Kicau Pembawa Rejeki, Kompetisi Peninggi Tensi

Dalam kebudayaan Jawa, ada lima elemen yang dianggap sebagai pelengkap dalam kehidupan seorang pria, salah satunya adalah kukila. Secara harfiah, kukila artinya adalah burung. Namun, jika dilihat secara luas, kukila ini dimaksudkan sebagai klangenan atau hobi. Selain suaranya yang khas, kukila secara simbolis dianggap mampu membawa keberuntungan atau perlindungan bagi sang pemilik.

Menurut sejarah, klangenan untuk memelihara burung sudah berlangsung sejak lama. Kegiatan ini pun tidak hanya terjadi di Jawa, tetapi juga di Suriname, negara yang banyak memiliki warga keturunan Jawa yang dulu dibawa oleh Belanda. Hal ini diabadikan dengan apik oleh Jacquie Maria Wessels (2018) dari Belanda yang mendokumentasikan para pemilik burung dengan peliharaan dan sangkarnya dalam kurun waktu 2006 hingga 2009. 

Salah satu burung yang menjadi favorit adalah perkutut. Seiring berjalannya waktu, jenis burung yang dipelihara pun menjadi beragam, di antaranya adalah jenis burung kicau. Anis merah, cucak hijau, murai, kenari, dan love bird adalah beberapa jenis burung yang saat ini diminati, terutama oleh kicaumania, sebutan untuk orang-orang yang memiliki minat lebih terhadap burung kicau. Istilah ini digunakan oleh Paul Jepson dalam reportase spesial yang ditulisnya pada tahun 2008.

Jepson mengemukakan adanya perbedaan signifikan antara pecinta burung di luar negeri dengan Indonesia. Mengidentifikasi, mengamati, dan menghitung populasi burung, termasuk yang dianggap langka, adalah beberapa aktivitas yang dilakukan oleh pengamat atau pecinta burung di luar negeri. Sementara di Indonesia, salah satu aktivitas para pecinta burung adalah kompetisi burung atau disebut juga sebagai gantangan manuk. Istilah ini berasal dari kata gantang yang merujuk pada tempat menggantung sangkar burung sampai ketinggian tertentu yang berguna untuk melatih burung bernyanyi atau manggung. Ajang gantangan manuk oleh Jepson dianggap sebagai tempat untuk menilai selera, membangun reputasi, dan melepaskan kepenatan.

Gantangan manuk adalah salah satu kegiatan, selain memancing, yang acapkali berpotensi untuk memicu konflik, terutama bagi para pria yang sudah berumah tangga. Para pemilik burung yang kerap turut serta dalam gantangan manuk sering kali menghabiskan lebih banyak waktu bersama burung kesayangan dibandingkan dengan istri. Selain itu, para bapak-bapak ini pun lupa dengan kewajiban yang semestinya dikerjakan. Dalam satu forum di sosial media milik Info Cegatan Jogja, seorang istri pernah mengirimkan sebuah tulisan satir terhadap para suami yang menghabiskan waktunya untuk memancing dan memelihara burung sehingga lupa kewajibannya dan membebankan semua tanggung jawab kepada istri. Tentu saja ini menimbulkan stigma bahwa para pemancing dan penikmat gantangan manuk sebagai pelaku aktivitas yang negatif. Namun, apakah benar demikian? Ataukah ada perspektif lain yang bisa dilihat?

Selain stigma, hal menarik yang kemudian layak disoroti adalah penjurian pada sesi latihan maupun kompetisi gantangan manuk. Orang akan lebih mudah membayangkan jika melihat kompetisi menyanyi. Para juri memiliki standar dan penilaian yang jelas terhadap para peserta. Pun dalam setiap kompetisinya, para juri dapat menilai para peserta satu persatu. Namun, hal ini berbeda dengan para juri gantangan manuk yang mampu memberikan penilaian untuk setiap burung yang berkompetisi di tempat dan waktu bersamaan. Lantas, bagaimana para juri ini mampu memberikan penilaian terhadap burung yang layak mendapatkan nilai terbaik ataupun gelar juara?

Berangkat dari pertanyaan di atas, kemudian kami mencoba untuk menyelami lebih jauh dunia gantangan manuk yang ternyata memiliki ekosistem dan jejaring yang sangat luas. Tidak hanya kompetisi, tetapi juga penyelenggara (event organizer), pemilik burung yang langganan juara, peternak, elemen-elemen pendukung seperti pembuat sangkar, peracik pakan dan vitamin, hingga “dokter”. Ini pun masih sebagian kecil, belum termasuk pembuat jersey atau kostum untuk masing-masing komunitas burung serta pembuat piala dan sertifikat.

