Kabar
Pawon Hajat Khasiat: Mugo-mugo Diuwongke
Dua perempuan itu sedari tadi sibuk mengibas-ngibas udara di sekitar makanan yang ada di hadapannya. Mereka menghindarkan sajian makanan dari serbuan serangga-serangga kecil yang turut mengerubung kala semerbak aroma manis dan gurih mulai memenuhi area pawon. Sejak pagi, ibu-ibu telah memulai aktivitas mereka demi menyajikan makanan untuk perhelatan Caos Dahar dalam program Pawoh Hajat Khasiat (PHK). Mereka tak ingin sajian itu rusak. “Mulai masak sejak jam 8 pagi,” ujar Suhartini, salah seorang anggota Laboratorium Sedusun.
Laboratorium Sedusun merupakan kolektif beranggotakan ibu-ibu yang berasal dari Dusun Siyono, Kalurahan Petir, Kapanewon Rongkop, Gunungkidul. Mereka adalah salah satu kelompok masyarakat yang dilibatkan dalam program PHK. Selain itu, terdapat banyak kelompok lain, perwakilan dari berbagai daerah di Gunungkidul, seperti Kelompok Wanita Tani (KWT) Ngalang, dan KWT Loh Jinawi.
Program ini juga menyediakan makanan hasil olahan ibu-ibu dari berbagai padukuhan di Logandeng. Kegiatan ini bernama Dapur Penuh Rasa Solidaritas, disingkat DPR Solid di PHK. Beberapa padukuhan yang terlibat adalah Plembon Lor, Plembon Kidul, Pager, Jalakan, dan Logandeng. DPR Solid di PHK berfokus pada penyediaan makanan sehari-hari untuk panitia dan menjual makanan berat untuk para pengunjung FKY 2025 di malam hari.
Sore itu, pukul empat pada hari Jumat (17/10), berbagai olahan makanan tergelar di atas panggung persegi di tengah area pawon. Diantaranya ada puli tempe, parutan pepaya muda, dan tumis rumput laut. Semuanya tersaji siap makan di hadapan 35 orang yang duduk mengelilingi hidangan itu, dari panitia hingga masyarakat umum.
Tepat pukul 16.45 WIB, acara PHK dimulai. Ida Mandalawangi, anggota Laboratorium Sedusun, memaparkan beberapa menu khusus yang diolah dadakan dalam Caos Dahar itu. Ia duduk di ujung, sementara empat anggota komunitas lainnya duduk di depan, dilingkari pengunjung. Mereka siap melakukan demonstrasi masak.
Menu hari itu adalah rujak deplok(dari bahasa Jawa deplok yang berarti menumbuk). Rujak ini disajikan dengan dua resep sekaligus. Rujak pertama berbahan dasar jambu monyet dan daun pepaya muda. Keduanya ditumbuk mentah-mentah bersama dengan garam, gula jawa, dan sedikit terasi. Bila ingin pedas, cabe rawit ditambahkan untuk ikut di-deplok.
“Rasa asam dari jambu mete (nama lain jambu monyet) akan melebur rasa pahit daun pepaya muda. Sebaliknya, rasa pahit daun pepaya muda juga melebur rasa masam berlebih dari jambu mete. Keduanya saling menetralisir,” ucap Ida.
Awalnya saya ragu untuk mencobanya, mengingat rasa pahit daun pepaya benar-benar tak dapat diterima lidah saya. Namun benar kata Ida. Ketika satu suapan masuk ke dalam mulut, yang terasa adalah perpaduan sensasi segar buah dengan rasa gurih gula jawa, garam, dan terasi. Rasa pahit daun pepaya nyaris tak terasa hingga sajian itu masuk ke tenggorokan. Itupun hanya sedikit sekali. Sama sekali tidak menyiksa bagi orang yang tak toleran terhadap rasa pahit.
Ida menjelaskan bahwa jambu monyet dalam resep ini bukan sesuatu yang saklek. Ia lentur mengikuti musim. Jika jambu monyet sedang tidak musim, biasanya warga akan memakai babal, sebutan warga Gunungkidul untuk nangka muda yang masih kecil.
