Para Penjaga
di Muara

Hutan mangrove atau bakau merupakan ekosistem penting yang memiliki banyak peran bagi kelestarian lingkungan di wilayah perairan payau. Pesisir selatan Jawa sebetulnya kurang bersahabat untuk tumbuhan bakau karena ombak ganasnya. Di provinsi D.I. Yogyakarta masih bisa ditemukan sejumlah kawasan hutan yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut ini. Satu di antaranya dikelola oleh sekelompok warga di Dusun Baros, Kecamatan Kretek, Bantul.

Meski secara wilayah masih belum seluas hutan bakau di Kulonprogo, kawasan konservasi di Baros sebenarnya telah hadir cukup lama. Keberadaannya bisa ditelusuri sampai setidaknya tahun 2003, ketika LSM Relung merintis upaya penanaman kembali bakau di daerah ini dengan merangkul masyarakat sekitar. Setelah melakukan proses edukasi dan pendampingan warga selama beberapa tahun, tanggung jawab pengelolaan kawasan mulai tahun 2006 diserahkan sepenuhnya pada organisasi masyarakat setempat, Keluarga Pemuda Pemudi Baros (KP2B).

Setelah upaya berkelanjutan selama hampir 20 tahun, kawasan konservasi bakau Baros saat ini memiliki cakupan sekitar 10 hektar, terbentang sepanjang kurang lebih 1,5 kilometer di sisi utara Laguna Opak mulai dari Pantai Baros sampai ke Pantai Pengklik di sisi baratnya. Area hutan ini menjadi sabuk pelindung hempasan abrasi bagi lahan-lahan pertanian yang berada di baliknya. Relawan-relawan KP2B menjadi garda depan penjaga kawasan ini melalui program-program mereka.

“Saat ini kami sedang melakukan pembibitan. Ada 50.000 bibit bantuan dari Dinas Lingkungan Hidup & Kehutanan DIY, terdiri dari jenis Rhizophora, Sonneratia, Avicennia, dan Nypa,” papar Sidiq Muhammad Nurcholis atau biasa disapa Kholis, ketua KP2B saat ini. Ia mengamati bedeng-bedeng bambu di kebun sederhana dengan naungan jaring paranet yang akan segera diisi beragam bibit tersebut. Jenis yang paling umum dikenal sebagai pohon bakau oleh kebanyakan orang adalah spesies Rhizophora dengan bentukan akar tunjangnya yang khas.

Sebetulnya ada banyak spesies tumbuhan yang dikategorikan sebagai tumbuhan bakau. Salah satu jenisnya adalah Sonneratia yang memiliki hubungan sejarah unik dengan daerah ini. Di Pengklik, sekitar 400 meter dari garis pantai, berdiri sebuah pohon besar kokoh nan anggun yang menyendiri di tengah lahan persawahan. Sekilas tidak terlihat seperti pohon bakau pada umumnya. Tapi bentuk daun, buah, dan keberadaan akar napas di sekitarnya memperlihatkan bahwa ia termasuk dalam spesies Sonneratia caseolaris. Masyarakat setempat, terutama mereka yang telah berumur, mengenal jenis pohon tersebut dengan nama lokal wijojo. Sejumlah pemuda mengaku pernah mendengar cerita dari para tetua desa bahwa di masa pendahulu mereka ada lebih banyak lagi pohon-pohon wijojo, bahkan dalam ukuran yang lebih besar. 

Sebuah penelitian membuktikan bahwa ternyata banyak ditemukan fosil-fosil kayu bakau berusia ratusan tahun terkubur di bawah area persawahan ini. Penemuan ini memberi indikasi bahwa daerah di selatan Jalan Jalur Lintas Selatan (JJLS) dulunya adalah hutan bakau. Entah apa yang terjadi sehingga hutan kuno ini hampir menghilang tanpa bekas sebelum akhirnya dirintis kembali oleh LSM Relung. Menariknya lagi, sebuah klasifikasi zonasi bakau oleh D.G. Bengen (2002) menyebutkan bahwa kelompok tumbuhan Sonneratia berada di sisi terluar dari ekosistem bakau atau terletak paling dekat dengan laut. Apakah ini berarti di masa lampau garis pantai laut selatan terletak lebih ke dalam lagi dari posisinya saat ini? Belum ada penelitian lebih lanjut tentang ini.

