Melihat Pandemi
dalam Ingatan Kita

Virus korona telah mengubah banyak aspek di dunia melalui pandemi yang tak kunjung usai. Fenomena ini membawa kita pada kebiasaan-kebiasaan baru yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Kebiasaan baru tersebut sering diistilahkan dengan new normal atau ‘kenormalan baru’. Tak pernah terbayang sebelumnya, sebagai makhluk sosial, kita harus membatasi diri untuk bersosialisasi, selalu memakai masker ketika beraktivitas di luar rumah, mencuci tangan dan mengecek suhu tubuh saat akan memasuki ruang-ruang publik, serta tidak berjabat tangan atau melakukan kontak fisik dengan orang lain.

Dalam keseharian kita yang semakin berjarak satu sama lain, banyak orang melakukan hal-hal yang serupa meskipun dalam ruang dan waktu yang berbeda sehingga akhirnya dapat kita tarik sebagai ingatan kolektif kita di masa pandemi. Ingatan tersebut muncul dalam berbagai hal dan bentuk, seperti ingatan akan kebendaan, kegiatan atau hobi, dan kebiasaan baru yang banyak kita lakukan ketika sedang berdiam diri di rumah maupun ketika berkegiatan di luar rumah. Ingatan kolektif tersebut muncul entah sebagai tren, sebagai kebutuhan akan hiburan semata, atau mungkin sebagai pengalihan rasa bosan dan stres di tengah keterbatasan aktivitas sosial dan juga krisis yang muncul akibat pandemi ini.

Ekonomi adalah salah satu sektor yang paling parah terdampak pandemi Covid-19. Banyak lini usaha yang terpaksa harus terhenti sehingga menyebabkan sebagian orang kehilangan lapangan pekerjaan. Kondisi ini membuat mereka harus mencari penghasilan alternatif untuk dapat bertahan hidup, salah satunya dengan berinvestasi.

Banyak instrumen yang ada dalam investasi, antara lain emas, deposito, properti, saham, reksadana, dan crypto currency. Dalam masa pandemi ini setidaknya terdapat tiga instrumen investasi yang mengalami kenaikan jumlah investor ritel secara drastis, yaitu saham, reksadana, dan crypto currency. Mengacu pada data Bursa Efek Indonesia sampai dengan akhir tahun 2020, investor pasar modal telah meningkat 56 persen dari tahun 2019 menjadi 3,88 juta investor, sedangkan pada April 2021 telah mencapai 5 juta investor pasar modal.

Saham, reksadana, dan crypto currency mengalami lonjakan peminat. Alasannya, ketiga instrumen tersebut berbasis digital sehingga mudah diakses meskipun pembatasan sosial sedang diberlakukan. Investor baru “angkatan pandemi” banyak didominasi oleh milenial. Sebagian besar dari mereka melihat penurunan nilai saham akibat pandemi sebagai sebuah peluang. Saham dibeli dengan harga murah untuk kemudian dijual ketika harganya telah melambung tinggi. Di sisi lain, banyak investor baru menanam saham karena terinspirasi idola mereka di media sosial. Tanpa memiliki pengetahuan tentang investasi, hal tersebut tentu saja dapat sangat beresiko.

Pada awal tahun 2020 saat virus Covid-19 mulai menyebar ke seluruh penjuru dunia, fenomena dalgona populer di masyarakat. Dalgona merupakan sejenis minuman kopi susu dengan tampilan dua lapisan yang estetik, susu di bagian bawah dan busa kopi di atasnya. Minuman ini berbeda dari kopi susu pada umumnya yang menempatkan susu sebagai busa di atas kopi.

Dalgona menjadi populer setelah seorang artis dari Korea Selatan, Jung Il-Woo, dalam sebuah acara televisi secara spontan menyebut minuman yang disajikan di sebuah kafe di Makau dengan nama dalgona. Kafe tersebut menyajikan kopi susu dengan cara pembuatan yang unik. Kopi, gula pasir, dan sedikit air panas diaduk sebanyak 400 kali hingga membentuk busa, lalu dituangkan di atas es dan susu. Minuman ini mengingatkan Jung Il-Woo pada sebuah jajanan masa kecilnya, yaitu permen gula bakar yang populer di Korea Selatan sekitar tahun 1970‒1980. Jajanan ini bernama dalgona atau dalam bahasa Korea disebut ppopgi.

