Kekeringan atau Langka: Menelusuri Infrastruktur Air di Gunungkidul

Catatan ini adalah ringkasan dari riset lapangan yang dilakukan oleh Irsyad Martias selama sembilan bulan di wilayah Karst Gunungsewu di Gunungkidul (Maret 2021-Desember 2022).

Seperti sudah menjadi agenda tahunan, pada pemuncak musim kemarau (Agustus-September), beberapa media daring serentak menarasikan dan memotret kesusahan warga dalam mengupayakan kebutuhan air, mulai dari ngangsu dari sumber atau telaga terdekat, membeli air tangki dengan harga yang mahal, hingga kepasrahaan mereka menunggu dropping air atau bantuan air dari berbagai macam pihak. Berdasarkan mesin pencarian Google, kata kunci Gunungkidul dan kekeringan menghasilkan 6.110 temuan berita.

Kehadiran BPBD Gunungkidul semenjak pascagempa di Yogyakarta tahun 2006 seperti turut menjustifikasi bahwa wilayah Karst Gunungsewu merupakan wilayah rawan kekeringan.

Lumrah diketahui, mitigasi kebencanaan ditempuh dengan menganggarkan dropping air di wilayah terdampak, dan saya juga menyaksikan hilir-mudik truk tangki BPBD pada pemuncak musim kemarau.

Pada awalnya, saya berasumsi bahwa penetapan bencana kekeringan berlandaskan kajian terhadap kerusakan sumber mata air atau telaga akibat deforestasi. Ternyata, asumsi tersebut keliru. Cukup mengagetkan, peta status rawan bencana kekeringan ternyata mengacu pada wilayah yang belum atau tidak optimal mendapat pelayanan Sambungan Rumah (SR) dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Handayani Gunungkidul, terutama di wilayah perbukitan Karst Gunungsewu. 

Dengan demikian, saya berpendapat bahwa sorotan media dan penetapan daerah rawan bencana kekeringan membentuk persepsi kita, sebagai orang awam, bahwa kekeringan di wilayah perbukitan Karst Gunungsewu merupakan keniscayaan karena faktor alam. Kita luput memahami keberadaan fakta bahwa wilayah karst di Gunungkidul menyimpan potensi sumber daya air sungai bawah tanah (SBT) yang begitu melimpah. Paling tidak, berdasarkan dokumen Rencana Induk Sistem Penyediaan Air Minum (RISPAM) Kabupaten Gunungkidul (BAPEDDA, 2017), dapat diketahui potensi dari empat SBT besar yang meliputi Baron (800 lt/dt), Bribin (750 lt/dt), Ngobaran (180 lt/dt), dan Seropan (950 lt/dt) secara total mencapai 2.680 lt/dt. Para ahli telah berhitung bahwa potensi SBT tersebut dapat menjamin ketersediaan air sepanjang tahun. 

Hal ini bukanlah temuan baru. Eksplorasi SBT di dalam sistem perguaan mulanya diinisiasi oleh survei MacDonald & Partners (1984). Pada masa selanjutnya, para komunitas susur gua dan organisasi pecinta alam dari universitas juga mengambil andil dalam menginventarisasi potensi hidrologis wilayah Karst Gunungsewu. Dalam ranah kajian akademik, para akademisi Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM) sejak tahun 2004 sangat produktif meneliti dan memublikasikan tema-tema geohidrologi karst. Perlu digarisbawahi pula, berdasarkan potensi air SBT tersebut, sejak tahun awal 1980-an hingga pertengahan 2000-an, infrastruktur air skala masif, seperti pipa, reservoir, dan pompa yang kemudian dikelola PDAM secara bertahap dibangun dengan mayoritas menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan beberapa dana hibah.

Di sini, kita perlu mengingat kembali seperti apa yang telah ditulis oleh Yuwono dan Haryono (2003) bahwa wilayah karst di Gunungkidul bukanlah daerah kering, melainkan sebuah lumbung air. Lantas, kata yang tepat untuk mendeskripsikan kesulitan warga akan kebutuhan air di wilayah ini adalah “langka”. Saya mengajukan premis bahwa kelangkaan air tidak terbatas pada aspek kuantitas atau ketersediaan semata, tetapi juga mengacu kepada aksesibilitasnya, baik dalam dimensi politik, ekonomi, ekologi, dan teknologi.

