Merujuk Catatan Visual Lampau,
Merekam Kebudayaan Hari Ini



Media visual memiliki potensi untuk menjadi satu bentuk rekaman yang memiliki nilai tawar tersendiri. Ia memang tidak akan pernah mampu menandingi catatan tertulis dalam aspek nilai informasinya. Akan tetapi, media visual bisa memiliki daya tarik, daya henti, maupun daya kejut yang langsung merasuk ke sanubari pemandangnya. Jika dikombinasikan dengan baik, media visual dan catatan tertulis bisa menjadi strategi merekam yang akan selalu menarik perhatian dan tak lekang oleh zaman.

Dalam ranah pencatatan kebudayaan Yogyakarta, metode tersebut pernah dilakukan oleh J.L. Moens, seorang insinyur perairan di era pemerintahan kolonial yang tergila-gila pada budaya Jawa, khususnya Yogyakarta. Lebih dari satu dekade, Moens mengumpulkan informasi seputar kehidupan masyarakat Jawa dan memesan naskah ilustrasi ke para dalang yang berdomisili di Yogyakarta. Bentuk perekaman yang bisa dibilang komprehensif dan tak hanya memandang kebudayaan keraton, tapi juga kehidupan alit menjadikan Album Moens sebagai catatan menarik untuk dibaca dan dikaji.

Dari total 30 seri Album Moens, hanya beberapa naskah yang sudah dialihaksarakan dan bisa diakses publik. Naskah yang sudah dialihaksarakan tersebut bertemakan pertanian, permainan anak-anak, dan pertunjukan jalanan. Membacanya seperti menikmati ensiklopedia bergambar. Kita disuguhi berset-set ilustrasi dengan gaya pewayangan, melukiskan fragmen aktivitas permainan anak-anak, pengantin keraton, upacara-upacara di dalam dan di luar keraton, dongeng, pewayangan, pertunjukan jalanan, tata cara dan adat istiadat, pertanian, ciri-ciri wanita, dan lain-lain. Album ini juga dilengkapi dengan keterangan peristiwa yang dilakukan serta subjek dan objek yang tergambar di dalamnya. Hal ini menempatkan Album Moens menjadi sebuah proyek produksi pengetahuan yang patut diapresiasi dan dikaji secara kritis.

Sayangnya, Moens mengambil sikap transaksional dalam proses kerja risetnya. Ia memberi instruksi, membayar upah, dan tidak meninggalkan secuil arsip untuk si dalang. Ia melakukan pencatatan dengan logika kolonialisme, memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi dan pemerintah kolonial. Namun, tanpa catatan Moens, mengingat tradisi pengarsipan kita yang sangat lemah, mungkin ada banyak fragmen kehidupan masyarakat Jawa di era itu yang kita lupakan.

Selang 80 tahun lebih dari akhir proyek Moens, terjadi banyak perubahan sosial budaya di Yogyakarta. Banyak peristiwa, tradisi, tata cara, dan fenomena yang sempat Moens catat telah hilang atau beradaptasi dengan gempuran zaman. Contohnya, keberadaan ruang ramah anak yang menciut di lanskap urban, mau tak mau, membuat anak-anak di abad 21 tak lagi banyak memainkan permainan tradisional. Ditambah dengan teknologi permainan yang semakin canggih dan relasi sosial yang semakin kompleks, mereka punya lebih banyak pilihan untuk menghabiskan waktu bermain. Dalam kehidupan masyarakat agraris, petani saat ini diharuskan untuk mempercepat proses bercocok tanam untuk mencukupi tingkat konsumsi yang lebih tinggi dibanding era Moens. Proses pembajakan dengan kerbau atau sapi mulai ditinggalkan karena keberadaan traktor yang lebih efisien. 

Melihat perubahan-perubahan itu, penting melakukan pembaruan pencatatan sebagai produksi pengetahuan yang relevan dengan situasi dan pemikiran terkini. Celah yang dibuat oleh Moens dapat kita isi dan sepadankan. Meneruskan apa yang telah dimulai oleh Moens, kita dapat menciptakan kesempatan untuk mereproduksi pengetahuan dengan melepas kacamata kolonialisme dan eksotisme. 


