Peradaban Dimulai Dari Meja Makan, di Mata Serat Centhini
Oleh: Elizabeth D. Inandiak
Makan dengan cara “beradab” tidaklah sekadar mengenyangkan perut tetapi memperkaya kecerdasaan dan batin. Peradaban mulai dari meja makan jika hidangan yang disajikan tidak sekadar dicerna oleh otot lambung tetapi juga oleh akal dan rasa, lalu diubah menjadi ilmu serta seni hidup. Itulah yang diajarkan Serat Centhini, Suluk adiluhung Jawa, sepanjang 4000 halaman.
Tahun 1814, putra mahkota Kasunanan Surakarta Hadiningrat menitahkan kepada tiga pujangganya: Sastranagara, Ranggasutrasna, dan Sastradipura untuk menyusun suatu cerita kuno dalam bentuk tembang yang merangkum segala ilmu alam dan gaib Jawa, sampai ke seni hidup agar pendengarnya hanyut dalam kesadaran tak berakal.
Serat Centhini menembangkan kembara Amongraga, pangeran muda yang terpaksa kabur meninggalkan Kerajaan Giri setelah diserbu oleh Sultan Agung pada awal abad ke-17. Dalam perjalanan spiritualnya, Amongraga bertemu berbagai macam manusia: peramal, pandai besi, tukang sulap, pedagang, ulama perempuan, kiai dan santri, pelacur, petapa Buddha-Siwa, dukun, guru kanuragan, kecu, segala orang bebas, pelarian atau paria yang, jauh dari pusat kekuasaan, yang menenun serta mengutak-atik jaring khayal syahwat dan roh Tanah Jawa.
Mulai tahun 1999 dan selama 5 tahun, saya menggali dan merangkai kembali mutiara-mutiara yang tersebar dalam karya sastra Jawa megah itu. Cuplikan-cuplikan yang akan dibaca di sini berasal dari versi saya, Centhini, Kekasih yang Tersembunyi (CKT), atau dari Serat Centhini (SC) asli yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Gadjah Mada University Press.
Adegan makan dalam Serat Centhini digambarkan dengan daftar hidangan sangat banyak dan bervariasi. Itu menunjukkan betapa kaya pangan di tanah Jawa saat itu, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Tetapi “meja makan” lebih bersifat “tikar makan”, karena jamuan pada acara pernikahan, wayangan, kesurupan, doa bersama, atau sekadar kunjungan silaturahmi disajikan di atas tikar. Meskipun sederhana, “tikar makan” selalu digelar untuk merayakan seni, asmara, atau segala ilmu, baik duniawi maupun ilahi. Dengan demikian, “meja-tikar makan” dalam Serat Centhini merupakan saka guru kebudayaan, kerohanian dan pengetahuan Jawa.
Tembang 34 (CKT)
Meja-tikar makan sebagai sajen untuk wayangan – Di Negeri Mataram/Yogyakarta
Cebolang adalah salah satu tokoh utama dalam Serat Centhini: seorang remaja pemberontak, ia melarikan diri dari orang tuanya yang memimpin sebuah pesantren. Cebolang pergi mengembara bersama tiga temannya yang sama lancangnya.
Hari dan malam berlalu tanpa Cebolang mampu memutuskan meninggalkan Negeri Mataram yang permai, tempat hidupnya sedemikian nikmat. Tak terhitung kondangan pernikahan yang telah ia hadiri, tapi yang satu ini pasti paling mewah. (…)
Di situ seorang wanita ulama bernama Atikah. Ia duduk di balai-balai bersama beberapa teman wanitanya dan berbicara dengan pintar dan penuh rasa tentang kewanitaan dalam Quran. (…)
Atikah bercerita banyak dan sedemikian bagusnya sehingga tak seorang pun memperhatikan bahwa hari berganti, di dapur orang-orang sibuk mempersiapkan sesajen untuk wayangan.
Di kedua sisi kelir diletakkan batang pisang, tebu, kelapa, nira, dua ikat padi, dua tunas kelapa, dan dua ayam; jantan dan betina, diikat kakinya satu di kiri dan lainnya di kanan.