Di sisi lain, pembangunan infrastruktur pendukung pariwisata terus bertumbuh. Apakah mungkin membangun industri pariwisata di wilayah miskin air atau kering? Oleh sebab itu, untuk memahami kelangkaan air di wilayah ini, saya mencoba merunut bagaimana cara air didistribusikan? Apa kendalanya dan bagaimana respon masyarakat?

Membangun Desa Hidraulis dan Perubahan Budaya

Untuk menelaah permasalahan di atas, saya mengajukan konsep “desa hidrolik”. Konsep ini mengacu kepada sebuah usaha negara dan aktor-aktor pembangunan lainnya dalam mengekstraksi potensi air, membangun infrastruktur air, dan mendistribusikannya kepada masyarakat. Seperti yang telah dijelaskan oleh Tania Murray Li (2012) di dalam bukunya The Will to Improve, program pembangunan memiliki tujuan yang mulia dan cenderung utopis, bahkan ambisius. Maka, pada pelaksanaanya selalu terjadi salah perhitungan dalam melihat relasi sosial dan keanekaragaman lingkungan yang menyebabkan tereksklusinya kelompok masyarakat tertentu dalam mengakses sumber daya. Di samping itu, proyek infrastruktur selalu mengambil bentuk sebagai “janji” negara dan “harapan” masyarakat atas kehadiran negara (Appel, Anand, dan Gupta, 2018).

Kehadiran infrastruktur juga dapat menjelma menjadi orkestrasi pembangunan. Perwujudan mereka sebagai janji negara dapat disaksikan warga masyarakat dan turut memodernisasi kehidupan masyarakat desa.

Saya menelusuri jaringan pipa transmisi PDAM yang membentang di sisi jalan raya. Di beberapa lokasi, ia terbenam di tanah lalu muncul di pusat keramaian, seperti pasar dan permukiman. Di banyak tempat, ia membelok dan mendaki bukit demi mendapatkan gaya gravitasi untuk mengirim air kepada pelanggan. Mengacu kepada peta perencanaan pelayanan sumber air SBT, tampak upaya negara untuk memperluas jangkauan pipa ke seluruh penjuru wilayah Gunungkidul. Wilayah paling utara mencapai daerah Jurang Jero di Kecamatan Ngawen; sebelah timur menjangkau beberapa kecamatan, seperti Ponjong, Rongkop, dan Girisubo yang berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah; dan Kecamatan Purwosari di wilayah sisi barat.

Dapat dikatakan bahwa program “pipanisasi” ini tidak kalah semaraknya dengan pembangunan jalan yang sama-sama menyita perhatian masyarakat. Gema pembangunan infrastruktur ini memberikan kabar baik dan harapan. Di Desa Petir, Kecamatan Rongkop, Manto membagikan kisahnya, “Orang tua saya bersama teman-temannya sangat bersemangat untuk menyaksikan Pak Harto meresmikan Bribin, tapi ternyata Pak Harmoko yang datang.” 

Masih lekat di ingatan Pak Aris, warga Desa Bedoyo, pascapembangunan pipa air dari SBT Seropan pada akhir 1990-an, warga dibujuk untuk berlangganan air PDAM dan dihimbau tidak mengonsumsi air telaga karena alasan kebersihan. Di pertengahan tahun 2000-an, seluruh warga Desa Bedoyo dapat menikmati layanan air PDAM 24/7. “Dulu sebelum ada PDAM, ngambil air dan mandi, kita harus berjalan ke Telaga Waluyo. Airnya memang keruh karena telaga juga untuk mandi sapi. Sakit perut kadang-kadang pasti pernah. Yang sering gatal-gatal, tapi itu sudah biasa, tapi dulu waktu saya kecil kan belum tahu apa penyebabnya,” terang Pak Aris.