Perkembangan teknologi media visual yang kian canggih bisa dimanfaatkan untuk kepentingan memperbaiki kekurangan yang ada di Album Moens. Ilustrasi-ilustrasi yang dibuat pada saat itu cenderung mengedepankan tampilan aktivitas yang dicatat. Metode ini mereduksi para pelaku/subjeknya menjadi figur anonim tanpa identitas. Dengan banyaknya inisiatif keberdayaan warga pada skala akar rumput hari ini, menjadi relevan untuk memberi penghargaan bagi komunitas-komunitas ini melalui pencatatan. Fotografi sebagai media visual yang mampu merekam secara realistis bisa mengambil peran dalam tataran ini. Beberapa foto yang dibuat merespon Album Moens dengan menyoroti dua komunitas warga, mungkin berikut mengilustrasikan gagasan ini.

Di selatan kaki Gunung Merapi, terdapat sebuah pendopo berlatar lahan persawahan luas nan asri. Tempat ini bernama Kawasan Studi dan Konservasi Burung Hantu Serak Jawa (Tyto Alba Javanica), berlokasi di tanah Desa Cancangan, Wukirsari, Cangkringan, Sleman. Munculnya kawasan studi ini berawal dari para petani yang memanfaatkan burung hantu jenis serak jawa untuk mengontrol populasi tikus secara alami. Raptor Club Indonesia (RCI) bersama kelompok tani Margo Mulyo melakukan proses sosialisasi program dalam jangka waktu yang panjang sejak tahun 2013. Kini bukan hanya warga Cancangan saja yang dapat menikmati hasil maksimal dari pelestarian burung pemangsa ini, tetapi warga lain yang berada di sekitarnya. 

Pendopo kawasan konservasi merupakan ruang publik yang digunakan sebagai tempat berbagai aktivitas penduduk desa, misalnya tempat belajar, penyuluhan, dan diskusi. Tempat ini juga berperan sebagai ruang bertukar pengalaman dan wawasan berbagai hal, khususnya dalam pertanian dan pengembangan desa. Siapa pun boleh berkunjung dan akan disuguhi minuman herba buatan Pak Lim Wen Sin, pendiri RCI sekaligus aktivis dan peneliti lingkungan, serta dikenalkan pada ilmu pertanian alami dan tradisi setempat.

Salah satu tradisi pertanian desa Cancangan yang diuri-uri oleh komunitas adalah ritual selamatan (wilujengan) dalam kehidupan agraris. Selamatan adalah ritual upacara masyarakat Jawa sebagai simbol bersyukur dan berdoa untuk tolak bala. Dalam masyarakat agraris di era modern ini, wilujengan jarang diselenggarakan secara komunal. Hanya petani atau sesepuh yang masih memegang kuat pitutur luhur yang masih melakukannya secara mandiri. Oleh karena itu, anggota komunitas konservasi berniat untuk melestarikan tradisi ini sebagai laku slamet bercocok tanam masyarakat desa. Ritual tradisi yang sarat simbol dan penghormatan pada makhluk Tuhan yang lain demi menjaga keseimbangan alam agar selaras dengan hakikat pertanian berkelanjutan yang berdasar pada harmoni ruang hidup.

Tradisi penanaman padi di Desa Cancangan memiliki tiga prosesi, yaitu Brokohan, Jenangi dan Wiwitan. Brokohan dilakukan di sebelum masa tanam dengan ubo rampe urap sayur tanpa daging, dan telur atau ikan sebagai persembahan kepada Dewi Sri. Dua minggu setelah proses penanaman, dilakukan prosesi Jenangi dengan ubo rampe berupa jenang dan pisang untuk memulihkan sumsum para pengolah sawah. Menjelang panen, Wiwitan dilakukan dengan ubo rampe paling lengkap, yaitu ingkung sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan dan tumpeng sebagai simbol memboyong padi. Dalam setiap ritual, janur menjadi simbol benteng atau pagar, daun dhadhap serep sebagai simbol ketentraman, dan pembakaran kemenyan sebagai sarana lantaran atau simbol sarana terkabulnya doa-doa yang diinginkan. Pembakaran kemenyan dalam tradisi masyarakat Jawa sering dimaknai sebagai “talining iman, urubing cahya kumara, kukuse ngambah swarga, ingkang nampi Dzat ingkang Maha Kuwaos” yang berarti bahwa selamatan yang dilaksanakan tersebut diharapkan akan lebih meningkatkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa bagi keluarga yang melaksanakan maupun bagi seluruh manusia pada umumnya. Setelah prosesi usai, semua hidangan disantap bersama-sama. 