Ada sembilan macam nasi tumpeng, dua keranjang dari daun kelapa yang digantung di ujung kelir, yang di kiri berisi nasi dan ikan, yang di kanan, dengan berat sama, berisi ubi, beras dan buah-buahan.
Ada banyak sajen lain, tapi kepala dapur memberi tanda kepada para penyair untuk menghentikan daftarnya sampai di situ saja, sebab senja menjelang dan gamelan belum ditata. Cebolang dan keempat sobatnya turun tangan karena tidak sabar menanti tontonan dimulai.
Saya mempersingkat daftar sajen karena Centhini versi saya tidak dimaksudkan sebagai ensiklopedi, seperti yang aslinya. Namun, versi aslinya mencantumkan lebih dari dua halaman sajen tersebut yang kemudian akan disantap oleh para tamu. Berikut daftarnya:
Tembang 157 - Dhandhanggula (SC)
“Ada sembilan macam sajen tumpeng tutul, tumpeng lugas, tumpeng kendhit, tumpeng berpucuk cabai merah, tumpeng magana berisi sayuran, tumpeng magana berisi ikan dan ayam, tumpeng rajeg berjarum baja, tumpeng berpucuk telor dan kesembilan tumpeng sembur. (…)
Kemudian tiga macam nasi uduk dengan ikan ayam, bumbu lembaran diberi bersantan, ayam hitam dan ayam putih yang berbulu mulus, telur ayam dan jadah tujuh warna: merah, putih, biru, hijau, kuning, kendiht, dan trutul. Ketan kuning, hitam, putih, biru, dan hijau. Wajik, jenang dodol manis dan sembilan macam bubur ditempatkan dalam takir dari daun pisang; dan takir dari kelupasan batang pisang diisi jengan blowok: merah, biru, hijau, putih, hitam dan kuning; jenang lemu, jenang bekatul dan sembilan warna serabi: hitam, biru, ungu, hijau, trutul, kuning, merah, putih, dan berisi gula. Bikang merah dan bikang putih, awug-awug dan ampyang. Tujuh warna nasi pondhoh: merah, putih, hitam, biru, hijau, ungu dan kuning.
Makanan yang berbungkus yakni: legandha, lepat, ketupat, mendut, limus, nagasari, clorot, pudhak, entul-entul, serabi, utri, dan bermacam-macam pipis. Pulagimbal dan pulakringsing ditempatkan jadi satu wadah. Aneka penganan selengkapnya, buah-buahan, seadanya, tukon pasar “kelengapan sajen” serta uang dua uwang.
Gecok baka: cabai, garam, terasi, bawang merah, bawang putih, daging kerbau mentah; gecko gesang dengan ikan lele; dan gecok dadi. Dua butir telur ayam, dua lembar tikar pacar, seikat kayu, bermacam-macam bumbu, wolak-walik, pecel ayam, sayur menir, serta nasi golong dengan kecambah.
Aneka macam empon-empon selengkapnya, buah-buahan pohon, ubi-ubian, buah-buahan melata, baik yang masih mentah maupun yang masak, dijadikan satu wadah. (…)
Sajen, jamuan, kelir dan gamelan diatur, syarat-syarat telah diletakkan pada tempatnya. Mas Cebolang dan keempat orang santri turut merakit dan mengatur. Semua telah lengkap.
Matahari terbenam, halaman berkelipan cahaya dian para penjual. Ada yang berjualan sirih masak, tembakau enak-sedang-kasar oprokan, rokok klobot-Jawa-wangi-wiron harum kesturi, bermacam upet atau tunam dari sabut, irisan seludang bunga kelapa dan sebagainya. Bakmi ayam dan soto bebek. Minuman cokoten, rondhe, cemohe, teh, kopi, dawet, serbat, cincau, bir, beras kencur, semelak, legen atau nira enau. Segala macam kudapan, baik goreng maupun yang basah atau yang dibungkus. Segala jenis ubi yang digoreng, direbus atau diceriping diiris tipis-tipis. Jenang dodol, pondhoh, wajik, jadah, jadah pisang, ketan urai, gethuk, jadah ketela pohon, cothot juruh, ledre, serabi, jengang cocoh merah, putih, pulih, awug-awug, thiwul, udhak, cabuk rambak, grontol, inthil, gandhos, rangin, wolak-walik, ampyang, karang bakar. Rujak tumbuk, rujak gobet, pecel dan lotis. Nasi lodhoh-pindhang, dughangan, tumpeng, precita-krengseng, satai kerbau, satai kambing, satai ayam, gudheg kebiri,ketupat, lontong, legandha, ketupat munjit, bungur, nasi liwet dengan ikan ayam, ketupat dhocang, bermacam-macam ikan goreng, telur pindang, telur asin. Buah jeruk, jambu, pakel, mangga; kueni,
belimbing, duku, kulampes, kokosan, dhuwat, kelayu, pepaya, nangka, manggis, kepundhung, kelapa muda diperas halus, serabut dibuat binatang daratan dan lautan tiruan.”
