Membaca Nalar Kebendaan Di Jawa: Kritik Artefak Hingga Tata Kota?

Benda sebagai objek piranti atau perangkat pemenuhan kebutuhan sehari-hari manusia, merentang dari ukuran kecil hingga ukuran besar, sehingga ia berkaitan dengan kebutuhan teknologis yang bersifat personal (piranti sandang dan pangan) hingga kebutuhan yang bersifat jamak, seperti infrastruktur (bangunan, jalan raya, jembatan, moda transportasi, pemancar, radio, telepon, televisi, satelit, komputer, telepon genggam/gawai dst).

Ketika membicarakan dan mempersoalkan benda dan kebendaan di Yogyakarta, tentu kita mencoba melampaui batasan-batasan baik tangible dan intangible–yang masih menjadi bagian dari aset dalam logika ekonomi, misalnya mendudukkan intangible sebagai non-monetary asset sedangkan tangible berarti sebaliknya–maupun kotak-kotak kaku perundangan, agar menemui kemungkinan-kemungkinan lintas.

Dalam rangka itulah, kami mulai mengindikasikan beberapa kecenderungan, diantaranya:

Kecenderungan pertama, adalah dalam pola determinasi benda. Misalnya tampak didominasi koleksi dan pencatatan benda arkeologis masa kuno, antara zaman prasejarah hingga Hindu-Budha. Misalnya Menhir, yang tercatat ada di beberapa tempat, termasuk di Museum Sonobudoyo.

Kecenderungan kedua, kasus ketidaksepahaman pengkoleksian dan pencagaran yang dilakukan negara dengan yang dilakukan masyarakat. Bahkan dalam satu kasus, terdapat ketakutan warga negara Indonesia untuk menentukan ranah-ranah baru warisan budaya di luar usulan para konsultan asing, kebanyakan Belanda. Sementara, pada kenyataanya konsepsi warisan budaya yang dipungut dari Barat juga tampak sesekali berbenturan dengan mentalitas adat nenek-moyang, terkait tangible dan intangible yang menuntut agar warisan budaya dipraktikkan, dan bukan dimuseumkan sebagaimana ketentuan-ketentuan ala impor dari Barat.


Oleh karenanya pembicaraan masalah benda dan nalar kebudayaan kita hingga legitimasi kuasa menjadi kemendesakan. Wicara kali ini, FKY secara khusus berencana mengundang mulai dari ahli kajian arsitek, budaya tata desa-kota, yakni Marco Kusumawijaya, ditambah sengaja menghadirkan peneliti yang concern pada isu arkeologi yakni Sinta Ridwan, sehingga menyangkut persoalan sengkarut logika pencatatan, pengarsipan, pengkoleksian, pemaknaan baik warga maupun elit berikut negara. Melalui pemaparan dua subjek ahli tersebut, diharapkan mampu terbahas persoalan benda-benda atau kebendaan, hingga situs-situs budaya di nusantara secara luas, dengan kaitannya pada persoalan praktik kekuasaan yang terjadi dalam sejarah Indonesia, atau khususnya Jawa hingga kini. Wicara ini akan dipandu oleh redaktursenirupa.id, Adhi Pandoyo.

Agenda Terkait
Minggu, 13 Oktober 2024
13.00 - 17.00
FKY Rembug - Wicara
Membaca Nalar Kebendaan di Jawa: Kritik Artefak hingga Tata Kota?
Pembicara:
Marco Kusumawijaya
(Arsitek, dan Sejarawan, Pendiri Rujak Urban Studies)
Sinta Ridwan
(Filolog dan Paleograf, Mahasiswi Doktoral Arkeologi UI)

Moderator:
Adhi Pandoyo (Redaktur senirupa.id)

13.00 - 14.00 Mengunjungi Museum Pleret
14.00 - 16.00 Wicara di Gerbang Pleret