Sementara itu, Dusun Pandes Sompokan yang terletak di Kelurahan Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Bantul, Yogyakarta telah lama tenar sebagai sentra kerajinan dolanananak (mainan tradisional). Dari tuturan warga, di pertengahan abad 18 atau di masa kepemimpinan HB VIII, seorang seorang punggawa Keraton Mataram keturunan Majapahit bernama Nyai Sompok datang ke Dusun Pandes. Ia lantas menciptakan dan mengajarkan kriya mainan tradisional kepada penduduk desa. Beberapa jenis mainan tradisional itu antara lain adalah angkrek atau wayang kertas, kitiran, klonthongan, othok-othok, payung kertas, dan masih banyak lagi. Selama ratusan tahun, usaha dolanan menjadi mata pencaharian hampir seluruh warga dusun yang mencapai puncak kejayaannya di dekade 80an. Warga tidak hanya membuat, tapi juga menjajakannya dengan berjalan kaki hingga ke luar kota. 

Lama berselang, kepopuleran mainan tradisional memudar tergerus zaman. Dolanan tradisional saat ini sulit dijadikan mata pencaharian utama. Tidak mengherankan jika para orang tua tidak lagi mengajarkan keahlian membuat mainan tradisional ke anak-anak. Kini tinggal enam warga yang masih setia menekuni profesi ini dan semuanya berusia lanjut. Sebagian besar mewarisi usaha dolanandari orang tua mereka dan enggan meninggalkannya karena sudah menjadi kegiatan sehari-hari. Mbah Madi, salah satu perajin, merupakan generasi ketujuh dari keluarga pembuat dolanananak di Desa Pandes. Kini ia menjadi satu-satunya pengrajin sekaligus penjaja keliling dolanan tradisional dari Dusun Pandes. Mbah Atemo adalah generasi kedua. Meski tak memperoleh keuntungan yang berarti, ia tetap membuat dolanan hampir setiap hari. Lain halnya dengan Mbah Bangun, pengrajin termuda ini menyukai seni kriya dan bahkan mengembangkan desain garapannya mengikuti perkembangan zaman. Ia beralih memproduksi mainan kayu yang lebih rumit dari segi pembuatan, tapi bernilai ekonomi lebih tinggi.

Melihat semangat para simbah dalam melestarikan kearifan lokal, salah satu warga bernama Wahyudi Anggoro Hadi mendirikan sebuah komunitas bernama Pojok Budaya di tahun 2007. Ia berkeinginan untuk mewariskan tradisi khas Desa Pandes melalui gerak budaya dan desa wisata. Kini Desa Pandes lebih dikenal sebagai Kampung Dolanan Pandes. Sebelum pandemi, kampung ini ramai oleh kunjungan wisata dan sekolah, baik dari lokal maupun mancanegara. Komunitas ini juga kerap mengikuti pameran dan menyelenggarakan lokakarya pembuatan mainan tradisional. Menjelang tahun kedua pandemi, para simbah tetap produktif seperti biasa meski tidak ada kegiatan atau kunjungan wisata.

Contoh perekaman visual atas kelompok warga di atas tentunya secara skala belum ada apa-apanya dengan pencatatan yang telah dilakukan Moens. Namun, percobaan kecil ini mungkin bisa dilihat sebagai tawaran atas apa yang mungkin bisa dilakukan dengan menengok rekaman masa lalu dan mengadaptasinya dalam situasi, pemikiran, juga teknologi perekaman visual hari ini. Banyaknya orang yang sudah melek teknologi kamera bisa dilihat sebagai aktor-aktor perekaman yang potensial. Di sisi lain, peran foto sebagai media dokumentasi pun masih bisa diberi nafas artistik sehingga ia memiliki daya tarik untuk banyak orang. Jika kerja-kerja semacam ini bisa diorganisir layaknya apa yang dilakukan Moens, maka bukan niscaya kita bisa memiliki catatan visual kebudayaan hari ini yang lebih kaya.

Foto: Kurniadi Widodo

Teks: Amal Purnama & Kurniadi Widodo

Asisten Fotografer: Amal Purnama, Gevi Noviyanti, Rangga Yudhistira, Risna Anggaresa

Narasumber

Dusun Pandes: Mbah Joyo, Mbah Atemo, Mbah Wiyar, Mbah Madi, Mbah Buang, Mbah Aminah

Dusun Cancangan: Mbah Gito, Sigit, Dwi, Acil

Sumber Arsip: Perpusnas

Cerita Lainnya