Perjalanan awal mempertemukan kami dengan Mas Rizal Novianto, salah satu event organizer untuk gantangan manuk yang beroperasi di daerah Monjali. Mas Rizal mengepalai Ronggolawe DPW Yogyakarta yang merupakan bagian dari komunitas Ronggolawe Yogyakarta. Ia memiliki dua lokasi gantangan manuk. Lokasi pertama terletak di Monjali (Monjali Enterprise), persisnya di parkiran sebelah barat Monumen Jogja Kembali, sedangkan lokasi yang kedua di Turen (Turen Enterprise) terletak di Ngaglik, Sleman. Pada sesi latihan yang diadakan pada hari Rabu sore, terdengar suara pemandu acara memanggil para peserta untuk merapat ke lokasi gantangan. Terdapat beberapa sesi yang diadakan pada sore itu untuk jenis burung yang berbeda. Dimulai dari love bird, kenari, cucak hijau, dan murai batu. Selain jenis burung yang berbeda, masing-masing burung pun masih dibagi kelas-kelas tersendiri, mulai dari paud hingga fighter

Sesi sore itu pun resmi dimulai dengan lovebird kelas paud. Ada belasan peserta yang turut serta dalam sesi ini. Masing-masing peserta menempatkan burungnya di gantangan dengan nomor yang sudah dipilih saat mendaftar. Para juri memberikan aba-aba kepada peserta untuk menjauh dari lokasi tempat burung dikaitkan sebelum sesi dimulai. Lantas, para peserta memosisikan diri di luar gantangan. Beberapa peserta nampak menyiapkan perangkat khusus untuk memancing burung peliharaannya agar mau bersuara, sedangkan peserta lainnya memilih menggunakan siulan atau tepukan tangan. Juri pun mengumandangkan kata “mulai” dan sesi resmi digelar.

Ada beberapa standar yang biasanya diterapkan dalam penjurian pada kompetisi gantangan manuk, yaitu irama dan lagu, volume dan suara, serta fisik dan gaya. Masing-masing burung memiliki standar penilaian yang berbeda. Para juri pada umumnya menggunakan lembar penilaian dengan standar yang ditetapkan oleh Pelestari Burung Indonesia (PBI) dan tiga bendera sebagai tanda untuk menilai burung yang menjadi juara satu, dua, dan tiga. Khusus untuk beberapa jenis burung, diterapkan sistem penjurian yang berbeda. Di gantangan milik Mas Rizal, sebagai contoh, penilaian burung jenis love bird menggunakan sedotan berwarna merah, hijau, kuning, dan putih. Masing-masing warna memiliki poin yang berbeda dengan sedotan warna merah sebagai poin paling tinggi.

Dalam sesi latihan bersama atau latber, para pemain (istilah yang digunakan untuk pemilik burung) nampak begitu serius memantau kicauan burung yang dimiliki. Keseriusan ini bukan tanpa sebab. Sebagian pemain memang menggantungkan nasib dari burung yang mereka rawat. Ada juga pemain yang menjadi joki sebagai pegangan hidup mereka, merawat burung milik orang lain dan menjadikannya juara. Ketika menjadi juara, apresiasi akan diberikan kepada para joki. Tak heran kemudian, walau hanya sesi latihan bersama, intensitasnya tetap tinggi meskipun tidak sepanas pada saat kompetisi.

Mas Rizal sebagai event organizer mengakomodasi ini semua. Ia memang sengaja menyewa lapangan untuk dijadikan gantangan manuk dan mengelola tempat tersebut bersama dengan rekan-rekannya. Gantangan manuk yang dikelola oleh Mas Rizal adalah satu dari sekian yang diselenggarakan di hari itu. Saat ini terdapat banyak sekali pengelola gantangan manuk di Yogyakarta dan letaknya tersebar di seluruh daerah. Masing-masing event organizer juga mengadakan sesi latihan bersama, tentu saja dengan sentuhan yang berbeda. Mereka memiliki ciri khas masing-masing agar bisa menarik perhatian para pemain untuk turut serta dalam sesi latber.

Sesi latber yang diadakan oleh para event organizer sebetulnya juga menjadi ajang untuk persiapan kompetisi gantangan manuk. Tidak sedikit dari para pemain yang menggunakan sesi ini untuk mengasah mental kompetitif burung kicau yang dimiliki. Layaknya atlet, burung yang ikut dalam sesi latber pun juga mendapatkan perlakuan khusus. Ada yang memberikan pakan spesial, seperti buah ataupun serangga; mencekoki burungnya dengan jamu; ataupun memancing burung agar mau berkicau dengan cara memutarkan suara burung lain dari Youtube. Semua upaya ini dilakukan agar burung bisa gacor, istilah untuk menggambarkan burung yang mampu memiliki performa yang bagus saat sesi latihan.

