Kabar
Tiwul: Memori Ketahanan Pangan di Dapur-Dapur Gunungkidul
“Kami ini sudah terbiasa ngrekoso, tapi itu juga yang bikin kami kuat.”
Di dapur miliki Ibu Sumija di Padukuhan Bareng, Kemiri, Tanjungsari, Gunungkidul, bara api dari kayu bakar telah siap untuk memasak olahan dari singkong. Kepulan asap tipis dan suara tumbukan memenuhi dapur di sore hari itu, Jumat (17/10).
Peserta yang terdiri dari siswa-siswi dari SMKN 1 Nglipar dan masyarakat dari berbagai wilayah di DIY berdiri menyaksikan setiap gerakan tangan para pemateri yang sudah terbiasa menakar tanpa timbangan.
“Ini ngintil namanya,” ujar Ibu Sumija. “Kalau sudah kelewat basah, nanti tiwulnya gak jadi. Seperti terigu saja, bisa bantet hasilnya.”
Lokakarya pembuatan tiwul yang diinisiasi Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2025 bukan sekedar acara memasak. Lokakarya menjadi ruang belajar lintas generasi; peserta diajak menyelami identitas kuliner Gunungkidul, memahami nilai kearifan lokal, sekaligus menghidupkan kembali memori kolektif akan tradisi dapur pedesaan yang sarat makna.
Tiwul, yang dulu menjadi makanan pokok masyarakat Gunungkidul, kini hanya muncul di sela-sela nostalgia di dapur rumah yang masih bersedia menjaga ingatan ketika sanak saudara berkunjung.
Dari Singkong ke Tiwul: Proses Panjang dan Penuh Kesabaran
“Prosesnya agak rumit,” ucap Pak Sumaritaharjo, ketua RW setempat yang menjadi salah satu narasumber lokakarya. “Kalau orang tua dulu sudah biasa, tapi anak-anak muda sekarang sudah jarang yang mau.”
Jika ditelusuri lebih dalam, sistem pertanian singkong di Bareng memperlihatkan prinsip keberlanjutan yang alami. Pak Sumaritaharjo menjelaskan bahwa tanaman singkong ditanam secara tumpang sari bersama padi dengan siklus penanaman setahun sekali, sehingga memberi jeda bagi tanah untuk beristirahat.
Kemandirian pangan yang lahir dari singkong dan tiwul ini juga menunjukkan alternatif terhadap ketergantungan pada beras dan pasar. Ketika beras menjadi simbol modernitas dan kemajuan, tiwul justru mengajarkan cara lain untuk hidup selaras dengan alam.
Ibu Sumija, selaku tuan rumah, menceritakan bahwa pembuatan tiwul dimulai dari singkong yang dipanen setelah tujuh hingga delapan bulan. Singkong kemudian dikupas, dijemur selama 7-10 hari hingga kering dan berubah menjadi gaplek. Gaplek lalu ditumbuk hingga menjadi tepung, disaring (nginteri) untuk memisahkan tepung yang sudah halus dari yang masih menggumpal. Selanjutnya tepung dibasahi dengan air sedikit demi sedikit (ngintil), kemudian dikukus (ngukus) hingga matang.
Setiap tahapan membutuhkan ketelatenan, ritme tubuh dan intuisi.
“Kalau kebanyakan air, dia nggak mau mengembang, ucap Ibu Sumija. “Jadi kasih air sedikit-sedikit, sambil dirasa.”
Kini, proses membuat tiwul dapat dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap kecepatan itu sendiri, slow living kalau kata Gen Z. Tiwul mengajarkan kesabaran sekaligus hubungan yang intim dengan bahan makanan –sesuatu yang jarang ditemukan di dapur masa kini.
Perempuan dan Dapur sebagai Ruang Pertahanan
Bagi perempuan di Bareng, tiwul bukan sekedar makanan, tapi strategi bertahan hidup.
“Kami nanam singkong setahun sekali,” kata Ibu Sumija. “Habis panen dikeringkan jadi gaplek, terus disimpan. Kalau nggak bisa beli beras, ya makan tiwul.”