Sekarang pada musim kemarau telaga ini mengering, sementara dahulu persediaan air mampu bertahan sampai musim hujan datang. “Kenapa, ya, mengering? Mungkin karena kita tidak pernah tilik telaga, karena air tinggal putar keran di rumah. Tidak pernah ada nyadran dan bersih telaga, jadi luweng-nya (jalan airnya) tidak pernah dirapetin lagi. Gotong royong di telaga hanya formalitas,” kata Pak Aris. Seperti yang ditekankan mentor lapangan saya, Eddy Patmo, penggagas Komunitas Resan Gunungkidul, bahwa tidak dipungkiri PDAM memberikan kemudahan akses air kepada masyarakat, tetapi di sisi lain mereka tercerabut dari tradisi dan ritual yang berfungsi untuk menjaga kelestarian air.

Infrastruktur Mangkrak, Akses Tersendat

Salah satu infrastruktur purwa yang berhasil saya catat adalah pompa kincir angin di Desa Pacarejo, Kecamatan Semanu.

“Sebelum PDAM masuk, dulu pernah ada pompa kincir dibangun pada masa Pak Soeharto, sekitar tahun 80-an. Dulunya untuk membagi dua pedukuhan, tapi sayangnya salah satu pedukuhan yang letaknya lebih tinggi selalu tidak kebagian air. Jadi, warga di sana protes dan lama-lama jadi musuhan. Akhirnya, demi menjaga kerukunan, kincir ini tidak lagi digunakan lagi dan akhirnya rusak,” kenang Mas Wid.

Di Dusun Klumpit, Ponjong, sebuah dusun yang baru saja terkoneksi jaringan SR PDAM pada 2019 silam, warga menunjukkan sisa-sisa fondasi Solar Water Pumping System (SWPS) atau pembangkit listrik tenaga surya untuk pengangkatan air di Gua Gilap. Infrastruktur ini dibangun tahun 1987 ketika B.J. Habibie menjabat sebagai Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan mendapat dukungan dana hibah dan pendampingan teknis dari pemerintah Jepang. Saya mencatat bagaimana kerumitan dan dilema yang harus dihadapi warga dalam mengelola dan merawat SWPS. “Tenaga surya itu nggak lama umurnya, cuma tiga tahun. Waktu itu, satu pikul biaya tarikannya 25 perak. Terus rusak dan warga sini tidak ada yang bisa memperbaiki. Lama-lama peralatannya jadi rusak,”kata Pak Jarwo, seorang warga yang menjadi kuli angkut proyek panel surya Gua Gilap.

Di tempat lain, saya juga mencatat keluhan warga tentang rumitnya mengelola SWPS. Setidaknya, ada dua SWPS mangkrak, masing-masing di Desa Giriharjo, Panggang dan di Desa Purwodadi, Tepus. Kedua infrastruktur percobaan ini dibangun melalui proyek penelitian akademisi Fakultas Teknik UGM lewat program Kuliah Kerja Nyata (KKN). “Panel surya berjalan dua tahun. Sekitar tahun 2014, pompanya kehilangan daya dan lama-lama rusak. Sudah kami sampaikan ke UGM dan dilihat sama mas-mas KKN-nya. Katanya, harus diteliti lebih lanjut, tapi setelah itu tidak ada kabar lagi. Saya sendiri tidak bisa memperbaiki karena tidak ada pelatihan teknisnya. Saya hanya diingatkan untuk selalu mengelap panelnya supaya tidak kotor,” kata juru pelihara WSPS. 

Seperti apa yang dijelaskan Graham dan Thift (2007) dalam Out of Order: Understanding Maintenance and Repair bahwa tidak semua komoditas modern gampang diperbaiki karena proses fabrikasi menyembunyikan, mengunci, dan menyegel komponen-komponen penting supaya sukar dibongkar. Jikalau berhasil diperbaiki, hal itu pun hasil coba-coba (trial and error) atau improvisasi para teknisi terlatih yang telah menginvestasikan waktu dalam mengamati bagaimana alat tertentu bekerja. Waktu untuk mengamati itulah yang tidak dimiliki juru pelihara. Meskipun dia sedikit paham tentang elektronika dasar, tetapi dia mencurahkan banyak waktu untuk bertani dan bekerja sebagai kepala dukuh.