Hal ini dilakukan para pemain untuk mempersiapkan burung milik mereka sebelum mengikuti kompetisi. Kompetisi kicau burung merupakan salah satu ajang yang dianggap prestisius oleh para pemain. Kompetisi tingkat daerah ataupun nasional menjadi ajang untuk mempertontonkan dan memperdengarkan burung milik mereka. Awalnya, kompetisi ini digagas oleh Pelestari Burung Indonesia (PBI) di tahun 1970-an. PBI mengadakan pameran burung di Taman Ria Remaja, Senayan pada tahun 1974 dan Istana Wakil Presiden pada tahun 1975. Ide perlombaan kemudian muncul dari para pedagang dan penggemar burung di kawasan Pasar Senen, Jakarta Pusat. Mereka lantas mengadakan perlombaan agar meramaikan pasar burung.

Pada tahun 1976, kawasan Pasar Senen dipindahkan ke Pasar Burung Pramuka, Jakarta Timur. Namun, kompetisi burung kicau justru makin marak digelar. Puncaknya di tahun 1978, kompetisi burung kicau ini menjamur di berbagai daerah. Cucakrawa, murai batu, poksay, kenari, dan hwamey adalah beberapa jenis burung kicau pada waktu itu yang diperlombakan dalam beberapa kelas.

Seiring berjalannya waktu, PBI pun mulai mengembangkan peraturan untuk penilaian baku kompetisi burung kicau sekaligus jenis burung yang dapat diperlombakan. Salah satu peraturannya adalah burung yang boleh ikut kompetisi merupakan hasil penangkaran. Burung hasil penangkaran tersebut kemudian diberi tanda berupa ring yang dipasangkan di kaki burung sebagai identitas. 

Jenis burung yang diperlombakan juga sempat mengalami perubahan. Dahulu, burung yang diperlombakan adalah burung perkutut dan kemudian beralih menjadi burung kicau (Jepson, 2008). Perubahan ini terjadi terutama pada saat krisis moneter di tahun 1998 dan maraknya flu burung sehingga sulit untuk mendatangkan burung impor. Beberapa jenis burung impor, di antaranya Poksay Hitam, tidak lagi diperlombakan (Iskandar, 2015). Jenis-jenis burung yang masih diperlombakan di kompetisi tingkat nasional adalah murai batu, cucak hijau, anis merah, kacer, cendet, kenari, love bird, anis kembang, branjangan, hwamey, tledekan, dan burung campuran/silangan impor.

Untuk kompetisi sendiri, di Yogyakarta ada beberapa piala bergengsi yang diperebutkan oleh para pemain, tidak hanya dari dalam daerah tapi juga luar Yogyakarta. Dua di antaranya adalah Piala Pakualam dan Piala Raja Hamengku Buwono. Jika mengambil perumpamaan pada sepak bola, Piala Raja Hamengku Buwono adalah Piala Dunia-nya gantanganmanuk. Para pemain dengan burung kicau terbaik di seluruh daerah berkumpul untuk berkompetisi. Boleh dibilang burung yang terdaftar untuk kompetisi ini mirip pemain bola sekelas Lionel Messi ataupun Cristiano Ronaldo. 

Meskipun biaya pendaftarannya tidak terbilang murah, ini bukan menjadi masalah bagi para pemain yang turut serta dalam kompetisi. Hadiahnya pun tidak main-main. Selain berhak membawa pulang sertifikat dan trofi piala raja yang berupa mahkota, hadiahnya mencapai puluhan juta rupiah. Bahkan untuk Murai Batu kelas Maharaja, hadiah utamanya adalah mahkota beserta mobil.

Atmosfer pada saat gantangan manuk berlangsung boleh dibilang cukup panas. Tensi yang tinggi serta harga diri para pemain menjadi pertaruhan di medan laga. Tak jarang sebelum pertandingan dimulai, beberapa pemain mencoba untuk show off memperlihatkan kemampuan burung jagoannya. Sebagian lagi memilih untuk menjauh dari keramaian sebelum kompetisi di mulai. Mempersiapkan burung mereka agar tingkat stresnya tidak begitu tinggi dan mental berkompetisi tetap terjaga. Tak heran jika panasnya atmosfer kompetisi berimbas pada selisih atau konflik antarpemain, bahkan sampai terlibat baku hantam dan harus dilerai oleh petugas keamanan. Bagi banyak pemain, kompetisi kerap kali menjadi ajang pertaruhan harga diri dan rezeki.