Menu kedua adalah perpaduan antara timun, belimbing muda, kacang potro (sebutah warga Gunungkidul untuk kacang panjang), dan singkong, dibumbui dengan garam, gula jawa, dan terasi. Semua bahan di-deplok mentah dalam satu wadah. Menu kedua ini rasanya dominan segar dari sayur kacang potro dan timun, dengan singkong mentah yang terasa seperti bengkoang atau kelapa. Lidah saya menangkap kemiripan rasa yang serupa trancam.
Ketika ditanya sejak kapan menu ini muncul, Ida menjelaskan bahwa menu ini sudah ada sejak dulu. Ia lahir atas respon masyarakat atas tanaman yang tumbuh di pekarangan atau di tanah sekitar rumah mereka. Mereka memungut bahan yang disediakan oleh alam dan mengajak orang-orang di sekitarnya untuk membuat rujak deplok. “Biasanya dilakukan sama tetangga. Adate kaya ngono (adatnya seperti itu),” tutur Ida.
Gelaran Caos Dahar diakhiri dengan makan bersama. Seluruh peserta, baik panitia maupun masyarakat, mencicipi hidangan satu persatu hingga tak tersisa. Di bawah naungan pondok bambu itu, semua saling berbagi rasa, baik rasa di lidah maupun rasa di hati. Semuanya berbahagia.
Racikan menu rujak yang ditumbuk mungkin telah banyak dikenal orang. Namun keunggulan dari menu ini tidak terletak pada rasanya yang unik, melainkan pada upaya masyarakat mencari sumber pangan yang tersedia di tanah Gunungkidul. wilayah ini membentang di atas batuan karst dengan kandungan unsur hara yang minim. Tak semua tanaman mampu beradaptasi di atasnya. Di balik kondisi yang keras, kemampuan adaptasi masyarakat diuji. Dan rujak deplok menjadi salah satu wujud kemandirian masyarakat Gunungkidul yang berhasil menyelaraskan diri dengan alam tempat mereka lahir, besar, dan tumbuh.
Rujak deplok tidak lahir dari keputusasaan masyarakat Gunungkidul terhadap tanah mereka yang tandus dan sulit air. Menu ini, seperti juga berbagai hidangan lain di Gunungkidul, tumbuh dalam mekanisme bertahan hidup (survival food) yang tak semata bernafaskan perlawanan. Ia lahir dari rasa cinta, dari penerimaan yang tulus, dari percakapan yang jujur dengan alam yang merawat mereka.
Batuan karst bukanlah musuh, ia bagian dari kehidupan yang turut menghidupi masyarakat. Ia membentuk mental masyarakat Gunungkidul yang tangguh dan adaptif, serta melahirkan adat yang kaya, termasuk kebersamaan dalam memproduksi makanan sebagai sumber kehidupan. Rujak deplok tak pernah dibuat sendirian, ia selalu hadir di sela-sela hangatnya persaudaraan antar warga.
Pawon Sebagai Ruang Aman
Seperti dua tahun sebelumnya, pawon tetap diletakkan di bagian depan. Saat pengunjung memasuki gapura masuk lapangan Logandeng, papan besar bertuliskan “Pawon Hajat Khasiat” akan tampak di sebelah pojok kanan. Pada gubuk bambu beratap daun kering itu, ibu-ibu mondar-mandir mencuci, memotong sayur, dan menggoreng sesuatu. Aktivitas masak-memasak yang dapat disaksikan oleh siapa saja.
Meski katapawonidentik dengan dapur keduanya memiliki perbedaan yang signifikan. Dalam artikel jurnal yang ditulis Hardiati & Dianingrum (2021) berjudul “Pawon pada Rumah Tinggal Jawa”, kata pawon muncul dalam dua pengertian: pertama, sebagai tungku perapian berbahan bakar kayu untuk memasak; kedua, sebagai dapur tempat memasak. Berbeda dengan pawon, dapur modern menggantikan tungku dengan kompor gas. Karena itu dapur modern tak dapat disebut sebagai pawon.