Infrastruktur mangkrak yang cukup mencuri perhatian saya adalah bendungan SBT Sindon yang dikelola Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BWSO). Proyek dan rancangan infrastruktur ini dibangun berdasarkan studi panjang akademisi Karlsruhe Institute of Technology dari Jerman yang mengusung tema Integrated Water Resources Management (IWRM) for Java in Indonesia. Penempatan bendungan di SBT Bribin sedalam 104 m di bawah tanah ditujukan untuk menggerakan turbin dan memompanya ke reservoir dan jaringan pipa PDAM di permukaan. Dengan kata lain, infrastruktur tersebut sangat berbeda dengan aset PDAM lainnya yang menggantungkan asupan energi dari listrik dari PLN. Sayangnya, infrastruktur inovatif rusak diterjang Badai Cempaka tahun 2017 dan belum kunjung dibenahi. Untuk menggali mengapa proyek ini berlarut-larut mangkrak, saya bertanya kepada Pak Solihin, Dosen Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), anggota peneliti yang juga terlibat dalam kajian SBT Sindon KIT. “Mulanya itu memang rusak. Setelah kejadian Cempaka, saya masuk ke sana. Tidak sebegitu parah, pipanya saja yang rusak. Sebenarnya, kalau segera dibenahi, tidak mangkrak lama. Tapi, harus menunggu lama karena proyek pengerjaannya tidak boleh penunjukkan langsung. Jadi, harus ditenderkan dan baru bisa diperbaiki anggaran tahun depannya. Karena lama, kerusakan menjalar ke mana-mana,” Pak Solihin menjelaskan.

Seorang teman saya yang berprofesi sebagai penelusur gua juga menjelaskan bahwa di tahun berikutnya, pemenang tender kebingungan bagaimana cara memperbaiki kerusakan karena mereka bekerja tanpa dibekali detail engineering design. Tidak cukup sampai di situ, saya menelusuri seberapa jauh dampaknya terhadap pelayanan PDAM Unit Tepus Cabang Bribin. Pak Sukir, Staf Distribusi PDAM, menjelaskan bahwa mereka kehilangan debit air yang sangat signifikan dan menyebabkan semakin runyamnya jadwal penggiliran di beberapa wilayah kerjanya, terutama pada musim kemarau. Graham dan Thift (2007) menjelaskan bahwa perbaikan infrastruktur selalu dipengaruhi oleh dinamika aspirasi publik, proses politik, dan birokrasi. Jadi, semakin rumit prosesnya maka semakin lama pula suatu infrastruktur dibenahi. 

Belajar dari Appel dkk. (2018) dalam Temporality, Politics, and the Promise of Infrastructure, dinyatakan bahwa ada relasi afeksi yang terbentuk antara manusia dan infrastruktur. Saya juga merasakan bagaimana pemukim di wilayah perbukitan Desa Petir, Rongkop, kecewa terhadap mangkraknya rumah pompa di desa mereka. Ribut, warga Desa Petir, mengatakan bahwa apabila rumah pompa berbunyi, pertanda air datang dan lancar. Namun, sejak rumah pompa ini mangkrak sekitar tahun 2009, air tidak mengalir secara optimal dan sulit menebak kapan waktu kedatangan air. Istilah mangkrak adalah bahasa sehari-hari warga yang didasari oleh pengamatan, pengalaman, dan perasaan ketika infrastruktur berhenti melayani kebutuhan mereka.

Di tempat lain, saya menemui staf perencana PDAM. Pengalamannya dalam mengelola air, baik dalam segi teknis dan ekonomis, membentuk perspektif yang berbeda. Dia menerangkan bahwa beberapa rumah pompa sengaja dinonaktifkan sebagai upaya efisiensi penggunaan listrik dan solar yang menelan biaya besar. Dia juga menerangkan bahwa penempatan rumah pompa di beberapa wilayah merupakan skema lama untuk mendorong air ke permukaan tinggi sebelum PDAM Cabang Bribin menggunakan pompa berdaya besar (93 kw) yang dipasang di dekat intake Bribin. “Jadi, sekarang hanya sekali dorong, tidak perlu estafet dua sampai tiga kali seperti dulu. Ini adalah salah bentuk improvisasi kami dan respon kemajuan teknologi,” beliau menjelaskan. Seperti yang tertulis dalam The Future in Ruins: Thoughts on the Temporality of Infrastructure, Gupta (2018) berpendapat, “Infrastruktur adalah proyek yang tidak akan pernah selesai. Wujudnya seperti jaringan yang dapat tumbuh juga mati secara organik. Di berbagai tempat, infrastruktur dibangun, ditambah, diperbaiki dan menjadi harapan. Namun, di tempat lainnya, ia dimatikan karena tidak layak, ketinggalan zaman, atau rusak dan berujung pada kekecewaan publik. Infrastruktur bertumbuh di luar rencana dan pengetahuan penciptaannya, tapi dia merupakan proses hasil tambal sulam aspirasi, harapan, dan kekecewaan publik.”

