Menyurat yang Silam dari Pembacaan Lakon Adeging Astana Girigondo
Oleh: Doel Rohim
Pertunjukan teater atau pembacaan lakon (dramatic reading) seringkali memang dapat kita temui berada di atas stage dalam sebuah gedung auditorium dengan gemerlap lampu disertai tempat duduk nyaman dan tentu dengan pendingin ruangan ac yang membuat kita betah berada di dalam ruangan. Namun berbeda halnya dengan pertunjukan yang digelar di Kompleks Makam Astana Girigondo, Kaligintung, Kec. Temon, Kulon Progo, Minggu (08/09).
Pertunjukan yang diberi tajuk Pembacaan Lakon Adeging Astana Girigondo sebagai rangkaian Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2023 tersebut memang berbeda dengan suguhan pertunjukan pada umumnya. Berkolaborasi dengan Teater Kagama dan seluruh elemen masyarakat pertunjukan ini mengambil konsep pertunjukan dengan durasi yang panjang. Pertunjukan eksperimental yang digawangi oleh Irfanuddien Ghozali menawarkan sebuah pendekatan yang tidak biasa dengan berupaya memberdayakan potensi kesenian lokal dalam metode sebuah penciptaan teater di FKY tahun ini.
Pagi itu, kompleks Makam Astana Girigondo terlihat riuh dengan terik matahari mulai menyengat kepala. Terlihat tarub besar dengan kursi sejumlah ratusan sudah setengah dipenuhi pengunjung berada tepat di depan Masjid menghadap limasan panjang ke Utara. Limasan panjang tampak menjadi lokasi utama pertunjukan di bawah bukit Makam Girigondo lokasi para raja-raja Kadipaten Pakualaman bersemayam. Beberapa diantara peserta meliputi kelompok anak-anak pramuka, kelompok hadroh, lalu bapak-bapak dan ibu-ibu jamaah pengajian berpakain muslim Jawa hadir di sana.
Saya datang jam 08.00 sesaat sebelum acara dimulai. Terlihat acara akan segera dimulai, saat MC membuka acara lalu membacakan rangkaian acara di hari itu. Seperti acara pada umumnya, setelah pembukaan lalu dilanjutkan sambutan oleh perwakilan Teater Kagama Patah Ansori yang menyampaikan pesan pembukaan acara pagi itu.
Selepas sambutan berakhir peristiwa pertama dimulai dengan Umbul Donga semacam ziarah ke makam untuk meminta izin dan berdoa napak tilas sejarah para leluhur trah Kadipaten Pakualaman. Semua pengunjung kemudian diajak untuk bersama-sama menaiki bukit makam tempat raja-raja Pakualaman berada. Terlihat salah satu narator Arif Nurcahyo pencipta “Wayang Kombes” mengenakan pakaian adat Jawa membawa wayang goleknya sambil memanggul sound elektrik yang ditancapkan sebilah songsong (payung pajang yang sering ada dalam ritual-ritual adat Jawa) memandu perjalanan rombongan. Beberapa diantara mereka para sesepuh juru kunci makam membawa sesaji berupa nasi tumpeng robyong lengkap dengan ayam ingkung sebagai ritual doa keselamatan. Diikuti oleh para tokoh masyarakat dan anak-anak pramuka desa setempat rombongan berjalan pelan melewati ratusan anak tangga yang kita tapaki untuk sampai di puncak bukit tempat makam itu ada. Di depan pintu gerbang utama makam yang menyerupai bentuk gerbang kastil-kastil Eropa di awal abad 20-an, Kabupaten Kulon Progo terlihat terbentang luas di atas bukit yang masih rindang dengan pepohonan.
Melewati pintu gerbang makam, terlihat jajaran nisan di balik pintu bangunan limasan khas pajimatan (tempat peristirahatan raja-raja Jawa dikebumikan). Rombongan dipimpin sesepuh juru kunci makam, lalu uluk salam (memberi salam hormat) pada leluhur meminta izin membawa rombongan sambil menerangkan siapa saja yang dimakamkan di pesarean. Tak lama Umbul Donga dilakukan, pembacaan tahlil kebiasaan Muslim Jawa tersebut membuat suasana pagi menjelang siang itu semakin hening dalam larutan doa yang dilantunkan.
Acara Umbul Donga selesai. Masih di atas sekitar kompleks makam, penanaman bibit Pohon Bodhi dilakukan. Pohon Bodhi memang bukan pohon sembarangan, pohon yang punya sejarah panjang tersebut diyakini sebagai tempat peristirahatan Sidharta Gautama ketika mendapat pencerahan. Penanaman pohon di tepian/lereng makam menjadi satu wujud agar nilai-nilai dari para leluhur bisa terus hidup dan memberi kebermanfaatan bagi generasi ke depan.