Bentuk pawon tradisional umumnya didominasi bentuk limasan, dengan area yang luas, tungku, perabot tembikar, dan lantai tanah. Di dalamnya, sebuah dipan atau panggung kecil berbentuk persegi panjang digunakan untuk bersantai, berkumpul keluarga, dan makan bersama. Ini berbeda dengan dapur modern yang relatif lebih privat.
Bagi masyarakat jawa pawon tidak hanya berfungsi sebagai tempat memasak. Ia juga menjadi ruang interaksi sosial yang paling intim. Ruangnya yang luas memungkinkan siapapun berbagi cerita, unek-unek, bahkan gosip, sambil memasak dan mencicipi masakan yang baru matang, makanan yang dalam bahasa kiwari disebut fresh from the oven. Dalam catatan Rumini Zulfikar (2025) berjudul “Pawon dalam Tradisi Jawa” yang terbit dalam website Suara Muhammadiyah, pawon bahkan disebut sebagai ruang paling aman untuk membicarakan sesuatu yang bersifat rahasia.
Fajar Riyanto, Kepala Program PHK, mengungkap alasan mengapa ia memilih konsep pawon ketimbang dapur modern untuk FKY 2025. Ia bercerita bahwa di dalam pawon, ibu-ibu justru menjadi lebih terbuka dengan cerita-cerita mereka.
“kalau sedang rewang, Ibu-ibu bisa loss (baca: leluasa), ngomongin suami, ngomongin pemerintah, dan lain sebagainya. Dari yang paling domestik sampai politik skala nasional, dekne ki iso (mereka bisa). Ngomongke film neng kono (ngobrolin film di pawon). Loss, ora wedi,” ujar Fajar.
Mugo-mugo Diuwongke
Fajar saat itu duduk di pojok dipan yang baru saja dibersihkan pasca perhelatan Caos Dahar. Kepada saya, ia menceritakan alasan pawon di PHK mengambil bentuk yang sangat sederhana: dari gubuk bambu-bambu bekas dengan atap daun kering.
Dalam risetnya ketika merancang program PHK, Fajar sempat mendatangi acara rasulan, ritual khas Gunungkidul untuk mengungkapkan rasa syukur atas hasil panen, di Ngalang, Kecamatan Gedangsari. Ada kejadian menarik ketika masyarakat setempat menolak melaksanakan rasulan di pendopo yang dibangun oleh pemerintah dan memilih membangun gubuk di depan pendopo untuk melangsungkan acara.
“Trus aku dapat informasi bahwa (gubuk) ini dilelang. Ya, sudah, aku pikir, aku akan menggunakan (gubuk) ini saja. Karena secara roh sudah jadi, sudah digunakan, sudah didoakan,” ujar Fajar.
Lebih dari itu, Fajar berharap pembelian gubuk tersebut sekaligus bisa membantu perekonomian warga. Berdasarkan informasi yang ia peroleh, dana lelang akan dialokasikan untuk kas desa. Proses bongkar pasang juga diserahkan sepenuhnya kepada warga dengan tambahan biaya.
“Akhirnya FKY juga berperan, sedikitnya, memberikan sesuatu ke warga. Bisa memberikan rezeki walaupun sedikit,” ucap Fajar.
Selain gubuk bambu, terdapat area makan yang dibangun dari tumpukan perancah (scaffholding) membentuk lorong memanjang. Dihiasi artwork berbentuk panji keraton dengan tulisan khas Fajar, struktur ini membantu mengurangi intensitas cahaya yang masuk di siang hari. Menurut Fajar, perancah ini sengaja disandingkan sebagai simbol pembangunan yang mulai merangsek ke Gunungkidul.
