Tersaji dalam Doa

Sejak dulu, sajen (sesaji) hampir selalu diasosiasikan dengan hal-hal klenik, mistis, dan gaib. Bagaimana ia direpresentasikan di media-media populer, seperti film dan televisi, semakin meneguhkan kesan-kesan tersebut. Sajen kerap dihadirkan sebagai objek pelengkap dalam adegan seorang dukun tua berpakaian hitam yang komat-kamit merapal mantra, angker, dan penuh misteri. Namun, apakah benar seperti itu adanya bagi mereka yang masih menjadikan sajen sebagai bagian dari laku kesehariannya?

Pencarian jawaban atas pertanyaan itu mempertemukan kami dengan Paguyuban Eklasing Budi Murko (PEBM), sebuah komunitas penghayat kepercayaan di Salamrejo, Kulonprogo. Di kediaman Mbah Mangun, salah seorang tetua penghayat, kami berbincang-bincang tentang posisi dan peran sajen dalam kepercayaan mereka.

Menurut Mbah Mangun, sajen sebetulnya merupakan perwujudan doa yang tak terucap, dihadirkan lewat bunga-bungaan dan benda-benda lain yang berasal dari alam. Jauh dari tujuan mistis atau gaib, sajen dapat dimaknai sebagai bahasa, cara berkomunikasi yang personal dari seorang individu dengan tuhannya. Doa selalu terselip setiap saat dalam kehidupan manusia. Apa pun kepercayaannya atau bagaimanapun cara merapalnya, doa selalu menjadi cara manusia untuk meminta, merayakan, dan memperingati kehidupan. Setiap benda dalam rangkaian sajen merupakan representasi dari sebuah aspek dari doa tersebut.

Paparan gamblang Mbah Mangun itu membuat kami jadi membayangkan, bagaimanakah jika doa-doa personal kami direpresentasikan dalam wujud sesaji? Bukankah kita masyarakat urban kontemporer ini juga masih berdoa? Berangkat dengan premis ini, Sekarati mencoba merespon dan menginterpretasikan pemikiran tersebut dalam beberapa seri rangkaian yang tidak hanya terdiri dari bunga, tetapi juga benda-benda yang dekat dengan kehidupan kita. Kesan angker dicoba untuk dilunturkan dengan menghadirkan rangkaian yang dapat dinikmati lebih mudah dan ringan.

Seri rangkaian ini secara keseluruhan terdiri dari benda-benda yang sudah cukup akrab dengan kehidupan kita sehari-hari atau ada di sekitar kita dan mudah didapatkan, seperti bunga-bunga ramban, bumbu dapur, tanah, dan kerikil. Penggunaan material ini juga bertujuan untuk menghilangkan jarak antara keberadaan manusia sebagai makhluk spiritual dan duniawi, bahwa kegiatan berdoa bisa jadi sesuatu yang menyenangkan, estetik, dan penuh warna. Ia juga bisa dilakukan di mana saja dan dapat diwujudkan dalam bentuk apa saja.

Judul dalam seri rangkaian doa ini secara personal saya pilih dari nama orang-orang terdekat untuk merepresentasikan tiap rangkaian. Sebagaimana setiap nama adalah doa, demikian halnya dengan rangkaian-rangkaian ini.

Aishwarya

Kata aishwarya dalam bahasa Sanskerta berarti kemakmuran dan kekayaan, salah satu sumber kebahagiaan manusia. Bisa jadi, doa ini adalah yang paling sering kita panjatkan. Terkesan duniawi, tetapi sekaligus sangat manusiawi. Karena menjadi kaya, bisa juga berarti lebih banyak kesempatan untuk berbagi.

Sugeng Santoso

Rangkaian ini terinspirasi dari tumpeng yang sering hadir ketika kita sedang merayakan atau memperingati hari-hari khusus. Di sini saya menggunakan bunga sedap malam, melati, pisang, kelapa, serta bunga-bungaan dari cabai dan tomat. Semuanya merupakan hiasan yang umumnya terdapat pada tumpeng. Dalam bahasa Jawa, sugeng berarti selamat dan santoso berarti sejahtera. Rangkaian ini adalah doa yang saya panjatkan untuk meminta keselamatan dan kesejahteraan bagi semua makhluk di dunia.

Puruhita

Arti puruhita dalam bahasa Jawa adalah belajar atau mencari ilmu. Rangkaian ini adalah doa untuk meminta ilmu yang berkah dan manfaat sebanyak-banyaknya bagi alam semesta. Dominasi warna hijau dari buah dan sayur pada rangkaian ini melambangkan kesejukan, kebaikan, serta adab yang menyertai ilmu pengetahuan.

Sekar Ati

Istilah sekar ati atau bunga hati menunjukkan keistimewaan hati manusia yang dapat merasakan, menampung, dan mengolah berbagai macam perasaan dan emosi manusia. Sama seperti hati, bunga marigold/kenikir/gemitir yang terdapat dalam rangkaian ini bisa berarti kejayaan, kehangatan, dan kesucian. Namun, ia dapat juga berarti kesedihan, kekejaman, dan kekecewaan. Doa ini dipanjatkan bagi Maha Pembolak-balik Hati Manusia agar memberikan keluasan hati dan ketenangan batin dalam menghadapi setiap cobaan hidup.

Laksita

Rangkaian ini menggambarkan keindahan hidup dan merayakan hal-hal terbaik yang menghampiri kehidupan, sesederhana apa pun itu. Tidak terlambat sampai kantor, ditraktir makan enak, menyeruput kopi dengan nikmat, melihat pemandangan indah, hingga unggahan media sosial yang viral dan menjadi terkenal walau sesaat. Doa ini mengajak kita untuk selalu bersyukur dengan merayakan kebahagiaan-kebahagiaan kecil dalam hidup.

Tirta

Tirta adalah air; air adalah kehidupan. Banyak ilmuwan meyakini bahwa awal dari kehidupan bermula dari air. Bisa dikatakan, airlah yang membawa kehidupan di muka bumi ini. Rangkaian ini tersusun dari benda-benda yang dekat dengan keberadaan air di alam semesta. Ada susunan batu kali, lumut hidup yang menjaga kelembaban tanah, juga daun pakis yang hanya tumbuh di area basah dan lembab. Sementara itu, bunga kenanga yang terdapat dalam rangkaian ini adalah representasi dari koneksi spiritual antara manusia dan tuhannya. Melalui rangkaian ini, saya ingin menyampaikan bahwa doa yang kita panjatkan tidak selalu tentang meminta, tetapi juga tentang mengingat dan mengakui kebesaran-Nya melalui ciptaan-Nya yang luar biasa.

Bawana

Bawana adalah dunia. Doa ini dipanjatkan untuk mendapatkan seluruh kebaikan yang ada di dunia ini. Rangkaian ini menggunakan potongan semangka sebagai wadahnya untuk menopang bunga-bungaan, dedaunan, dan rumput liar menjadi sebuah rangkaian yang meriah. Mari kita andaikan potongan semangka ini sebagai seorang manusia yang siap menerima apa pun yang ditawarkan hidup. Tentu saja dengan penuh harapan bahwa hidup akan memberikan yang terbaik, termanis, dan terindah.

Teks: Putri Santoso / Sekarati

Foto: Azka Amalina

Stylist: Putri Santoso / Sekarati

Asisten Stylist: Elda Suryani, Tirta Aishwarya

Penyunting Foto: Kurniadi Widodo

Cerita Lainnya