Sampai peristiwa pertama berakhir, rombongan bersama-sama menuruni bukit pesarean tersebut. Saya mulai menduga bahwa pertunjukan kali ini memang bukan satu fragmen yang saling terpisah satu sama lain. Ghozali mengatakan ia memang sengaja membuat seluruh peristiwa yang ada dalam acara ini merupakan bagian dari pertunjukan yang saling terhubung.
“Jadi memang untuk menikmati pertunjukan ini kita tidak bisa hanya menikmati satu bagian misalnya ketika pembacaan lakon saja, tetapi keseluruhan rangkaian acara memang ia tujukan sebagai bagian dari pertunjukan itu sendiri” tutur Ghozali.
Napak Tilas Sejarah Girigondo
Selepas turun dari makam, kami istirahat sejenak. Di panggung utama limasan, tim hadroh sudah siap-siap bersenandung sholawat untuk menghibur pengunjung yang sudah mulai padat berdatangan. Rombongan lain memisahkan diri untuk mengikuti rangkaian lainnya. Masih dengan orang yang sama, Arif Nur Cahyo narator dalam rangkaian pertunjukan ini memandu perjalanan untuk melakukan napak tilas sejarah lokal di desa Girigondo sambil tetap memanggul sound kecil dan songsong dipundaknya.
Diikuti oleh Dimas dan Diajeng Kulon Progo, narator terus bercerita sambil ditemani riuh anak-anak pramuka SD Trukan yang antusias menuju destinasi tempat kunjungan kami siang itu. Tak jauh kira-kira 500 meter dari tempat lokasi utama. Kami sampai di destinasi pertama yakni buk renteng tempat irigasi yang menyerupai jembatan dengan lebar 2,5 meter dengan kedalaman 1 hingga 2 meter untuk mengairi lahan-lahan pertanian desa-desa di sepanjang yang dilewatinya. Dipandu oleh narator kami dipertemukan dengan Mangkudiraja lelaki tua berumur sekitar 70-an tahun itu masih gigih menjelaskan sejarah buk renteng yang berada di desanya.
Menurut Mangkudiraja buk renteng di Desa Girigondo dibangun tahun 80-an. Ia sendiri ikut membangunnya bersama dua puluhan orang warga desa lainnya. Secara fungsi keberadaan buk renteng memang diperuntukan sebagai irigasi pengairan di desa Girigondo dan sekitarnya. Keberadaan buk renteng yang saling menyambung dari satu desa ke desa lainnya. Membuat pengerjaanya waktu itu butuh waktu yang lama dan setiap desa ada pemborongnya.
Buk renteng sendiri merupakan bagian sistem irigasi induk dari selokan Mataram yang menghubungkan sungai Opak dan Progo. Lebih jauh pertama kali buk renteng dibangun sejak masa penjajahan Hindia Belanda tepatnya pada tahun 1893-1899 sepanjang 17 KM oleh Carel Herman Aart van der Wijck di daerah Minggir Sleman.
Dampak langsung keberadaan buk renteng sebagai sumber air pertanian memang sangat dirasakan warga disana. Sesuai dengan penuturan Mangkudiraja semenjak ada buk renteng pertanian di sepanjang yang dilewatinya kebutuhan air untuk pertanian menjadi tercukupi.
Napak tilas sejarah selanjutnya ke makam Syekh Dal Mudal, sebuah makam leluhur yang ada di Desa Girigondo. Syekh Dal Mudal sendiri dipercaya sebagai keturunan Brawijaya V. Seperti diceritakan Harjo Sutrisno sang juru kunci makam, ia menceritakan bahwa makam ini adalah tempat peristirahatan Kebo Kenanga yang dikenal Syekh Dal Budal. Entah bagaimana cerita lengkapnya ia kemudian membacakan silsilah lengkap dari Seyek Dal Budal. Ia sendiri sebenarnya tidak benar-benar tahu kebenaran dari ceritanya karena sejak ia lahir makam itu sudah ada dan ia meneruskan keluarganya dari mulai bapak dan kakeknya untuk mengurus makam ini.
Di Makam yang rindang dengan pohon pule yang besar, kami semua mendengarkan cerita Harjo Sutrisno. Selepas mendengarkan cerita anak-anak pramuka menitipkan pohon untuk ditanam di sana. Pohon yang akan terus menjadi penanda bahwa mereka pernah singgah di sana.