Bagi saya, bangunan ini seolah mencerminkan dua model peradaban yang berbeda. Di bawah gubuk bambu, orang-orang makan di atas dipan berlapis kain hitam yang cukup luas. Setidaknya mampu menampung hingga 60 orang sekaligus. Di bawah perancah, meja-meja kecil tertata bak kedai. Satu meja memuat empat kursi. Satu meja membentuk satu kelompok kecil.
Isu pembangunan memang tengah santer di Gunungkidul. Daerah ini dinilai memiliki potensi wisata yang tinggi terutama melalui pantai-pantainya. Laporan Tribun Jogja (2025) mencatat arus investasi yang masuk ke Gunungkidul mencapai Rp 2,45 Triliun hingga 31 Agustus 2025. Modal tersebut digunakan untuk pengembangan lima sektor prioritas yaitu: pariwisata, pertanian terpadu, industri olahan, energi terbarukan, dan ekonomi kreatif.
Namun, model pembangunan semacam ini seringkali berpijak pada paradigma developmentalism, yang mengukur kesejahteraan semata-mata dari tinggi rendahnya pendapatan perkapita, baik Gross National Product maupun Gross Domestic Product.
Melalui kacamata Fajar, paradigma itu kerap meminggirkan manusia dan membuatnya tak berdaya di hadapan kapital. Kesejahteraan akhirnya diukur dengan parameter ekonomi semata, tanpa mempertimbangkan aspek kemanusiaan. Keresahan ini terekam dalam salah satu artwork-nya yang bertuliskan: ”Udah gini aja, gak usah diubah-ubah”.
Kegelisahan Fajar sejalan dengan pemikiran Amartya Sen dalam Development As Freedom (1999). Sen menyebut pembangunan yang hanya menitikberatkan pada pendapatan perkapita adalah pandangan yang sempit dan reduksionistik. Model semacam itu sering mengabaikan aspek manusiawi dan gagal memahami kebebasan individu, Menjadikan pembangunan sebagai alat untuk merenggut kebebasan manusia dan menyerahkannya sepenuhnya pada pasar.
Menurut Sen, pembangunan seharusnya diukur dari sejauh mana individu memiliki kebebasan memilih nilai dan menjalani hidup; dari akses ekonomi, kebebasan politik, hingga transparansi dari negara.
“Development requires the removal of major sources of unfreedom: poverty as well as tyranny, poor economic opportunities as well as systematic social deprivation”
tulis Amartya.
(pembangunan memerlukan pembebasan dari sumber-sumber utama ketidakbebasan: kemiskinan serta tirani, peluang ekonomi yang buruk, serta penindasan sistematis)
“Pengene iki ya wes ngene iki wae. Iki wis tentrem. Wis apik (Inginnya ya lingkungan seperti ini saja. Sudah tenteram. Sudah baik),” ucap Fajar.
Bagi Fajar, masyarakat harus diposisikan sebagai manusia, bukan sekadar sumber daya yang bisa diatur semena-mena. Masyarakat tidak seharusnya dijadikan objek, melainkan subjek pembangunan.
Ia tak rela nilai gotong royong masyarakat Gunungkidul tergantikan oleh budaya individualistik. Pawon bisa berubah menjadi dapur, namun nilai dari pawon sebagai pengikat hubungan sosial tak boleh tergantikan.
Pembangunan, baginya, harus muncul dari kebebasan akses ekonomi. Ia memberi contoh: sistem pawon dapat diadaptasi untuk pelaksanaan Makan Bergizi Gratis (MBG), dengan memberikan modal kepada ibu-ibu dan mereka diberi akses untuk mengelolanya secara bebas. Ia menolak model investasi yang dipaksakan, sebab model semacam itu beresiko menyingkirkan manusia dari tempat tinggalnya dan mengikis rasa kemanusiaan.
Pada akhirnya, pria bertopi dan berkacamata itu berharap, agar masyarakat tidak diusir dari tanah yang telah menjadi bagian hidupnya. Ruang aman tetap ada, persaudaraan tetap terjaga. Doanya terpatri dalam salah satu artwork yang dipajang di pawon: “Mugo-mugo diuwongke (Semoga dimanusiakan)”.