Tembang 37-39 (CKT)
Meja-tikar makan di tengah hutan, disertai ilmu arsitektur rumah Jawa dan kisah Ramalan Jayabaya.
Cebolang dan keempat sobatnya berjalan, meniti pematang sempit sawah-sawah. Begitulah mereka maju, terhuyung-huyung. Mereka tidak melihat hutan menyelimutinya maupun matahari tenggelam di ketebalan gunung, sampai ke gubuk Lurah hutan itu. Gubuk itu mencangkung di atas empat tonggak dan di ujung tangganya Ki Dikara menyambut tamu-tamu malamnya dengan nyala obor.
Semua bergegas naik. Ki Dikara meletakkan ke hadapan mereka lima tandan pisang, nanas, mangga, durian, manggis, jambu, duku: “Hutan adalah tuan rumah kalian, hargailah, saya turun sebentar menguliti kedua kijang hasil buruanku tadi.”
Tak lama kemudian Ki Dikara naik kembali dengan potongan daging dan kulit yang segera ia rentangkan di antara dua balok. Ia lalu menyalakan api dan meletakkan bumbu serta garam, asam, cuka, dan gula aren yang harum di sekelilingnya. Ia menyuguhkan legen yang disuling dalam bambu muda.
Ki Dikara berkata: “Orang memanggilku Lurah hutan, walau itu tidak tepat, karena aku hanyalah abdinya. Tugasku adalah menjelaskan kepada para penebang, pohon mana yang boleh dirubuhkan dan mana yang bila diambil rantingnya saja akan mendatangkan petaka bagi yang melakukan kesalahan itu serta kepada lingkungannya. Kuberikan nasihat tentang seni memilih jati yang cocok bagi pembuatan rumah atau masjid, musim dan saat yang pas untuk menebangkannya.
Bagi para sastrawan yang sempat menumpang bermalam di gubuk ini, kuingatkan bahwa kata babad, dalan bahasa Jawa kita yang indah, bisa berarti “sastra” dan “membabat hutan”. Sebab bukankah kita harus merambah alas rimba untuk mendirikan keraton?
Begitu keraton berdiri, lahirlah babad, primbon, dan suluk. Si pujangga tahu bahwa tiap bait sajaknya menuntut pengorbanan sebuah pohon. Sebab ia menghitung kata-katanya dan bersujud sebelum menuliskannya satu demi satu.
Ki Dikara bercerita panjang lebar dan tentang ilmu arsitektur rumah-rumah Jawa. Lalu dia melanjutkan dengan kisah Ramalan Jayabaya.
Tembang 224 – Pangkur (SC)
Menu sarapan di tengah hutan.
“Hari sudah hampir siang, langit kemerahan. Ki Dikara tiba di dangaunya dengan membawa air kopi beserta tempatnya, ayam hutan betina yang masih muda dan sedang enak-enaknya untuk dipanggang, demikian pula yang jantan, sekeranjang telur ayam cemani hutan (ayam hutan yang berbulu dan berkulit hitam). Buah kopi bekas dimakan musang segera digoreng, berbau gurih, lalu dibuat minuman dalam keadaan untuk (kopi) itu tanpa ditumbuk, gula aren yang kuning bersih dan berbau harum, disantap sebagai pengiring minum kopi. Sarapan paginya telur cemani mentah, sementara kuning telurnya ditenggak bersama dengan garam putih bersih, ditelan bersama untuk memulihkan badan yang sedang letih agar segar dan kuat kembali. Mereka merasakan nikmat dalam bersantap pagi itu, selanjutnya tuan rumah meneruskan cerita sebagai kelanjutan tadi malam (...)