Pertunjukan yang Memberdayakan
Selepas kunjungan dari makam, pengunjung kemudian balik ke lokasi acara utama. Adzan dzuhur berkumandang dan acara berhenti sejenak. Setelah istirahat ishoma selesai, acara dilanjutkan dengan pentas utama pembacaan dramatik reading Astana Girigondo oleh Teater Kagama berkolaborasi dengan kelompok kesenian yang ada di sana. Sebelum pentas dimulai seni tradisi Angguk Sri Budaya tampil mengawali pentas siang itu. Kelompok Gejog Lesung Laras Kenanga Balong, Angguk Sri Budaya, Komunitas Tari sajiwa, Sanggar Tari Tresno Budaya, semua kelompok kesenian tersebut kemudian dirajut dalam satu bentuk pertunjukan ketoprak gejog lesung yang saling mengisi satu sama lain.
Alunan musik dari gejog lesung menjadi pengiring dari pembacaan naskah ini. Lima aktor membacakan cerita yang mengisahkan pemindahan pesarean keluarga Pakualaman dari Kota Gede ke Girigondo. Para aktor menceritakan bahwa perpindahan tersebut merupakan sikap politik dan kerendahan hati atas perselisihan di antara pangeran sejak tahun 1811 yang memuncak pada perang Diponegoro. Tidak hanya itu, konflik berlanjut pada friksi pemakaman Kotagede-Imogiri yang dilatar belakangi distribusi komoditas ekspor di masa kolonialisme Belanda melalui pelabuhan Semarang dan Cilacap. Di tengah kemajuan jalur darat berupa kereta api yang mana mereka terkunci oleh jalur sungai Code.
Alur cerita yang dibacakan oleh para aktor pada siang itu cukup kompleks, namun para penonton cukup antusias mengikuti alur cerita yang dipentaskan. Hingga akhirnya pertunjukan usai dengan pementasan Angguk Sri Budaya.
Ditemui selepas acara Ghozali sebagai programer menceritakan bahwa proses awal penggarapan pentas ini sebenarnya seperti bola yang terus menggelinding. Awalnya ia ketemu penulis naskahnya terlebih dahulu, Pak Kun dari teater Kagama. Dari hal itulah akhirnya ia mencoba benang merah konsep dan cerita peristiwa ini.
Pertunjukan kali ini memang ingin memunculkan sisi lain dari sebuah pertunjukan teater yang kebetulan FKY tahun ini juga mengundang Teater Koma sebagai representasi teater modern. Dari hal itu dari sisi program teater yang ia pegang sebenarnya ingin memperkaya dari apa yang sudah ditampilkan FKY sebelumnya (Teater Koma), dengan memunculkan konsep yang lain dari biasanya. Misalnya dari mulai dari pemilihan lokasi yang merupakan situs sejarah warga dan dari segi durasi waktu pertunjukan juga tidak seperti teater konvensional.
“Bentuk pertunjukan ini sebenarnya bisa disebut durational performers, jadi waktunya punya konsep tersendiri. Menikmati pertunjukan ini sebenarnya kami rancang dari awal hingga akhir, jadi semuanya jadi satu kesatuan. Jadi tidak hanya pas pembacaannya saja, karena jika kita perhatikan dalam pembacaan lakon sebenarnya terekam dalam situs-situs sejarah yang kita kunjungi sebelumnya”, ujar Ghozali.
Selain itu Ghozali juga menambahkan bahwa salah satu penekanan dalam pertunjukan ini adalah pelibatan warga di sekitar situs sejarah. Karena menurutnya agar pengetahuan mereka muncul, karena yang memiliki pengetahuan atas situs sejarah sebenarnya mereka. Jadi kedatangannya dia di Girigondo dalam konteks ini adalah belajar menggali pengetahuan dari warga masyarakat di sina.
“Karena mereka yang memiliki pengetahuan, jadi mereka harus muncul sebagai subyek. Nah dari pintu masuk itu warga jadi terbuka untuk berpartisipasi dan untuk terlibat dalam acara ini,” tegas Ghozali.
Diakhir obrolan Ghozali juga tidak memungkiri bahwa konsep yang ia bawakan masih ada kebolongan sebagai sebuah suguhan pertunjukan. Tetapi ia menyadari bahwa apa yang ia lakukan bagian dari eksperimen dirinya sendiri terutama untuk men challenge kemampuan kreatifnya untuk membuat program yang ada di tengah masyarakat sekaligus melibatkan mereka sebagai subjek pertunjukan.