Memupuk Keberdayaan dari Desa

Sayup-sayup canda tawa anak-anak dan remaja mulai terdengar ketika matahari berada persis di atas cakrawala. Tidak seperti biasanya, mereka datang lebih siang karena baru mengikuti kirab budaya di Kecamatan Panggang. Kelompok anak-anak dan remaja ini adalah peserta aktif di Sekolah Pagesangan, sebuah kelompok belajar berbasis komunitas di dusun Wintaos, Panggang, Gunungkidul. Sekolah kehidupan (gesang mempunyai arti ‘hidup’) ini diinisiasi sejak 2008 oleh Diah Widuretno.

Sekolah Pagesangan atau kerap disebut SP menerapkan pendidikan kontekstual yang dirasa lebih relevan dan aktual dengan kebutuhan warga sehari-hari. Melalui metode-metode yang partisipatif, SP mengajak warga setempat untuk berperan aktif menggali potensi-potensi yang ada di desa sebagai pijakan untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka temukan.

Pada proses tumbuhnya, SP memilih pertanian dan pangan sebagai fokus utama dalam praktik pendidikan kontekstualnya. Selain karena sangat dekat dengan realita kehidupan sehari-hari warga Wintaos, pilihan ini turut didasarkan pada budaya tani mereka yang sangat adaptif dengan topografi lingkungan setempat, yaitu lahan kering yang didominasi perbukitan karst. Ritme sebagai petani subsisten dengan menerapkan sistem tadah hujan, serta bertani di lahan kering secara polikultur adalah cara-cara adaptasi yang telah diterapkan warga selama beberapa generasi untuk bisa bertahan hidup.

Pada awal berdirinya, SP hanya ditujukan untuk anak-anak. Namun karena perkembangan kebutuhan, sejak tahun 2014 sampai sekarang, mereka akhirnya membagi kegiatan belajar menjadi empat: kelompok anak, kelompok remaja, kelompok perempuan (pengolah dan usaha), dan kelompok tani. Tiap kelompok memiliki ritme, metode belajar, dan jadwal spesifik yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing.

Siang itu, kelompok anak-anak belajar mewarnai sebuah gambar tanaman pangan, sementara kelompok remaja menggambar tanaman pangan favorit mereka. Dengan bimbingan para kader (sebutan untuk relawan pengurus operasional SP) yang merupakan pemudi Dusun Wintaos, kelompok anak dan remaja mulai menuangkan relasi dan ingatan mereka terhadap pangan lokal ke dalam selembar kertas.

Tak dipungkiri, efek modernisasi memang nyata. Generasi muda saat ini mulai enggan melirik sektor pertanian, begitu juga dengan mengonsumsi pangan lokal seperti umbi-umbian. Imaji kerja di kota yang tampak lebih menjanjikan dan roti gandum yang terasa lebih lezat memang tak terbendung. Keresahan ini juga yang menuntun Diah mengenalkan tema pertanian sedari dini pada generasi muda Wintaos agar kelak mereka tidak tercerabut dari akar budayanya sendiri.

Kesadaran atas potensi desa juga dicoba untuk ditanamkan oleh SP melalui gerakan #rabumbi. Ini merupakan upaya untuk mengenali kembali pangan lokal melalui konsumsi umbi-umbian hasil panen kebun pribadi untuk kebutuhan pangan sehari-hari. Selain untuk berdaulat secara pangan dan mengurangi food miles, #rabumbi juga menjadi strategi untuk bersiap menghadapi ramalan iklim para ilmuwan sains tentang kenaikan suhu ekstrem yang dapat mengakibatkan krisis pangan, salah satunya karena banyak tanaman pangan, terutama serealia (biji-bijian), yang tidak dapat bertahan di suhu ekstrem.

Tak berselang lama, kelompok perempuan pun hadir dan memenuhi ruangan dapur SP. Mereka saling bersinergi dengan kelompok tani dan kelompok remaja dalam mengelola usaha bersama di bawah sebuah produk dagang bernama Kedai Sehat Pagesangan. Kelompok tani menyuplai hasil panen yang dijadikan pelbagai produk olahan oleh kelompok perempuan, sementara kelompok remaja memasarkannya melalui jejaring media sosial.

Beberapa produk yang dipasarkan meliputi hasil olahan, seperti tiwul instan, tepung mocaf, cabe bubuk, keripik singkong, mengleng, aneka tempe nonkedelai, sale pisang, dll. Selain itu, juga terdapat hasil bumi nonolahan, seperti beras merah, kacang-kacangan, dan sayuran. Tentunya, produk-produk tersebut telah melalui proses kurasi internal guna memetakan kebutuhan pangan masyarakat luas.

Selain sebagai lini usaha bersama warga untuk belajar berwirausaha, Kedai Sehat Pagesangan juga merupakan salah satu bentuk keswadayaan untuk menyokong keberlangsungan kegiatan SP. Sebagai tambahan, SP juga memiliki beberapa strategi fundraising yang ditujukanuntuk masyarakat luar,seperti program-program live in dan lokakaryaterkait pertanian dan pangan. 

Di luar dukungan materiil, SP juga banyak mendapat dukungan nonmateriil berupa kesediaan waktu, pikiran, tenaga, dan gotong royong dari warga, anggota, serta relawan. Beberapa relawan fasilitator dari luar SP banyak membantu program-program SP sejak tahun 2016, seperti Pak Banning dan Pak Kuncoro yang sering kali memfasilitasi program Sinau Tetanen Gunungkidulan (STG) yang diprakarsai SP untuk masyarakat muda/petani pemula Gunungkidul.

Di tanah yang gersang ini, ada harapan yang dirawat Sekolah Pagesangan untuk senantiasa gesang dan berdaya dari desa dan untuk desa, melalui pendidikan kontekstual yang tak berjarak dengan realita kehidupan sehari-hari warga Wintaos.

Foto & teks: Rangga Yudhistira

Asisten fotografer: Irene Sonia

Cerita Lainnya