Kompetisi sebetulnya juga menjadi ajang bagi para pemain untuk menaikkan nilai jual dari burung yang dirawat. Ketika burung yang diperlombakan menjadi juara, nilai jualnya pun menjadi tinggi. Tak jarang transaksi jual beli juga terjadi setelah perlombaan usai. Pembelinya biasanya menyaksikan langsung atau mendapatkan informasi melalui pencari talenta burung yang dianggap bagus dan memiliki potensi untuk gacor. Sebagai contoh, salah satu burung murai batu dengan nama Superman dibeli seharga kurang lebih satu milyar rupiah usai memenangkan Piala Raja ke-21. Hal ini menunjukkan bahwa kompetisi tingkat nasional yang dianggap bergengsi mampu menaikkan nilai jual burung kicau hingga mencapai harga yang fantastis. Oleh sebab itu, tak jarang para pemain banyak yang menggantungkan nasib mereka dengan cara memelihara burung kicau untuk diperjualbelikan setelah berhasil menyabet gelar juara.

Berbicara mengenai kompetisi, salah satu legenda hidup yang sudah pernah menjuarai ajang bergengsi, seperti Paku Alam Cup dan Piala Raja Hamengku Buwono, dari Yogyakarta adalah cucak hijau milik Pak Sukirno. Beliau merupakan orang tua dari Mas Rizal. Cucak hijau miliknya yang diberi nama Marvel merupakan salah satu burung langganan juara. Bapak Sukirno mengaku bahwa cara merawat Marvel kurang lebih sama dengan pemilik burung lainnya. Alih-alih menggunakan obat-obatan ataupun vitamin khusus, Marvel diberi pakan organik oleh Pak Sukirno. Ia mengaku mengamati kebiasaan Marvel sehingga menemukan cara perawatan terbaik untuk menjadikannya burung juara. Marvel sendiri pernah ditawar hingga ratusan juta, tetapi Pak Sukirno menolak melepaskan burung kesayangannya tersebut.

Pak Sukirno sendiri sudah lama menggeluti gantangan manuk. Ia sudah memulai kegiatan ini semenjak tahun 1990-an. Saat ini beliau memang sudah tidak lagi aktif, tetapi gairah gantangan manuk ini kemudian menurun ke anak-anaknya. Tidak hanya sekedar memelihara burung kicau, jual beli dan juga sebagai pengelola acara untuk gantangan manuk menjadi kegiatan yang digeluti oleh anak-anaknya. Boleh dibilang, keluarganya menjadi salah satu dinasti gantangan manuk di Yogyakarta.

Panasnya kompetisi membuat para pemain kerap memberikan perawatan yang berlebihan. Banyak upaya kemudian dilakukan untuk membuat burung kicau mereka gacor. Sering kali mereka mencoba dengan cara-cara dengan memberikan obat-obatan kimia. Tidak jarang kemudian burung kicau stres ataupun sakit karena tidak cocok dengan obat yang diberikan. Terlebih jika burung mengalami sakit, hal ini kerap kali menjadi momok bagi para pemain. Penyakit-penyakit tertentu, seperti katarak pada kenari, bahkan tidak bisa disembuhkan. Ada juga penyakit lain yang dianggap parah tetapi sebetulnya masih bisa disembuhkan. Sering kali para pemain mencari cara untuk membuat burung mereka kembali sehat dengan membawanya ke dokter hewan ataupun orang-orang yang memang spesialis dalam menangani burung yang sakit.

Salah satu spesialis di Yogyakarta yang setiap hari mendapatkan pasien untuk merawat burung yang sakit dari para pemain adalah Sis Bayu Kusmardiono yang akrab disapa Om Bayu. Beliau mendapatkan julukan “Dokter Kenari”. Julukan ini didapatkan olehnya karena kepiawaiannya dalam menangani burung yang sakit, terutama kenari. Beliau bukanlah dokter hewan. Kemampuannya didapatkan dari mencari informasi secara otodidak, pengalaman, dan titen. Ia mengaku sebelum merawat burung milik orang lain, semua telah dilakukan dan dicoba terlebih dahulu kepada burung yang dipeliharanya. 