Gaplek yang disimpan di botol plastik bertutup rapat dan tetap kering bisa bertahan hingga dua tahun. Di rumah-rumah di Bareng, tumpukan gaplek di pojok dapur bukan tanda kekurangan, melainkan cadangan hidup. Ketika ekonomi rumah tangga goyah dan harga kebutuhan pokok naik, gaplek menjadi penyelamat.
Bagi perempuan seperti Ibu Sumija dan Ibu Rubini, dapur adalah ruang politik sehari-hari, tempat mereka mengatur strategi pangan, menjaga keluarga tetap kenyang tanpa bergantung sepenuhnya pada pasar.
“Kalau kehabisan sabun, gas, minyak, bisa tukar gaplek di warung,” kata Ibu Rubini, tetangga dari Ibu Sumija.
Sistem barter yang bertahan di Bareng menunjukkan bahwa ekonomi informal dan relasi sosial masih menjadi dasar kehidupan di padukuhan ini.
Ketahanan yang Tumbuh dari Kekurangan
Dalam ingatan Ibu Sumija, tiwul menyimpan kisah panjang tentang masa-masa sulit. Ia mengingat betul masa kecilnya di era Orde Baru, ketika beras masih menjadi barang langka.
“Kami sembilan bersaudara,” ucapnya. “Dulu kalau punya nasi harus dibagi sembilan. Tapi kami tetap makan bareng. Kalau makan tiwul sama sayur lombok dan ikan asin sudah mewah banget”
Tiwul lahir dari tanah yang keras dan musim yang kering. Gunungkidul, dengan tanah kapurnya yang tandus, kurang cocok untuk padi, tapi subur untuk singkong. Dari keterbatasan itulah muncul budaya bertahan hidup yang khas dan menghasilkan kreativitas kuliner.
Dalam banyak narasi pembangunan di Indonesia, makanan selain nasi seperti tiwul sering digambarkan sebagai “makanan kemiskinan”. Namun dari dapur Bareng, kita justru melihat tiwul sebagai simbol keteguhan dan resiliensi, ketahanan yang lahir dari relasi manusia dengan alam dan pemahaman atas tanah karst di sekitar mereka.
Dari Dapur ke Lokakarya: Memori yang Terus Dihidupkan
Lokakarya yang diadakan FKY menjadi pertemuan yang tidak biasa bagi Pak Sumaritaharjo, Ibu Sumija, dan Ibu Rubini. Di satu sisi, warga Bareng kembali melihat dapur mereka sebagai ruang pengetahuan, di sisi lain anak-anak muda belajar tentang cara hidup yang berakar pada lingkungan mereka.
“Saya salut,” ujar Ibu Sumija. “Anak-anak muda mau belajar tiwul, padahal kami saja yang dari kecil di sini kadang sudah nggak peduli.”
Ketika Ibu Sumija mendemonstrasikan proses menumbuk dan nginteri, para peserta antusias mencoba, beberapa bahkan terlihat luwes, seolah sudah terbiasa.
Kedatangan mereka ke Bareng, menurut Pak Sumaritaharjo, adalah bentuk ngaji: “Ini belajar memahami dari awal sampai akhir. Dari singkong yang ditanam sampai tiwul yang dihidangkan.”
Dalam konteks yang lebih luas, pertemuan ini memperlihatkan bagaimana pengetahuan lokal bisa menjadi bahan refleksi bagi generasi muda tentang kemandirian pangan, relasi sosial, dan nilai ekologis.
Kemandirian pangan yang lahir dari singkong dan tiwul menunjukkan alternatif terhadap ketergantungan pada beras dan pasar, sekaligus menggambarkan keberagaman pangan di Indonesia. Ketika beras menjadi simbol modernitas dan kemajuan, tiwul mengajarkan cara lain untuk selaras dengan alam, seperti halnya dengan sagu dan sorgum di wilayah lain di Nusantara.
Selain itu, sebagaimana disampaikan oleh Pak Sumaritaharjo dan Ibu Sumija, tiwul memang tidak hadir di hajatan besar, melainkan di dapur-dapur pribadi milik warga. Dari ruang sederhana itu tumbuh ingatan yang kuat dan personal antara individu dan dapur keluarga—dihidupkan oleh resep serta cerita yang berbeda-berbeda di setiap rumah di Gunungkidul.