Selain melakukan penyemaian, pembibitan, penanaman mandiri, dan penyulaman bagian kawasan yang rusak secara berkala, KP2B juga menyediakan berbagai paket eduwisata. Paling populer tentu saja adalah penanaman bibit bakau. Sebelum pandemi, peminatnya membeludak, mulai dari kelompok mahasiswa pencinta alam hingga program-program CSR korporat. KP2B memang ingin lebih fokus pada wisata minat khusus, alih-alih membuka kawasan konservasi untuk wisatawan umum. “Selain arealnya tidak terlalu luas, kami juga khawatir jika terlalu banyak orang yang datang, habitat burung-burung yang tinggal atau singgah di sini bisa terganggu,” jelas Kholis.

Upaya KP2B dalam melestarikan lingkungan bukan tanpa kendala. Sampah merupakan tantangan utama bagi kelangsungan konservasi bakau di Baros. Karena karakteristiknya yang mampu tumbuh di sedimentasi lumpur, hutan bakau memang lazim berkembang di muara-muara sungai. Namun, situasi geografis itu pula yang mengakibatkan hutan bakau amat rentan terhadap limbah-limbah yang terakumulasi di sepanjang aliran sungai mulai dari hulu. 

Sampah-sampah yang terbawa arus ke wilayah penanaman bakau beresiko menghanyutkan tanaman-tanaman muda yang akarnya masih belum cukup kuat mencengkeram sedimen lumpur pantai. Tak hanya itu, sampah yang terbawa masuk ke wilayah konservasi oleh arus pasang juga bisa menutupi akar-akar napas bakau sehingga mengganggu pertumbuhannya. Di beberapa titik bisa dengan mudah dijumpai serakan sampah kantong plastik, sisa kemasan makanan, hingga pakaian bekas yang menggelantung di ranting-rantingnya. “Mau diambili pun, besoknya sudah akan begini lagi. Melakukannya setiap saat butuh biaya dan tenaga. Selama sungai masih menjadi tempat pembuangan sampah, siklus ini akan terus berulang,” keluh Kholis.

Untuk mengurangi kondisi tersebut, KP2B berinisiatif membuat struktur pelindung berupa pagar-pagar bambu berselimut paranet di sisi luar wilayah tanam untuk menjaring sampah-sampah yang hanyut. Sayangnya, strategi perlindungan ini juga tidaklah permanen. Meski dalam kondisi ideal bisa bertahan sampai 3 tahun, pagar pelindung ini masih harus terus dimonitor dan segera diperbaiki jika ada jaring yang terkoyak atau patok yang rubuh. Ini masih bisa diperburuk faktor lain seperti cuaca ekstrim. Belum lama ini, misalnya, pada akhir 2017 terjadi Siklon Cempaka di Samudera Hindia sehingga mengakibatkan banjir besar yang meluluhlantakkan hampir separuh wilayah konservasi. Dengan situasi krisis iklim yang semakin parah, bencana-bencana semacam ini bisa jadi akan meningkat frekuensinya di masa depan.

Namun, tidak selamanya gelombang laut membawa kabar buruk. Ada pula material hanyut yang masih bisa dimanfaatkan, seperti kayu-kayu laut yang setelah dikeringkan bisa diolah warga menjadi beragam bentuk kerajinan dekoratif. Hasil-hasil kerajinan ini sudah diekspor, meski untuk saat ini para pengrajin dusun hanya baru akan melakukan produksi ketika ada pesanan saja. Di sebuah rumah warga yang dijadikan tempat penyimpanan, batangan-batangan kayu dalam karung-karung teronggok menanti untuk dikreasikan.

Sore hari hingga menjelang petang di tepian Laguna Opak, sejumlah pemancing nampak menempati lokasi favorit mereka di antara rindangnya pohon-pohon bakau. Sebagian menyendiri, sebagian lagi memilih berkelompok. Joran-joran ditanamkan berjajar, menunggu ikan-ikan memakan umpan. Di atas kanopi pepohonan, sekawanan burung kowak malam sesekali berseliweran. Ekosistem bakau yang sehat akan mendorong kekayaan hayati pula. Ikan-ikan kecil berlindung dan bertelur di antara akar-akar bakau yang tergenang, sementara pucuknya digunakan untuk tempat beristirahat bagi berbagai spesies burung.

Sketsa-sketsa cerita di atas memberi gambaran bagaimana sekelompok masyarakat pesisir bisa memiliki ikatan yang sangat kuat dengan bentang alam yang mereka tinggali. Mereka menjaga alam yang pada gilirannya akan menjaga mereka kembali. Sebuah bentuk keberdayaan lestari yang semestinya bisa menjadi contoh bagi kita semua.



Foto & Teks: Kurniadi Widodo

Cerita Lainnya