Om Bayu menjelaskan bahwa butuh ketelatenan untuk merawat burung yang sedang dalam kondisi sakit. Ada resep dan rumus tersendiri yang ia dapatkan dari pengalaman merawat burung bertahun-tahun. Dari sinilah Om Bayu juga menciptakan obat-obatan khusus hasil racikannya sendiri yang telah diuji coba ratusan kali sehingga menemukan komposisi yang pas. Semua resep itu disimpan rapi dalam memorinya sehingga sulit bagi orang untuk membuat resep yang sama. Obat tetes dan juga salep buatannya pun dibanderol dengan harga yang cukup terjangkau sehingga para pemain dari berbagai kondisi sosial ekonomi masih mampu untuk mengakses. Selain itu, untuk biaya perawatan, Om Bayu mengaku tidak mematok harga khusus. Hanya biaya obat saja yang memang paten, sedangkan untuk biaya perawatan, ia memilih untuk membiarkan para pemain membayar seikhlasnya. 

Namun, Om Bayu sendiri mengaku bahwa ia tidak selalu berhasil. Untuk kasus-kasus yang dianggap sudah sangat parah, ia mengaku tidak mudah untuk mengembalikan burung dalam keadaan sehat. Ketika burung para pemain yang dirawat di rumahnya kemudian tidak mampu diselamatkan, ia tidak menarik sepeser pun biaya perawatan pada mereka.

Om Bayu merupakan salah satu contoh yang lahir dari ekosistem gantangan manuk yang ternyata cukup luas. Belum lagi ketika berbicara soal pelengkap yang lain, misalnya sangkar burung. Banyak sekali produsen sangkar burung yang saat ini juga menerima pesanan dengan catatan khusus. Catatan pesanan tersebut, misalnya, berupa bentuk sangkar yang spesifik, ukiran pada sangkar, warna sangkar, ataupun membubuhkan nama burung pemesan pada sangkar yang dibuat. Para pembuat sangkar tidak sedikit yang mengakomodasi permintaan tersebut. Harga yang dipatok pun mencapai jutaan, bahkan puluhan juta rupiah untuk satu sangkarnya.

Selain itu, ada juga yang bahkan menjual perlengkapan-perlengkapan kecil, seperti wadah makan dan minum, kayu tempat burung bertengger di dalam sangkar, hingga tudung sangkar yang dibuat custom. Bahkan, untuk beberapa kompetisi besar seperti Piala Raja, misalnya, banyak sekali yang menjual kaos dengan atribut Piala Raja atau dengan desain burung. Tidak lupa, pada setiap kompetisi juga selalu dibagikan trofi untuk para juara dan itu pun banyak dibuat juga oleh para pemain yang ada dalam ekosistem gantangan manuk. Hal ini kemudian dilihat bahwa gantangan manuk dapat menggerakan roda perekonomian di banyak lini yang menguntungkan banyak pihak.

Namun, kegiatan ini juga bukanlah kegiatan yang tidak menghabiskan banyak waktu dan modal. Untuk merawat burung dan memberikan pernak-pernik yang warna-warni serta pakan yang baik, diperlukan biaya yang tidak sedikit. Karena para pemain sudah totalitas memberikan segalanya untuk burung milik mereka, tak jarang kompetisi dengan tensi yang tinggi tidak bisa dihindari.

Ekspresi tegang para pemain sebelum kompetisi dimulai, teriakan dari luar gantangan yang menyebut nama burung atau juri, kata-kata acak yang dilontarkan oleh pemain, luapan emosi ketika kalah dan sorak sorai gembira para pemenang, semua ini adalah pemandangan yang familiar ditemui jika Anda datang untuk menyaksikan gantangan manuk. Untuk bisa memahami dan merasakan lebih dalam, Anda bisa langsung datang pada saat kompetisi Piala Raja. Para pemain terbaik dan burung yang menjadi primadona dari seluruh Indonesia akan berkompetisi untuk menjadi yang terbaik. Ekspresi, tensi emosi, serta harapan dan asa para pemain yang tersaji akan menjadi pelengkap dramaturgi kompetisi yang tidak boleh dilewatkan.

Teks: Resa Setodewo
Foto: Kurniadi Widodo

Referensi

Iskandar, Johan & Iskandar, Budiawati S. 2015. Pemanfaatan aneka ragam burung dalam kontes burung kicau dan dampaknya terhadap konservasi burung di alam: Studi Kasus di Kota Bandung, Jawa Barat. Pro Sem Nas Masy Biodiv Indon, Volume 1, Nomor 4 Juli 2015, 747-752.

Jepson, Paul. 2008. Orange-headed Thrush Zoothera citrina and the avian X-factor. BirdingASIA 9 (2008), 58-60

Maria Wessels, Jacquie. 2018. Birdmen (daring). (https://www.jacquiemariawessels.nl/birdmen.html diakses pada 2 September 2022) 

Cerita Lainnya