Berdasarkan dokumen RISPAM, dapat diketahui bahwa PDAM Tirta Handayani Gunungkidul mencapai 45.260 SR rumah yang meliputi 17 dari 18 kecamatan. Akan tetapi, saya mencatat belum seluruh pelanggan terlayani dengan baik di banyak tempat, terutama di daerah perbukitan, seperti di Kecamatan Girisubo, Rongkop, Tepus, Tanjungsari, Panggang, Paliyan, Purwosari, Nglipar, Saptosari, dan Ngawen. Bahkan, banyak pelanggan PDAM di wilayah tersebut mengeluhkan penggiliran air, terutama pada musim kemarau. Dalam seminggu, air PDAM hanya mengalir dua hari. Dalam jangka waktu tersebut, masyarakat harus memfungsikan bak penampungan air hujan mereka (5.000–6.000 lt) untuk menampung air PDAM. Terlebih lagi, banyak pelanggan PDAM di Kecamatan Panggang tidak mendapatkan air selama berminggu-minggu, bahkan sebulan. Dalam situasi seperti ini, mereka harus belanja air seharga 150.000–200.000 rupiah untuk mendapatkan 5.000 lt air. Untuk rumah tangga yang beranggotakan empat orang, air habis rata-rata dalam dua minggu. Perlu dicatat, wilayah di atas dikategorikan sebagai wilayah bencana kekeringan.

Merespon permasalahan tersebut, seorang staf distribusi PDAM Cabang Ngobaran-Baron mengatakan bahwa permasalahan tersebut disebabkan oleh rendahnya debit di reservoir utama karena alur estafet air yang sangat panjang dari sumber utama di Baron. Seharusnya, musim kemarau adalah musim panen PDAM mendapatkan untung karena permintaan air melonjak, tetapi dalam situasi seperti ini mereka justru merugi. Dalam hal ini, pengeluaran untuk produksi air lebih besar dari pemasukan. Paling tidak, setiap bulannya PDAM harus belanja listrik ke Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebesar 1,5 milyar rupiah. Perlu enam tahap pemompaan untuk menghantarkan air ke reservoir tertinggi yang menyebabkan penurunan debit air secara drastis, juga kebutuhan air pelanggan pada musim kemarau yang meningkat, tetapi persediaan tidak dapat memenuhi. “Produksi kami tidak dapat memenuhi permintaan. Kami telah mengupayakan bagaimana air dapat dibagi secara adil dan merata. Meskipun kami sudah menghentikan sementara aliran pelanggan di dataran rendah, mengawal air ke dataran tinggi sangat sulit karena rendahnya tekanan.” staf tersebut menjelaskan.

Tidak jauh dari HEHA Ocean View, di sepanjang JJLS Panggang-Purwosari, saya menemukan pipa mangkrak kurang lebih 4-5 km. Di sebagian tempat, ada pipa yang terputus.

Saya tetap melanjutkan penelusuran pipa ini. Sampai di suatu titik, pipa distribusi ini berbelok ke Desa Giripurwo, Kecamatan Purwosari. “Pipa ini hanya sekali terisi air ketika uji coba sekitar tahun 2000-an, tapi habis itu tidak pernah,” ujar Pak Agus yang menjabat sebagai Ulu-Ulu (pamong kelurahan dalam bidang pembangunan dan kemakmuran). Dahulu, selama bertahun-tahun, warga menyaksikan proyek pipa masuk desa dan menantinya sampai selesai. Setelah pengerjaan pipa selesai, hampir seluruh warga dengan senang hati pasang meteran. Malangnya, setelah masa percobaan, air selalu mati dan tidak pernah bisa digunakan. Persoalan yang lama belum usai, muncul proyek baru, yaitu pengangkatan air sumber Bekah yang berada di wilayah desa mereka.

