Berbagi Ruang Lintas Generasi


Keluarga adalah institusi tertua yang paling ulet bertahan di dalam masyarakat. John DeFrain, seorang peneliti keluarga menyatakan bahwa sejak dulu, manusia sudah mengelompokkan diri menjadi keluarga untuk saling mendapat dukungan secara fisik, emosi, dan kolektif.

Tidak ada aturan baku mengenai komposisi keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Banyak yang memilih untuk tinggal hanya dengan keluarga inti setelah mereka menikah. Sementara sebagian yang lain memutuskan bahwa tinggal bersama dengan keluarga besar menjadi siasat terbaik untuk menjalankan kehidupan mereka saat ini. Terkadang kondisi ini terjadi begitu saja karena keluarga selalu bertumbuh dan bertambah, seperti siklus umumnya dalam masyarakat heteronormatif: anak-anak beranjak dewasa, menikah, lalu mempunyai anak.

Saya menemui sejumlah keluarga semacam itu di Yogyakarta: seorang anak perempuan yang tinggal di rumah kontrakan bersama ibu dan neneknya di Maguwo; sepasang oma dan opa yang tinggal bersama anak perempuan dan seorang cucu di rumah peninggalan keluarga di Tamansari; pasutri muda dan tiga anaknya yang tinggal bersama kedua orang tuanya di rumah yang baru mereka dirikan di Banguntapan; serta seorang nenek buyut, sepasang kakek nenek, seorang cucu perempuan, dan seorang cicit di rumah yang dulu dibelinya di tahun 1960-an di Blimbingsari. 

Seperti sebuah tim, setiap orang di dalam rumah-rumah tangga ini memiliki perannya masing-masing. Ada kakek yang menjaga cucu-cucu ketika ibunya bekerja. Ada nenek yang memasak untuk seluruh keluarga. Ada anak yang mencari nafkah untuk orang tuanya. Ada pembagian kerja-kerja domestik yang disepakati bersama, yang bukan semata dilekatkan berdasarkan gender. 

Relasi di antara anggotanya beragam dan transaksional, meski apa yang ditawarkan tidak selalu terukur dengan materi. Seorang ibu tunggal yang sudah bercerai dengan suaminya bercerita bahwa tinggal bersama keluarga besarnya adalah pilihan terbaik untuk saat ini. Anggota keluarga lain bisa menjaga anaknya sepulang sekolah ketika ia bekerja hingga pukul lima sore. Hal yang sama juga disampaikan oleh sepasang suami istri yang keduanya sama-sama bekerja. Keberadaan kakek dan nenek cukup krusial untuk mendampingi tiga anak mereka yang dua di antaranya masih balita, maupun dalam kerja-kerja domestik lainnya. Sesuai dengan pepatah it takes a village to raise a child, situasi berbagi ruang tinggal bersama keluarga besar seperti ini menyediakan dukungan fisik dan emosional yang dibutuhkan untuk membesarkan anak. 

Kesehatan fisik dan sosial, baik untuk lansia maupun orang yang lebih muda, rupanya bisa meningkat dengan situasi berbagi ruang tinggal seperti ini. Manusia dan kebutuhan sosialnya memang tidak selalu cocok dengan gambaran cara hidup modern: individualis yang tinggal sendiri. Kesepian merupakan salah satu kondisi yang bisa memengaruhi kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi. Ia juga bisa menjadi faktor yang berkontribusi untuk penyakit jantung koroner, darah tinggi, dan stroke.

Salah seorang nenek buyut bercerita kepada saya bahwa sendi lututnya sakit sejak lebih dari tujuh tahun silam yang membuatnya tidak bisa berjalan jauh dari rumahnya, sementara teman-temannya sudah duluan pergi satu persatu menghadap Yang Maha Kuasa. Kedua hal itu mengundang rasa kesepian walau beliau masih serumah dengan anak dan menantu. Namun ketika cucu dan cicitnya kembali pindah ke rumahnya, beliau mendapat peran baru: momong cicit sepulang sekolah yang dirasa cukup signifikan menambah interaksi sosialnya.

Keberadaan tiga hingga empat generasi dalam satu ruang tinggal bisa berfungsi sebagai metode pewarisan nilai-nilai sosial dan budaya. Sosialisasinya mewujud melalui interaksi antargenerasi yang secara terus menerus terjadi. Meski begitu, sewajarnya, konflik terkadang tidak bisa dihindari. Alih-alih pindah, mereka meramu cara untuk menyelesaikannya. "Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah" kata seorang ibu yang saya temui pekan lalu sambil tersenyum. Keputusan untuk memilih tinggal bersama keluarga besar memang tidak selalu mudah sehingga perlu upaya kolektif untuk membuatnya menyenangkan dan berhasil.

Di balik kisah keluarga-keluarga yang berbagi ruang tinggal, keterbatasan akses dan sumber daya untuk memiliki rumah sendiri termasuk salah satu dari sekian alasan untuk tinggal bersama. Indeks harga properti di Yogyakarta meningkat sepanjang tahun, sementara peningkatan UMR tidak signifikan nilainya. Membeli tanah yang jauh dari kota demi harga yang jauh lebih murah justru akan menyulitkan karena berarti juga makin jauh dari tempat kerja. 

Menghadapi masalah hunian serupa, co-living kemudian diajukan menjadi salah satu solusi akomodasi yang terjangkau dan berkelanjutan di kota-kota besar di negara maju. The Generations Block di Helsinki, Finlandia contohnya: orang-orang multi generasi tinggal di satu tempat yang sama, menawarkan ruang-ruang komunal untuk berbagai macam aktivitas. Kondisi ini memungkinkan terjadinya kehidupan intergenerasional dan timbulnya rasa guyub dalam sebuah komunitas yang beragam.

Praktik berbagi ruang tinggal telah dilakukan sejak puluhan ribu tahun yang lalu dalam kehidupan manusia, aransemennya saja yang selalu variatif dan mengadaptasi situasi zaman. Keluarga-keluarga di atas memberi gambaran hidup hari ini, salah satu pijakan untuk membayangkan bagaimana kemungkinan bentuk-bentuk praktik co-living di Yogyakarta di masa depan.

Teks & Foto: Azka Amalina

Asisten fotografer: Amalya Purnama, Firdaus Akmal

Cerita Lainnya