Tembang 37 (CKT)
Seni rebana selawatan lahir dari kulit kijang yang diburu dan dimasak di tengah hutan.
Cebolang dan kawan-kawannya tinggal lima hari bertengger di gubuk Lurah hutan. Ki Dikara mengutarakan keempat bentuk rumah Jawa dan masing-masing rangkanya. Di hari kelima, kulit kijang direntangkan di kedua rebana, Ki Dikara menyilakan Cebolang mencobanya malam itu juga.
Rebana segera membahana, kulit yang bergetar itu menebarkan bau hewan liar, seolah-olah roh gentayangan, genderuwo, jembalang, tuyul, pocong, dan jin-jin lainnya keluar berbondong- bondong dari rimba menjelma manusia memanjat tangga gubuk Lurah hutan.
Yang satu membawakan buah-buahan, lainnya nira atau juga dendeng menjangan. Cebolang memukul rebana besar, Nurwitri yang kecil tapi dengan irama lebih terjaga yang menarik suara Cebolang ke arah keselarasan asyik masyuk. Demikianlah ia bernyanyi:
Setiap hari kurenungkan
Rasa asmara seram dalam tubuhku.
Tiada lagi yang menarik hatiku selain
Menangisi diriku sendiri.
Kuperhitungkan tiap tindakanku,
Kenapa sih, aku di bumi sini?
Cebolang dan kawan-kawannya memainkan rebana semalaman. Ayam jantan memanggil kembali hari teledor ke bumi, merak-merak bergaya di sela-sela tiang gubuk sambil menge- luarkan dengkur geram: “Ayo! Cebolang! Kamu sudah cukup berlama-lama di alas ini, kehidupan menantimu di ujung jalan!”
Begitulah Cebolang dan teman-temannya kembali melanjutkan kelana dengan dua rebana sebagai satu-satunya bawaan mereka.
Tembang 357 – Mijil (SC)
Meja-tikar makan setelah Selesai Upacara Temu Pengantin.
Di istana yang terbakar, Amongraga, putra sulung Sunan Giri, mencari adik-adiknya, Jayengsari dan Rancangkapti. Sia-sia. Ia tinggalkan kerajaan Giri yang runtuh dengan hati penuh kesedihan, seperti emas memancar dari pusaran air.
“Jangan kuatir. Biarkanlah rasamu mengikuti kesedihan hatimu. Ingatlah, kau keturunan wali yang luar biasa. Seperti api yang membakar, susah dipadamkan. Biarlah terus membakar. Tak lama lagi, api akan mati sendiri, dan segala lumur akan hangus musnah. Maka, simpanlah emas itu di permukaan.”
Demikianlah sang Pangeran Giri pergi, tak seorang tahu ke mana. Juga dirinya sendiri tidak tahu arah mana dituju. Hanya Allah yang mengarahkan segalanya melihat betapa Amongraga, sebagai gelandangan, masuk Suluk, yaitu jalan Ilahi.
Amongraga mengembara jauh, sampai ke pondok Wanamarta. Di sana dia menikahi Tambangraras, putri Kiai pesantren itu, Ki Panurta.
Hidangan sudah mulai dikeluarkan, para santri berhenti bersingir, hanya Jamal dan Jami (abdi Amongraga) masih bernyanyi perlahan-lahan suaranya merdu mendayu-dayu diiringi terbang. Mereka dijamu air teh, gula batu, cêngkuweh, manisan, enting-enting, satru yang harum. Ki Bayi memerintahkan supaya hidangan disiapkan sesudah salat Magrib.
