Warisan Yang
Tidak Diwariskan

Ketenaran Jalan Malioboro sebagai kawasan niaga telah dimulai sejak awal abad ke-20. Di masa itu, Malioboro sudah ramai oleh para wisatawan, baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Warung-warung kayu menjelma menjadi toko permanen dengan fasad cantik hasil asimilasi kultural berjejer rapi di tepi jalan. Hampir semua barang yang dibutuhkan masyarakat pada zaman itu ada di Malioboro. Mulai dari barang primer seperti toko makanan dan minuman,toko roti, toko rokok dan tembakau, toko obat, toko kelontong, dsb; hingga barang tersier seperti produk seni dari berbagai daerah di Jawa dan Bali, toko mode dan tata rambut yang berkiblat pada tren Eropa, toko elektronik dan onderdil milik Jepang, toko tekstil milik orang India, warung opium milik Tionghoa di ruas Pecinan di Ketandan, dsb. Selain pertokoan terdapat juga terdapat rumah-rumah, hotel, kantor/biro, restoran, dan bioskop.

Semua badan usaha itu dimiliki oleh orang-orang Tionghoa, Eropa, Pribumi, Jepang, India, dan sebagainya dengan membeli tanah eigendom yang diiklankan di surat kabar atau dengan menyewa sebidang tanah Sultan Ground (SG). Maka tidak mengherankan jika Malioboro dijuluki “De Broadway van Djokja”. Orang-orang dari berbagai penjuru dan latar belakang etnis maupun golongan berbondong-bondong pelesir dan berdagang di Malioboro. Pedagang Eropa mendominasi ruas Malioboro dan Toegoeweg (saat ini bernama Jalan Margo Utomo), pertokoan Tionghoa memadati ruas Petjinan, dan toko-toko Pribumi, Jepang, India, dan Arab tersebar sepanjang ruas Toegoeweg hingga Petjinan; menyelip di antara toko milik orang Eropa dan Tionghoa. Jogja di era kolonial mencicipi kejayaan di dekade 1920an hingga 1930an, berkembang pesat sebagai kota kosmopolitan dengan Malioboro sebagai pusat ekonomi masyarakat.

Hingga akhirnya di tahun 1930 terjadi krisis ekonomi dunia yang juga mempengaruhi Hindia Belanda. Krisis itu memberi dampak buruk pada perdagangan ekspor, membuat harga di Malioboro tidak stabil dan pada akhirnya banyak toko gulung tikar. Seratus tahun kemudian, tak banyak sisa keemasan yang tertinggal. Hanya segelintir pengusaha yang berhasil mewariskan bisnisnya hingga lintas generasi. Toko Roti Djoen Lama yang berdiri sejak 1930-an adalah salah satunya. Pemilik berhasil mewariskan tidak hanya mesin lawas, cetakan kuno dan tungku pembakaran impor, tapi juga resep tertulis dengan bahasa Mandarin. Berkat resep yang tersimpan rapi, serta memori keluarga yang diteruskan, kita masih dapat menikmati roti dengan cita rasa serupa sejak lima dekade lalu.

Sayangnya, sistem pewarisan yang terstruktur tidak banyak dilakukan oleh bisnis keluarga lain. Salah satu toko yang tidak seberuntung Djoen dalam mewariskan ingatan masa lalu adalah Toko Obat Cina Eng Njan Hoo yang berdiri sekitar tahun 1920, atau saat ini lebih dikenal dengan nama Toko Obat Enteng. Toko obat ini adalah toko pengobatan tradisional Cina tertua di Jogja, satu dari toko obat Cina yang keberadaannya di Jogja dapat dihitung dengan jari. Di kawasan Malioboro, saat ini hanya tersisa lima toko obat Cina. Itupun sebagian besar toko obat Cina kini tidak lagi menyediakan racikan resep pengobatan klasik Cina. Kini mereka menjual obat paten yang diambil dari distributor di Jakarta. 

Pengobatan klasik Cina telah berkembang sejak 3000 tahun lalu dan akhirnya dibawa masuk ke Indonesia oleh imigran Tionghoa ratusan tahun lalu. Berbeda dengan pengobatan ala barat yang menggunakan ilmu pengetahuan modern, seni medis Asia Timur ini menganut teori filsafat China kuno. Obat untuk penyembuhan pada pengobatan tradisional Cina tidak menggunakan zat atau senyawa kimia, tapi memanfaatkan khasiat ribuan tanaman dan hewan. Tidak hanya itu, pasien yang datang juga akan dibimbing oleh sinse atau tabib untuk menyeimbangkan setiap elemen dalam kehidupannya.

Sayangnya, sinse terakhir di Jogja telah wafat tahun 2019 silam. Sinse itu berasal dari toko Obat Enteng. Rico, pewaris generasi kelima mengungkapkan, meski menghabiskan masa kecil hingga dewasa di bangunan toko, ia tidak dilatih secara khusus sebagai sinse. Ia dan sepupunya, Meliana, hanya ditugasi menjaga toko. Saat ada pelanggan datang meminta racikan khusus, sinse dipanggil dan menanganinya langsung. Sinse mengambil bahan di salah satu laci kecil dari puluhan laci di rak tinggi kayu jati. Merajang, menimbang dan menumbuk dengan takaran khusus. Bahan dasar racikan resep dapat menyentuh angka ribuan dan sinse terdahulu menandai setiap bahan dengan sepotong kertas bertuliskan bahasa Mandarin.

Pergolakan politik di era Orde Baru membuat penggunaan bahasa Mandarin dilarang, sehingga banyak peranakan Tionghoa di Indonesia tidak menguasai bahasa Mandarin. Imbasnya, baik Rico maupun Meliana tidak mewarisi pengetahuan leluhurnya. Selain itu, dari penuturan Rico, sudah menjadi adat keluarganya untuk tidak membincangkan sejarah keluarga, otomatis tak banyak cerita dan resep racikan yang diingat atau diteruskan ke generasi selanjutnya. Untungnya, keluarga Rico termasuk keluarga konvensional sehingga standar dan pakem interior toko obat Cina tak banyak berubah. Hanya di sisi utara toko, alih-alih berisi obat dan pojok depot jamu jawa seperti puluhan tahun lalu, rak-rak itu kini dipadati oleh produk tembakau lokal.

Interior toko dan koleksi ribuan bahan racikan adalah arsip yang tersisa dari pengetahuan Toko Obat Enteng. Ribuan bahan yang sudah kadaluarsa itu jarang terjamah karena pewaris tak mengetahui apa manfaatnya. Di laci-laci besar terlihat buntalan-buntalan kertas coklat berisi stok bahan yang kadung kadaluarsa. Jika membuka laci-laci kecil di rak kayu yang menjulang tinggi, terdapat rupa-rupa bagian tumbuhan dari daun hingga akar, berbagai bagian dari spesies hewan dan elemen dari alam, juga kaleng-kaleng berisi bahan obat. Di rak bagian atas, berjejer guci-guci dan toples-toples kaca, berisi sisa racikan obat jadi. Hanya papan kayu untuk merajang obat yang masih kerap digunakan. Warisan leluhur yang tidak diwariskan, kini tinggal kenangan kabur yang segan diperbincangkan.

Foto, prop stylist & teks: Amal Purnama

Tim Pencahayaan: Gevi Noviyanti & Risna Anggaresa

Editor foto: Kurniadi Widodo

Cerita Lainnya