tersebut. "Dulu airnya banyak, tapi nggak tahu kenapa sekarang airnya sedikit,” ujar Mur sembari menebar pupuk untuk tanaman jagungnya. Ia kini mengaliri lahannya menggunakan slang cukup panjang dari aliran sungai yang bersumber dari Hutan Wonosadi.

Ancaman yang kini mengintai masyarakat Dusun Duren adalah habitat monyet di dalam Hutan Wonosadi yang tak terkendali jumlahnya. Mereka sering turun ke area pertanian warga dan memakan tanaman-tanaman yang terdapat di sana. Beberapa warga yang memiliki lahan dekat dengan hutan kadang berpasrah tak menggarapnya karena seakan sia-sia. Ketika siap masa panen, hasilnya akan habis dimakan oleh kawanan monyet. Kawasan hutan belantara yang minim akan tanaman buah-buahan inilah yang menyebabkan kawanan monyet turun ke permukiman warga untuk mencari makanan.

Selain adanya kawanan monyet yang semakin tak terkendali habitatnya, ancaman lainnya adalah regenerasi para penjaga hutan maupun pengelola lahan pertanian. Gelombang urbanisasi yang begitu masif tak dapat untuk dibendung. Impian akan kehidupan yang dianggap lebih baik di kota menjadi pendorong generasi muda melakukan perantauan.

Generasi Sri Hartini, Suyoto, Mur, dan Sukini mungkin berhasil menyekolahkan anak-anaknya dan mendapatkan pekerjaan di kota dari hasil memberdayakan apa yang mereka miliki di desa. Namun, banyak dari anak-anak muda ini sekarang enggan kembali ke desa untuk merawat dan meneruskan warisan budaya generasi sebelumnya. 

Padahal, merawat dan melestarikan apa yang sudah dititipkan Mbah Onggo dan Sudiyo tentunya tidak hanya bisa dilakukan oleh beberapa orang semata. Namun, perlu menjadi kesadaran bersama untuk terus memegang teguh prinsip Ngudi Lestari, berjuang untuk keberlanjutan atas Hutan Adat Wonosadi.

Foto & teks: Gevi Noviyanti

Cerita Lainnya