Macam-macam nasi, daging, sambal ditambah sayur-sayuran:
Taoge, kacang wuku, kara, kecipir, kangkung, lembayung, gundha gondhang, kakas, banci, kalepoh, combrang, srunen, keciput, luntas, kapas, rempelas pakis, kasembukan, selam katu, kerokot, careme, kepel, ketela, gayam, daun lobak, brangbrangan boros, bestru, belimbing, etim, sarang burung otot, tim burung dara, tim bandeng, tim bebek, tim meri, tim grameh, tim ikan tambra, tim bulus, tim gibas, tim landhak mopol. Tidak ketinggalan sayuran, kacang, kecipir, timun, terong, buncis, taoge, kemangi, ranti bodheh, pare belut, pete, jengkol, terong aor, irisan kulit jeruk, cokol bung, pupus, kencur, lotak, selat, kobis, kucai, seledri, patraseli, bawang merah suru, ramenas, sawi rawetol, acar kecap, tahu petis, cabe merah hijau. Lengkaplah lauknya serta uraban dan sayuran serta buah. Kue wajik, ketan salak, gemblong, ulen-ulen, tetel onggok, wingko, gethuk, kerasikan, geplak madu serat inthil, tawonan jenang jagung, gerontol, karag, berondong, serabi, kumbu, lapis, cengkaruk, ketan ragen, iwel-iwel, lepet, ulu-ulu, ampyang, gablog. Lonthong, kupat, tape, brem, ledre, satru, opak, gulali, carabikang, jipang, ondhe-ondhe, gandhos, celorot, roti, bolu, cethot, emplek, kepel, limping-limpung, rengginang, ceriping, jalabiya, carang madu, rambutan, brem, klepon, widaran, apem, cucur put mayang, utri, lemper, lemet, pasung, meniran, jongkong. Kue kemplang, semar mendem, srikaya, pipis, kopyor, sagu jagung, kolak loco, mentho, jenang, bubur, jengan merah, bubur caca, jenang candhil, jenang grendul, kerangrang kembang cemplung, apem kocor, ronghe, dawet, tape, kembang rujak kawis, kolak, cao. Buah pisang raja talun, jeruk keprok, jeruk ranjam, butun gulung, mangga, nangka, srikaya, mulwa, kuweni rambutan, jirak, kepundhung, manggis, duren, pakel, gowok, langsep, pijetan, duku, dhuwet, bendha, kesemek, maja, mundhu, sarangan, sawo, kleca, kecapi, siwalan, wunglon, kelayu, jambu wer, jambu kluthuk, jambu klampo. Buah semangka, krai, timun, wlesah, salak, dhele, tebu, kacang cina, ketela, ubi, gembili, kenthang linjik, tales, kimpul, suweg, gaceng, gembolo.
Jika dijumlah ada 50 ancak, selain panjang deretan piring yang dipakai untuk menyusun lauk dan ancak itu juga semua keperluan makan (lauk) sudah disusun rapi.
Serat Centhini pura-pura tidak mengenal batasan antara dunia awam dan dunia keramat, antara yang ilmiah dan rakyat, yang halus dan kasar. Dengan demikian, jamuan akad nikah disulap menjadi pesta makan tak terkendali. Adegan ini mengingatkan kita bahwa seseorang tidak dilahirkan “beradab”. Jika pendidikan dan pengajaran tidak terus-menurus dikembangkan, peradaban sehalus apa pun akan terjerumus ke dalam kebobrokan. Kejadian itu dikisahkan dengan banyak humor oleh tembang 357 – Mijil (SC) yang berlanjut demikian:
Santri-santri kecil berebut mencuci tangan, saling mengumpat, berteriak dan berdesak-desakan, saling menyodok. Gentong tempat air untuk mencuci tangan akhirnya pecah. Air mengalir ke tempat duduk para santri tua yang basah di mana-mana sehingga mereka harus makan sambil jongkok. Para santri tua mengatai santri kecil, « Jorok, tidak tahu aturan », sebaliknya santri kecil mengatai santri tua, « Makannya sambil jongkok kok seperti kodok ». (...)
Ki Pengulu makan dengan lahap, suapannya sebesar kepalan, menyuapnya agak tergesa-gesa. Ikan, sayur dicampur menjadi satu dimakan dengan lahap dan tergesa-gesa sampai termengkalan. Karena termengkalan ia tertegun, matanya melotot. Ki Suharja segera menolong, tengkuk Ki Pengulu dipukul, plêtok suaranya, cocor bebek keluar dari mulut Ki Pengulu. Lega hati Ki Pengulu, matanya berair. Meski demikian apa yang ditawarkan lagi kepada Ki Pengulu tak ada yang ditolaknya.