“Sudah dari 10 tahun yang lalu diusulkan, tahun 2021 ini dikerjakan. Semoga airnya bisa ngalir ke sini,” harap Pak Agus. Pada bulan November 2021, saya menyaksikan para pekerja proyek di Bekah masih belum tuntas memperdalam sumber air bawah tanah. Pengerjaan kedua reservoir juga belum selesai meski beberapa jaringan pipa sudah ada yang tersambung di bahu jalan JJLS. 

Pembangunan JJLS di Panggang juga menginterupsi distribusi air di wilayah ini. Pengerjaan pelebaran JJLS beberapa tahun belakangan memaksa PDAM untuk memindah, memotong, dan mengganti jaringan pipa. “Ini sudah menjadi kegiatan kami sehari-hari dan tidak pernah berhenti, satu jaringan pipa sudah berhasil diperbaiki, tapi di bagian lain terkena dampak dah harus segera dibenahi. Jelas ini berdampak terhadap pelayanan kami,” jelas Staf Distribusi PDAM Unit Panggang. Di Desa Girikarto, Panggang, beberapa warga mengeluh bahwa aliran air PDAM tidak dapat diprediksi. “Misalnya, semalam nyala sebentar, tapi paginya mati. Matinya bisa sampai mingguan. Pernah air mengalir tidak lebih dari 24 jam,” keluh Pak Tar. Banyak dari warga yang memutuskan berhenti berlangganan karena ketidakpastian dan merasa rugi karena harus tetap membayar tarif air dasar sebesar Rp47.000,-/10 m³. Sebagian besar dari mereka beralih membeli truk tangki dengan harga yang mahal, tetapi lebih pasti.

Di Jalan Ngawen-Karangmojo, saya mencatat ada 5–6 km jalur pipa mangkrak yang terhubung dengan sistem SBT Seropan. Skema awalnya, pipa ini berfungsi untuk mengisi reservoir Jurang Jero. “Ini merupakan museum pipa terpanjang di dunia. Sejak dibangun, pipa ini selalu kosong,” kata Pak Jayus. 

Untuk mendapatkan opini yang berbeda, saya menyempatkan berdiskusi dengan staf perencana PDAM. Pendek kata, dia menyadari di beberapa tempat terdapat pipa kosong. Kemudian, dia menjelaskan bahwa rancangan jaringan pipa terdahulu dipersiapkan untuk hidran umum, bukan untuk SR. Ia menyatakan, “Jika peruntukannya untuk SR, kemungkinan debit air tidak mencukupi.” Pernyataan ini mengingatkan gagasan Gupta (2018) yang menjelaskan bahwa infrastruktur selalu dibangun melebihi kebutuhan masa sekarang karena ia dipersiapkan untuk melayani kebutuhan masa depan. Namun, kebutuhan masa depan selalu sulit diprediksi karena ia tercipta dari faktor-faktor “x” yang tersembunyi di balik peristiwa politik, dinamika sosial, fluktuasi pasar, dan ketersediaan sumber daya alam. Dalam kasus ini, infrastruktur air mangkrak merupakan kegagalan mengantisipasi kebutuhan masa depan, seperti ketergantungan energi listrik untuk distribusi air, keterbatasan teknologi, pertumbuhan penduduk, dan paradigma hak warga atas air.

Epilog: Air Hujan yang Disyukuri Air Politik yang Dituntut

Pada puncak musim kemarau di bulan Agustus, Pak Sukiran mengajak saya ke ladangnya yang tidak jauh dari rumahnya di Desa Balong, Kecamatan Girisubo. Sore itu, setibanya di sana, dia mencabut beberapa pokok singkong sebagai oleh-oleh untuk saya. Bagi Pak Sukiran dan beberapa petani lahan kering di wilayah Karst Gunungsewu, musim kemarau mungkin tidak serta-merta dianggap sebagai bencana kekeringan. Barangkali bencana kekeringan juga merupakan produk politik wacana. 

