Gaung-gaung yang Meraung


Seroja



Ini adalah rekaman atas tiga peristiwa; sampah yang membludak, demonstrasi di jantung keistimewaan, dan penciptaan dapur umum yang didorong oleh semangat solidaritas. Meski terlihat terpisah, ketiganya merupakan suara-suara yang bermuara dari upaya untuk bertahan hidup di tengah kondisi gawat dan penuh ketidakmungkinan. Kelompok Seroja melihat situasi ini sebagai sebuah hysteresis, kondisi gawat akibat intervensi di masa krisis yang terjadi dalam kurun waktu yang singkat.

Di bulan Maret 2020, Seroja mulai merekam geliat berbagai kelompok masyarakat yang menolak diam di tengah krisis yang mengancam hidup mereka. Di dalam situasi yang demikian, aturan main diubah, cara-cara lama terevaluasi, dan cara-cara baru perlahan muncul. Namun, perubahan kerap kali dijalankan tanpa menghiraukan kelas masyarakat yang akan terancam. Pemegang kuasa buru-buru menerapkan aturan main yang berpihak pada kawanannya, sementara yang tak berpunya dipojokkan dan tak diberi suara. Suara dibungkam dalam kerangka-kerangka ganjil yang semakin memperdalam palung ketidakadilan.

Penolakan untuk diam ini kemudian berubah menjadi tindakan. Orang-orang bergerak dan bertindak akibat kondisi gawat yang dialami bersama. Dalam tindak dan gerak mereka, muncul suara raungan penuh harap, marah, dan duka. Seroja menghadirkan rekaman raungan ini melalui tiga kolom peristiwa di tiga lokasi, yaitu Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan, Malioboro, dan dapur-dapur umum.

“Persoalan lingkungan hidup dalam pengelolaan sampah di TPST Piyungan, yang samar-samar terus terdengar. Pada tanggal 21 Desember 2020, Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan, Bantul, DIY, ditutup warga yang memprotes pembongkaran sampah di akses jalan warga. Kami merekamnya dan melihat bahwa dalam hysteresis, krisis lingkungan hidup menjadi salah satu penyebab besar munculnya situasi gawat. Laba hanya berputar di antara atasan dan di saat yang sama, kelompok garis depan hanya mendapatkan secuil nikmat dengan segudang risiko.” - Seroja

Pada tanggal 8 Oktober 2020, pecah demonstrasi yang dilakukan oleh warga Jogja di jantung keistimewaan: Malioboro. Warga-masyarakat menggugat UU Cipta Kerja sebagai paket hemat kebijakan nasional yang ganjil secara politik. Beberapa suara terus bergema untuk menyampaikan efek timpang dari instrumen hukum tersebut. Meski para demonstran disebut sebagai warga non-Jogja; suara yang muncul dan terekam menyiratkan bahwa justru warga-masyarakat Jogja adalah bagian dari gema yang memantul dari tembok ke tembok dan menciptakan getaran-getaran. Kami sempat merekam salah satunya di jantung keistimewaan: Malioboro.” - Seroja

Situasi krisis pandemi global menyudutkan kawan-kawan yang kehilangan sumber penghidupan. Terhitung sejak Senin, 30 Maret 2020, Presiden Joko Widodo memberlakukan pembatasan sosial berskala besar yang mengakibatkan kelumpuhan total. Solidaritas kultural mencoba mengambil tindakan di saat keputusan politik tak begitu bermakna bagi mereka yang bernafas dalam kesulitan. Kami sempat merekamnya dan melihat bahwa dapur tidak selalu steril dari kepentingan publik, bahwa selalu ada sepiring rejeki bagi tetangga yang sedang membutuhkan.” - Seroja

Mungkin bagi banyak orang, peristiwa ini terasa jauh dari kehidupan sehari-hari. Mungkin karena kita tidak mengalaminya langsung atau hanya mendengar dari cerita orang atau berita. Namun bagi banyak orang lainnya, kondisi gawat ini masih terjadi hingga sekarang. Bagi Seroja, raungan orang-orang yang masih bertahan di dalam kondisi gawat ini menciptakan gema hysteresis.

Dalam konsep karyanya, Seroja menulis, “Gema gema hysteresis tersebut terdengar di antara kelok labirin hidup menuju cahaya temaram yang terlihat menyiram di ujung pintu. Gema ini berasal dari mereka yang mencoba bertahan di tengah ketidakpastian; mereka yang hidup terbatas, terhimpit, dan terpojok. Sekuatnya mereka mencari jalan untuk keluar dari labirin berkelok menuju cahaya di ujung; berbekal apa yang tersedia, seadanya.” 

Yang terhimpit dan terpojok akan terus mencoba mencari jalan keluar dari kondisi hidup yang terbatas. Meski ruang untuk bersuara terus menerus dipersempit, mereka akan terus menggemakan perjuangan bertahan hidup. Seroja menghadirkan rekaman atas gema-gema ini yang kemudian memantul ke pengalaman tiap orang yang menyaksikannya. Pertanyaan yang tersisa adalah apa arti pantulan-pantulan pengalaman di tengah lelahnya bertahan hidup?



Pemrogram pameran: Ipeh Nur dan Syafiatudina

Cerita Lainnya