Kulawirya makannya kuat sampai kekenyangan, badannya berkeringat. Tiba-tiba ia bersin menyebabkan ikat pinggangnya putus, enam kancing bajunya lepas, kutangnya sobek selebar dua jari.
Para santri makan dengan lahap, ada yang kekenyangan sampai buang air kemudian kembali menyuap nasi dengan lahap. Santri lain lagi bahkan ada yang buang air di kain bajunya, belum sempat mencucinya sudah kembali makan. Teman-teman yang duduk di dekatnya menutup hidung karena baunya. Santri lain ada yang tersedak, batuk nasinya menyebur ke mana-mana. Yang lain lagi ada yang sampai muntah karena terlalu kenyang, atau ada pula yang termengkalan kikil (kaki kambing) matanya sampai melotot. Melihat keadaan yang demikian teman lainnya tidak ada yang peduli karena sudah banyak yang menderita begitu.(…)
Ki Bayi Panurta berkata pelan, “Semua hidangan tak kubatasi, setelah makan kalian boleh pulang tetapi kembalilah nanti malam untuk lek-lekan.”
Para santri pulang ke tempatnya masing-masing. Santri Luci membersihkan tikar, piring dan membereskan tempat yang berantakan.
Tembang 112 (CKT)
Kembali ke meja makan beradab dengan ajaran Tasawuf dan jamu untuk merayakan sanggama.
Dalam Serat Centhini yang asli dikisahkan bahwa Amongraga dan isterinya, Tambangraras, melewatkan empat puluh malam dalam kamar pengantin tanpa bersetubuh. Empat puluh malam itu mengisi enam pupuh terakhir jilid ke VI dan empat belas pupuh pertama jilid ke VII. Tetapi Serat Centhini mengisahkan hanya sekitar lima belas malam, dengan mengumpulkan seluruh ajaran yang disampaikan Amongraga kepada isterinya dalam beberapa malam saja, sehingga ajaran-ajaran tersebut, walaupun luar biasa indah, menjadi kabur dan terlalu padat. Saya mengubah “adegan dan penyutradaraan” dengan menggambarkan empat puluh malam itu, satu per satu, seperti dalam kisah Seribu Satu Malam, dengan satu ajaran per malam. Seluruh ajaran Amongraga kepada Tambangraras dicatat, asal-usulnya ditimba dari pengarang sufi kuno dari Timur Tengah seperti Abd Ak-Karîm Al-Jîlî, Abd Al-Qaadir Al-Jailani, Sidi’Abd Er-Rahman, Al-Ghazâli, Abu Syukur Al-Kasyi Al-Salimi, Djalâl-od-Dîn Rûmî...
Baru pada malam keempat puluh satu, pasangan Amongraga-Tambangraras akhirnya bersanggama.
Centhini keluar di pagi buta mengabarkan kepada Ki Panurta dan istrinya bahwa selaput dara tuan putri telah koyak. Pasangan tua itu sudah menunggu kabar tersebut empat puluh malam tanpa tidur sekejap pun: “Alhamdulillah! Cepatlah Centhini, bangunkan segera nDuk Daya, suruh ia menyiapkan jamu godokan kembang curian!”
nDuk Daya dengan segera mengumpulkan jamu-jamuan itu. Dicacahnya putik delima putih, kulit pohon kina, majakan, kapulaga, cengkih, kecubung, dan benang lawe. Semua itu digilingnya di lumpang batu sampai lembut, lalu ditambahi dengan bunga selasih, kapur sirih, kunyit, bedak perut buih cacing, abu daun pisang emas, selongsong ular cabai, pala, kemukus, kulit telur yang baru keluar, serta jahe. Semua itu lalu direbus, kemudian godhokan-nya dituangkan ke dalam batok kelapa.
Tambangraras meminum jamu itu, nDuk Daya memercikkan air kembang telon ke payudaranya. Di saat sang istri mereguk jamu dari tempurung itu, Amongraga masuk ke dalam tapa bisu samadi.
Matur Nuwun
(Artikel ini ditulis sebagai materi Wicara Peristiwa Sastra Festival Kebudayaan Yogyakarta 2023)