Dalgona sebenarnya bukan jenis minuman baru. Di beberapa negara, seperti India, Pakistan, dan Makau minuman sejenis whipped coffee ini sudah ada sejak dulu. Di India, minuman sejenis ini biasa disebut dengan Phenti Hui Coffee. Bahan yang mudah didapat dan cara pembuatan yang sederhana menginspirasi banyak orang untuk membuat dalgona versi mereka sendiri di tengah kebosanan berdiam diri di rumah pada awal pandemi.

Tagar #dirumahaja sempat mencuat santer pada awal pandemi sebagai salah satu kampanye untuk membatasi kegiatan masyarakat di luar rumah. Di saat banyak orang menghabiskan waktu di rumah, mendekorasi rumah dengan tanaman hias menjadi salah satu kegiatan yang digemari. Tren ini mengakibatkan harga beberapa jenis tanaman hias melambung tinggi, misalnya jenis monstera dan aglonema. Namun, kegiatan ini berdampak baik pada kesehatan mental karena dapat meningkatkan hormon dopamin atau hormon kebahagiaan.

Tanaman hias sudah digemari sejak berabad-abad yang lalu meski popularitasnya sempat naik turun. Awalnya, pada abad ke-17 pohon jeruk dan rumah kaca menjadi simbol status kekayaan di masyarakat. Kemudian, abad ke-18 mulai bermunculan pot tanaman dekoratif dan lemari khusus untuk menyimpan tanaman hias di dalam rumah. Kegemaran ini terus berlanjut pada abad-abad berikutnya hingga saat ini.

Aktivitas yang dibatasi selama pandemi membuat banyak orang memiliki waktu luang untuk lebih rutin berolahraga. Bersepeda yang dulu hanya digunakan sebagai aktivitas selingan di waktu luang, kini menjadi salah satu gaya hidup yang populer. Selain munculnya kecemasan penularan virus korona ketika menggunakan transportasi umum, motivasi untuk menjaga kebugaran tubuh dan meningkatkan imunitas menjadikan aktivitas bersepeda makin digemari sehingga muncul istilah bike boom.

Dikutip dari laman Wikipedia, bike boom adalah salah satu dari beberapa periode sejarah tertentu yang ditandai dengan meningkatnya antusiasme, popularitas, dan penjualan sepeda. Bike boom telah terjadi selama beberapa waktu lalu. Beberapa periode yang menonjol di antaranya pada tahun 1819 dengan “Quadracycle”, tahun 1868 dengan “Velocipedes” dan “Penny-farthing”, tahun 1890-an dengan “Rover Safety Bicycle” dan “The Mount Holly and Smithville Bicycle Railway”, dan pada tahun 1970-an dengan “Schwinn Sting-Ray”.

Selain beberapa kegiatan dan hal-hal yang sudah dijelaskan di atas, memelihara binatang ternyata juga tak lepas dari tren saat pandemi. Memelihara ikan cupang dianggap sebagai salah satu hiburan saat harus berdiam diri di dalam rumah. Selain karena keindahannya yang menyegarkan mata, banyak juga masyarakat yang menjadikan cupang sebagai peluang bisnis baru. Budidaya ikan cupang untuk dijual mulai banyak bermunculan. Pemasaran ikan cupang relatif mudah di era yang serba digital. Melalui online shop, bisnis ikan cupang kini mudah menemukan banyak peminatnya. Pergerakannya di dunia maya yang masif juga menjadi salah satu faktor yang membuat ikan cupang populer.



Foto dan Teks: Rangga Yudhistira
Asisten Fotografer: Aditya Susanto, Amalya Purnama, Gevi Noviyanti, Kurniadi Widodo

Cerita Lainnya