Re-turning to Our Backyard



Dholly Husada & Timbil Budiarto

Video dan Foto

2021

Re-turning to Our Backyard (Kembali ke Halaman Belakang Kita) adalah proyek yang dikembangkan oleh Dholly Husada dan Timbil Budiarto ketika mereka sedang giat mengolah kebun belakang di kantor Kunci, sebuah perpustakaan dan kelompok riset seni di Yogyakarta. Dholly dan Timbil mengolah halaman belakang yang tidak terurus sebelumnya menjadi sebuah kebun, di mana ada kehidupan harmonis antara tanaman, binatang, dan manusia. Tidak hanya bercocok tanam, mereka pun menginisiasi kegiatan diskusi dan lokakarya sehingga kebersamaan dan pengetahuan kolektif turut tumbuh di kebun ini. Keempat video ini merupakan dokumentasi proses kerja dalam proyek Returning to Our Backyard. Dalam teks di bawah ini, Dholly menceritakan proses kerjanya serta refleksinya mengenai apa artinya kembali ke kebun di masa yang serba (dipaksa) cepat.

Bau Tanah Sehabis Hujan di Bulan Desember 2020

Aneka tanaman semak tumbuh liar pada lahan tidur di belakang rumah tua. Ada juga pohon rambutan, alpukat, kelengkeng, dan juga pisang kojo yang berbuah tapi tidak terlalu bagus, tidak tahu apa penyebabnya. Lahan tidur berpagar kayu jati belanda yang berwarna pink, entah apa pula maksud pemilihan warna tersebut. Memasuki lahan, luasnya terbilang lumayan untuk ukuran di Kota Yogyakarta yang kian lama kian berdesak-desakan dengan perumahan dan menjamurnya hotel, hostel, dan guesthouse

Aku menyibak pelan-pelan tanaman semak, perdu, gulma, dan rumput liar setinggi lutut. Pelan-pelan masuk lebih dalam ke lahan, aku melihat dua kolam yang saat itu bukan berisi air dan ikan. Timbunan daun, ranting, kayu, sampah plastik, besi, dan pecahan botol menyatu mengisi kolam dengan warna hitam pekat. Ini tanda bahwa mereka sudah bertahun-tahun terbaur menjadi satu. 

Pada ujung sisi sebelah barat laut terdapat kandang ayam tak terpakai yang menempel pada sebuah tembok kamar mandi berlumut. Berputar ke sana ke mari sambil mengamati sisi bagian bawah di antara semak-semak dan gulma liar, terdapat genting yang tersusun rapi sebagai bedengan untuk bercocok tanam. Usut-usut punya usut, ada sekelompok orang yang memanfaatkan lahan tersebut sebagai kebun bersama. Sayangnya, kebun tersebut tidak diteruskan sejak setengah tahun yang lalu sehingga lahan pun kembali menjadi liar. 

Kami, aku dan Timbil, memutuskan untuk bekerja di kebun ini dengan pendekatan permakultur. Modal kami adalah pengetahuan dari buku teks, tanpa pengalaman bercocok tanam langsung di tanah dengan kompleksitas ekosistemnya. Menurut salah satu pencetusnya, Bill Mollison, permakultur adalah ilmu tentang merancang tempat tinggal dengan mengintegrasikan iklim mikro, tanaman, binatang, tanah, pengelolaan air, dan kebutuhan manusia sehingga menjadi komunitas produktif yang saling mendukung.

Seiring waktu berjalan dan berdasarkan pembacaan lingkungan, kami membuat sebuah rancangan kebun yang menghubungkan manusia, ternak/hewan, ikan, serta segala elemen lainnya yang hadir dalam lahan, seperti iklim, arah, angin, tumbuhan, tanah, air, dan matahari. Di tengah proses pengerjaan kebun, kami pun mendapat undangan untuk mengikuti program residensi jarak jauh yang digagas oleh do a front, sebuah organisasi seni di Yamaguchi, Jepang. Dalam kerangka proses residensi ini pula, kami menghubungkan proses pengerjaan kebun dengan amatan kami atas banyaknya lahan tidur, lahan di depan atau belakang rumah yang tidak dimanfaatkan secara maksimal. Proyek Returning to Our Backyard (Kembali ke Halaman Belakang) pun lahir.


Returning to Our Backyard merupakan sebuah medium untuk mengenali lagi secara lebih intim ruang belakang (pekarangan) rumah yang lama tak diacuhkan. Ruang itu menjadi suwung tak terjamah, terlantar dan terabaikan oleh penghuninya. Returning to Our Backyard juga menjadi medium untuk mengenali sebuah esensi tanah, air, udara, api, dan organisme dalam konteks berkebun alami maupun konteks yang lain. Sekaligus, medium yang mempertemukan serta meramaikan tepian-tepian yang saling beririsan. Ruang bermain, belajar, dan bekerja sama antarsesama yang mempunyai ketertarikan dalam mengelola kebun hingga menjadikan sebuah kebun komunal.

Demi Menjaga Kesehatan Mental

Berkebun ini menjadi sarana untuk bermeditasi, yoga, atau apa pun istilahnya, memberi jarak pada dunia pascamodern yang mengkondisikan setiap orang menjadi pembalap dalam sirkuit kecepatan. Hidup dalam “sirkuit kecepatan” menumpulkan jaringan kerja saraf otak, melemahkan daya konsentrasi, mengurangi kesadaran bersosialisasi, serta membuat tak semakin pintar. Arus kecepatan tak memberi waktu jeda untuk merefleksikan peristiwa-peristiwa hidup yang telah terjadi. Tidak ada waktu jeda untuk memahami sebuah makna dari peristiwa yang terjadi. Menikmati atau bermain-main dalam kerja mulai hilang, digantikan dengan kerja yang tegang, stres di bawah tekanan deadline.

Sudahkah anda woles hari ini atau minggu ini? Sudahkah anda tidak produktif? Woleslah sejak dalam pikiran karena air hujan masihlah air yang milik orang lain. Bukankah leluhurmu pernah bilang “alon-alon asal kelakon”?

Cerita Lainnya