Pembatik dari Bajang

Aroma lilin batik menyeruak dari beranda sebuah rumah sederhana di desa Bajang, Bantul. Sembari bercengkrama, beberapa orang terlihat asik dan tekun membatik di beranda. Mereka adalah Yani, Rahmat, Ika, Slamet, Sabar dan Hartono. Pemuda-pemudi dengan keterbatasan fisik yang tergabung dalam Komunitas Difabel Zone. Komunitas yang didirikan oleh Lidwina Wuri sebagai ruang bagi kawan-kawan difabel untuk berkesenian dan berdaya.

Setelah pelatihan membatik usai di Pusat rehabilitasi Yakkum tahun 2017, Wuri yang saat itu menjadi guru batik berinisiatif untuk melanjutkan program dan mengembangkan potensi yang mereka miliki. Ia khawatir saat teman-teman difabel kembali ke rumah, mereka malah kesulitan mencari pekerjaan.

Faktor keluarga menjadi kunci penting bagi seseorang yang memiliki keterbatasan fisik untuk terus berkembang dan berdaya. Selain hal itu, masih banyak yang menganggap remeh orang dengan keterbatasan fisik tanpa benar-benar mencoba mengenal mereka. Prasangka seperti itu mempengaruhi kepercayaan diri dan perkembangan mereka. Dengan dorongan dan dukungan yang tepat, kemampuan mereka dapat tumbuh tak kalah hebatnya.

Keluarga yang memiliki seorang anak difabel umumnya membuat batasan dan memiliki kekhawatiran yang berlebih. Alasan mereka dapat dimengerti namun hal tersebut terkadang justru menjadi menghambat proses tumbuh kembang anak. Seperti yang dialami Yani, keluarganya sempat melarang dirinya untuk bekerja. “Udah di rumah aja, biar kami yang cari uang buat menghidupi keluarga”, kenangnya. Padahal ia justru mengalami kebosanan jika berdiam diri di rumah. Tak beda dengan sebagian besar orang, mereka memiliki kecakapan serta tekad kuat untuk mandiri dan merdeka.

Meski begitu, mereka juga memiliki kecemasan. Khawatir jika umur dan keterbatasan fisik jadi hambatan. Seperti pengalaman Rahmat dan Yani saat bersekolah di sekolah formal. Keluarga Rahmat baru mendaftarkannya ke sekolah dasar saat ia telah berumur 10 tahun. Yani tidak melanjutkan sekolah setelah lulus SD karena ia merasa cukup hanya dengan kemampuan baca tulis. Tak ada sosok yang menyematkan mimpi dan harapan pada mereka.

Keterbatasan gerak teman-teman difabel membuat mereka memiliki akses yang terbatas dalam dunia kerja. Beberapa kali Rahmat sempat mencari lowongan pekerjaan yang memang ditujukan untuk teman-teman difabel. Sayangnya, ada ada beberapa spesifikasi tertentu yang mereka tidak bisa melakukannya, seperti mengangkat barang-barang yang cukup berat atau latar pendidikan. Sampai akhirnya mereka menemukan pekerjaan sebagai pembatik yang tidak begitu membutuhkan aktivitas fisik. Dengan membatik, mereka memiliki ruang untuk mengembangkan bakat dan kreativitas. Motif khas pakem kain batik maupun desain kustom mampu diciptakan oleh Hartanto. Ika yang tak mampu memegang canting dengan stabil, menggunakan kuas lukis untuk membatik. Beberapa dari mereka juga memiliki kemampuan jahit. Kehalusan karya batik mereka bahkan membuat beberapa orang tak percaya jika itu adalah karya difabel dengan keterbatasan fisik. Mereka tak hanya membuat lembaran kain batik, tapi juga membuat produk kembangan lain seperti tas, sarung bantal, pouch, dll. Motif unik dan desain produk yang ciamik karya teman-teman Difabel Zone tenar dan jadi langganan artis ibukota.

Sebelum pandemi melanda, aktivitas mereka tidak hanya membatik, tapi juga kerap mengikuti pameran-pameran UMKM di berbagai kota. Mereka juga menerima kunjungan dan memberi workshop membatik bagi turis lokal maupun mancanegara. Pandemi yang tak kunjung henti ini memutus banyak kesempatan yang mereka miliki. Tak hanya fisik, kini mereka menghadapi tantangan spasial yang sulit diruntuhkan.

Profesi membatik bukan profesi yang banyak dilakoni orang. Pembatik difabel lebih jarang lagi. Mereka luar biasa dengan segala keunikan dan kreatifitas cara hidup. Semangat, inisiatif dan karya seni Difabel Zone tak boleh padam. Semangat berdaya dan merdeka harus ditularkan.


Foto: Gevi Noviyanti
Teks: Amal Purnama
Editor foto: Kurniadi Widodo
Pencahayaan: Rangga Yudistira
Pengarah gaya: Akib Aryou
Asisten pengarah gaya: Swastati Dipta
Penata rias: Aliya Kinasih
Talent: Slamet, Suhartono, Ika Yuniarti, Muhamad Sabar, Mulyani, Rahmat

Cerita Lainnya