Bagi petani, mangsa katiga ditandai dengan minimnya curah hujan dan tanah perladangan retak-retak. Masa ini adalah momentum yang tepat untuk memanen ketela. Jika terus diguyur hujan, ketela mereka menghitam dan harga jualnya akan turun. Mangsa katiga juga membentuk pola hidup hemat bagi petani, terutama untuk pemakaian air.

“Air di PAH harus diawet-awet pemakaiannya, untuk mandi dan minum juga untuk ternak, sudah dihemat-hemat juga pasti habis,” kata Pak Sukiran.

Dengan kata lain, absennya air hujan di bumi merupakan siklus hidrologis ciptaan Tuhan yang harus disyukuri dan dapat dijelaskan dalam konsep pranata mangsa sebagai panduan hidup, atau mungkin air hujan merupakan penantian dan berkah illahi. Oleh sebab itu, di awal musim penghujan, para petani menyambutnya dengan mengamalkan upacara wiwitan sebagai ritual menanam padi pertama.

Meskipun wujudnya sama, air yang mengalir dari pipa PDAM tidak luput dari pemaknaan politik. Program “pipanisasi” di wilayah Gunungkidul hadir sebagai program pembangunan yang membawa harapan kesejahteraan warga. Jika entitas air terperangkap ke dalam dimensi politik, ia menjadi subjek yang bisa dituntut sebagai pemenuhan hak warga. Oleh sebab itu, mandeknya air PDAM, lambannya pemasangan SR, dan permasalahan lainnya sering direspon melalui protes dan negosiasi, sebagaimana cerita tentang aparat desa beserta warganya yang menuntut pemenuhan akses mereka terhadap air bersih. Selain itu, ada pula seorang warga yang telah bersurat kepada bupati, mengadu karena pengajuan SR sejak tiga tahun yang lalu belum disetujui PDAM.

“Memang tidak ada yang mati karena air, tapi air adalah persoalan hidup dan mati. Kalau kekurangan air, bagaimana istri, anak-anak, dan ternak kami. Dia tidak tahu, di sini kami sampai mengawal tangki air bawa arit, jaga-jaga kalau ada yang membajak air pesanan kita ke tempat lain,” kata Yustiko.

Persoalan pengelolaan air menjadi persoalan yang multidimensi. Setiap konteks yang melatarbelakangi persoalan ini hadir dengan respon yang berbeda dari warga. Kemajuan teknologi dan infrastruktur yang diupayakan pemerintah tentu sangat berarti bagi warga. Akan tetapi, hal tersebut juga perlu dibarengi dengan transfer pengetahuan tentang cara memperbaiki dan merawat infrastruktur tersebut. Di sisi lain, perlu kiranya untuk mempertimbangkan bagaimana perencanaan pembangunan dapat berjalan beriringan dengan konsep pelestarian yang hidup di masyarakat.

Rujukan:

Appel, Hannah, Nikhil Anand, dan Akhil Gupta. 2018. “Introduction: Temporality, Politics, and the Promise of Infrastructure”. In The Promise of Infrastructure. Durham dan London: Duke University Press. Hlm. 2–38.

BAPEDDA. 2017. Penyusunan Review Rencana Induk Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (RISPAM) Kabupaten Gunungkidul. Wonosari: Pemerintah Kabupaten Gunungkidul.

Graham, Stephen dan Nigel Thrift. 2007. “Out of Order: Understanding Repair and Maintenance”. Theory, Culture & Society. 24(3): 1–25.

Gupta, Akhil. 2018. “The Future in Ruins: Thoughts on the Temporality of Infrastructure”. InThe Promise of Infrastructure. Durham dan London: Duke University Press. Hlm. 62–79.

Kompas.com. 2021. “Hampir 100.000 Warga Gunungkidul Terdampak Kekeringan” dalam https://regional.kompas.com/read/2021/08/20/185242478/hampir-100000-warga-gunungkidul-terdampak-kekeringan.

Li, Tania. 2012. The Will to Improve: Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di Indonesia [The Will to Improve: Governmentality, Development, and the Practice of Politics]. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.

Yuwono, J.S.E. dan Eko Haryono. 2003. “Kekurangan Air Di ‘Lumbung Air’”. Forum Karst Goenoengseweoe.

Cerita Lainnya